Baru 207 Kabupaten/Kota yang Miliki Tim Ahli Cagar Budaya
Tim Ahli Cagar Budaya atau TACB diperlukan untuk mengkaji dan memberi rekomendasi penetapan cagar budaya ke pemerintah daerah. Namun, baru 207 kabupaten/kota yang memiliki TACB.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Pekerja membersihkan pelataran gerbang belakang Ndalem Tejokusuman Yogyakarta yang mulai rusak dimakan usia, Selasa (21/12/2010). Ndalem Tejokusuman menjadi salah satu dari delapan bangunan yang memperoleh penghargaan dan ditetapkan sebagai benda cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta dengan berbagai rekomendasi perbaikan.
JAKARTA, KOMPAS — Dari 548 kabupaten/kota di Indonesia, baru 207 di antaranya yang memiliki Tim Ahli Cagar Budaya atau TACB. Peran TACB penting untuk meninjau dan merekomendasikan potensi cagar budaya di masing-masing daerah. Rekomendasi itu akan jadi dasar penetapan cagar budaya, termasuk rencana pelestariannya.
Menurut perhitungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, kebutuhan TACB di Indonesia sebanyak 3.919 unit. Namun, hingga kini baru ada 1.307 TACB atau satu per tiga dari kebutuhan.
”Sementara itu, ada enam provinsi yang belum memiliki TACB, yaitu Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan,” ucap Direktur Pelindungan Kebudayaan Kemendikbudristek Judi Wahjudin di Jakarta, Jumat (10/2/2023).
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Suasana seminar nasional bertajuk "Sinergi Penetapan dan Pelestarian Cagar Budaya: Mewujudkan Pembangunan Kebudayaan yang Lestari, Mandiri, dan Menyejahterakan" di Jakarta, Jumat (10/2/2023). Pada seminar ini dibahas bahwa jumlah Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) di Indonesia baru 1.307 unit, sedangkan kebutuhannya 3.919 TACB. Sementara itu, dari 548 kabupaten/kota di Indonesia, baru 207 di antaranya yang memiliki TACB.
TACB adalah kelompok ahli yang memiliki kompetensi di bidang pelestarian cagar budaya. Kompetensi anggota TACB diuji melalui sertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP P2) Bidang Kebudayaan, lembaga di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek. Adapun TACB terdiri dari para ahli yang membidangi berbagai disiplin ilmu, seperti arsitektur, antropologi, sejarah, dan arkeologi.
Salah satu kendala pembentukan TACB adalah terbatasnya anggaran pemerintah daerah untuk membiayai aktivitas TACB. Selain itu, sumber daya manusia di daerah juga terbatas, baik dari segi jumlah maupun kompetensi. Masalah kompetensi SDM biasanya berhubungan dengan perkembangan perguruan tinggi dan komunitas di masing-masing daerah.
Ada enam provinsi yang belum memiliki TACB, yaitu Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, dan Papua Pegunungan.
Untuk mengatasinya, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid menyebut bakal melakukan kegiatan afirmasi pembentukan TACB. Kegiatan itu mencakup, antara lain, penyediaan asesor sertifikasi kompetensi, lokakarya terkait cagar budaya, dan diskusi untuk bertukar ilmu. Kegiatan afirmasi ini akan dititikberatkan di enam provinsi yang belum memiliki TACB.
Peran TACB
Pembentukan dan peningkatan kompetensi TACB penting untuk perlindungan cagar budaya. Sebab, TACB bertugas mengkaji obyek diduga cagar budaya.
Jika terbukti sebagai cagar budaya, TACB akan merekomendasikan pemerintah daerah untuk menetapkan obyek tersebut sebagai cagar budaya. Penetapan ini penting untuk menyusun rencana pelestarian cagar budaya.
”Kami harap dapat terjalin kesamaan persepsi dan kesatuan komitmen pelestarian cagar budaya yang menjadi tanggung jawab bersama. Sebab, cagar budaya merupakan salah satu entitas budaya yang tidak hanya sebagai identitas, melainkan juga ketahanan budaya dan diplomasi,” kata Hilmar.
Hingga kini tercatat ada 100.633 obyek yang diduga cagar budaya yang tersebar di sejumlah daerah. Dari angka itu, sebanyak 52.724 obyek telah diverifikasi atau datanya telah lengkap dan sebanyak 3.910 obyek di antaranya telah ditetapkan pemerintah sebagai cagar budaya. Adapun cagar budaya peringkat nasional sebanyak 196 obyek.
Tata kelola
Judi menambahkan, penetapan cagar budaya baru permulaan dari upaya pelestarian. Tata kelola cagar budaya perlu direncanakan secara menyeluruh agar berkelanjutan. Pasalnya, tak jarang pelestarian cagar budaya memakan biaya besar, baik untuk pemeliharaan maupun restorasi. Di sisi lain, tidak semua cagar budaya produktif dan ”menghasilkan”.
Baik swasta maupun pemilik cagar budaya dapat dilibatkan mengelola cagar budaya, bahkan memanfaatkannya untuk kegiatan produktif. Gereja GPIB Immanuel di Jakarta, misalnya, menggelar konser jazz untuk umum pada 2022. Dana yang diperoleh dari konser digunakan untuk memelihara gedung gereja berusia 183 tahun tersebut.
Adapun M Bloc, ruang kreatif di kawasan Blok M, Jakarta, dapat dijadikan preseden pengelolaan ruang lama menjadi baru. Ruang tersebut menggunakan area serta aset Perusahaan Umum Percetakan Uang RI (Peruri) yang dibangun tahun 1950-an. M Bloc kini jadi salah satu destinasi favorit kaum muda.
Direktur Utama PT Peruri Properti Indra Setiadjid mengatakan, bekas gudang Peruri diubah menjadi area restoran dan aula yang biasanya digunakan untuk konser. Area ritel M Bloc juga kerap digunakan untuk berbagai acara. Kegiatan-kegiatan tersebut membuat M Bloc jadi aset lama yang produktif.
Direktur Utama PT Ruang Riang Milenial Handoko Hendroyono menambahkan, pengelolaan aset lama tidak hanya tentang pembangunan fisik, tetapi juga roh aset itu. ”M Bloc, misalnya, hidup dari esensinya akan musik. Sementara itu, Pos Bloc (di Jakarta) dari heritage,” ucapnya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekerja berfoto setelah meninjau sebuah bangunan tua yang direvitalisasi di kawasan Kota Lama, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (16/5/2019). Bangunan Cagar Budaya Wees en Boedelkamer atau Gedung Weeskamer tersebut akan dikembalikan seperti gedung aslinya yang berusia hampir seabad. Pemugaran bangunan sebagai upaya pelestarian tersebut menggunakan tim ahli dan berbiaya besar.
Sekretaris Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Riono Suprapto mengatakan, penanganan pelestarian cagar budaya berpegang pada tiga prinsip. Pertama, melakukan sedikit perubahan dan/atau penambahan elemen baru. Kedua, sedapat mungkin mempertahankan keaslian cagar budaya. Ketiga, penanganan dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan kehati-hatian.
”Kami selalu melakukan pembangunan cagar budaya dengan kualitas bahan yang premium seperti arahan Presiden Joko Widodo agar tidak mudah rusak. Maka, kami minta agar pemda membantu pemeliharaan dan pemanfaatan cagar budaya agar berdampak pada masyarakat sekitar, serta berkelanjutan,” ujar Riono.