Dugaan terhadap penyebab gangguan ginjal akuf progresif atipikal pada anak perlu diperluas tidak sebatas pada obat sirop. Investigasi dan pemeriksaan secara menyeluruh harus dilakukan untuk memastikan penyebabnya.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, EVY RACHMAWATI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investigasi terkait dengan penyebab gangguan ginjal akut progresif atipikal yang terjadi pada sejumlah anak di Indonesia perlu diperluas, tidak hanya sebatas pada obat sediaan sirop. Pemeriksaan juga sebaiknya dilakukan secara mendalam dan komprehensif terhadap sampel darah pasien.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwon, seusai menjadi pembicara kunci acara Dies Natalis ke-73 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), di FKUI, Salemba, Jakarta, Kamis (9/2/2023), menyatakan, Kementerian Kesehatan meminta para dokter untuk membantu dan mengevaluasi obat-obatan yang kemungkinan memicu gangguan ginjal pada sejumlah anak.
Saat dihubungi di tempat terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi, di Jakarta, Kamis (9/2/2023), mengatakan, pemeriksaan sampel obat sirop yang dikonsumsi pasien yang meninggal akibat gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) masih akan dilakukan Kementerian Kesehatan. Pemeriksaan akan dilakukan di laboratorium independen yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan.
”Pemeriksaan membutuhkan waktu tujuh sampai sepuluh hari. Hasilnya seharusnya akan segera keluar. Ini dilakukan untuk lebih memastikan penyebab dari kasus gangguan ginjal yang baru dilaporkan,” ujarnya.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan melaporkan satu kasus konfirmasi gangguan ginjal akut meninggal dunia pada 1 Februari 2023. Kasus tersebut merupakan kasus pertama yang dilaporkan setelah sejak Desember 2022. Gejala yang dialami oleh anak berusia satu tahun tersebut, antara lain, ialah batuk, pilek, dan tidak bisa buang air kecil (anuria). Dari hasil pemeriksaan, kasus tersebut telah terkonfirmasi mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal.
Sementara itu, satu kasus lain yang sebelumnya dinyatakan suspek telah dikeluarkan dari dugaan gangguan ginjal akut. ”Satu kasus suspek sekarang sudah dipastikan negatif,” kata Nadia.
Perluasan dugaan
Ia mengatakan, dugaan pada penyebab gangguan ginjal akut pada anak yang saat ini terjadi pun dapat diperluas tidak sebatas terkait dengan konsumsi obat sirop. Dugaan tersebut pada jenis pangan yang sebelumnya dikonsumsi oleh pasien. Selain obat sirop, pasien juga mengonsumsi pangan instan untuk makanan pendamping ASI (MPASI). Pada MPASI instan biasa juga ditambahkan sorbitol yang dapat menimbulkan cemaran etilen glikol/dietilen glikol.
Selain obat sirop, pasien juga mengonsumsi pangan instan untuk makanan pendamping ASI (MPASI). Pada MPASI instan biasa juga ditambahkan sorbitol yang dapat menimbulkan cemaran etilen glikol/dietilen glikol.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah menyimpulkan dari hasil pengujian sampel dan bahan baku obat sirop dari produk yang dikonsumsi pasien, yakni Praxion, produk tersebut tidak melebihi ambang batas yang ditetapkan. Untuk itu, produk itu sebenarnya aman digunakan sepanjang sesuai dengan aturan pakai.
BPOM pun kini telah berkoordinasi lebih lanjut bersama dengan sejumlah pihak, seperti Kementerian Kesehatan, Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) Provinsi DKI Jakarta, Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ahli epidemiologi, dan ahli farmakologi dalam melakukan penelusuran epidemiologi. Langkah tersebut diambil untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko penyebab GGAPA tersebut.
Secara terpisah, Guru Besar Bidang Farmakologi dan Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Zullies Ikawati menuturkan, dugaan pada sumber lain penyebab gangguan ginjal akut amat dimungkinkan. Dari pengujian pada sampel obat kasus baru pun tidak terbukti mengandung senyawa etilen glikol dan dietilen glikol yang melebihi ambang batas aman. Kedua senyawa tersebut yang bisa memicu terjadinya gangguan ginjal akut.
Senyawa entilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) umumnya bisa ditemukan sebagai cemaran dari senyawa propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol. Sesuai dengan aturan Farmakope Indonesia dan US Pharmacopeia, kandungan EG dan DEG memiliki nilai toleransi 0,1 persen pada gliserin dan propilen glikol serta 0,25 persen pada polietilen glikol. Jika tidak melebihi ambang batas tersebut, efek yang merugikan tidak ditimbulkan.
”Jika pada obat yang diuji ternyata tidak melebihi ambang batas, asumsi sementara ada sumber lain yang menyebabkan gangguan ginjal akut. Itu sebabnya, pemeriksaan dan penelitian harus dilakukan secara komprehensif,” kata Zullies.
Ia menyampaikan, gangguan ginjal akut bisa disebabkan oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal bisa akibat penyakit, infeksi, dan kondisi kesehatan pasien. Sementara faktor eksternal bisa dari konsumsi pasien yang juga dapat dilihat dari besaran dosis yang dikonsumsi.
Zullies pun menyarankan pemeriksaan lengkap perlu dilakukan, baik pada sampel makanan atau obat yang dikonsumsi pasien maupun sampel darah dari pasien. Pemeriksaan tersebut meliputi gejala klinis, pemeriksaan laboratorium untuk pemeriksaan organ, kadar toksik dalam darah, serta kadar metabolit dalam darah.
Melalui pemeriksaan yang komprehensif tersebut diagnosis pada penyebab gangguan ginjal akut bisa dipastikan. ”Selama ini lebih pada dugaan sehingga tidak bisa dipastikan secara jelas. Tindakan penanganan memang harus cepat, tetapi terkait penyebab jangan diputuskan secara terburu-buru agar tidak meresahkan,” ujar Zullies.