Bagai bola yang terus bergulir, dukungan publik atas RUU PPRT tak berhenti. Kalangan umat beragama pun turut menggugah hati para wakil rakyat agar segera mengesahkan regulasi tersebut.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
TANGKAPAN LAYAR MEDIA SOSIAL
Suasana Istiqosah Qubro, Sabtu (4/2/2023) malam, yang digelar Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) untuk mendukung Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga menjadi undang-undang. Kegiatan doa bersama bertajuk Istighosah Kubro: Doa KUPI untuk Negeri ini digelar secara daring dan luring.
Perjalanan legislasi Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga kembali sepi. Hampir tiga pekan berlalu setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan dukungan pemerintah soal percepatan penetapan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, sikap Dewan Perwakilan Rakyat masih adem-adem saja.
Hingga kini belum terlihat ada lanjutan proses legislasi di DPR akan berlanjut. Padahal, sebelumnya untuk percepatan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPPRT), Rabu (18/1/2023), Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) dan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) segera berkoordinasi dan berkonsultasi dengan DPR dan semua pemangku kebijakan.
Sehari setelah pernyataan Presiden, Kamis (19/1/2023), Ketua DPR Puan Maharani dalam berita yang dimuat di situs web dpr.go.id menyatakan DPR akan memutuskan RUU PPRT berdasarkan kehati-hatian sehingga undang-undang yang lahir di DPR nantinya mengedepankan kualitas dibandingkan dengan kuantitas.
Puan menyatakan, pembahasan undang-undang secara berkualitas dilakukan dengan tidak terburu-buru. Karena itu, DPR akan membuka ruang seluas-luasnya untuk menerima masukan dari publik dan elemen bangsa. Saat itu, Puan juga mengaku belum menerima laporan pembahasan substansi RUU PPRT baik dari komisi terkait maupun Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Kendati belum ada tanda-tanda kemajuan proses di DPR, dukungan atas pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang terus mengalir. Hingga kini, berbagai organisasi masyarakat sipil terus mengawal proses RUU PPRT dengan berbagai cara, mulai dari aksi damai di depan Gedung DPR, Senayan, hingga bertemu dan berdialog dengan para anggota DPR.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), misalnya. Sebagai bentuk dukungan atas pengesahan RUU PPRT menjadi UU, KUPI mengajak para ulama, santri, dan organisasi menggelar Istiqosah Qubro, Sabtu (4/2/2023) malam.
Kegiatan doa bersama bertajuk Istighosah Kubro: Doa KUPI untuk Negeri itu digelar secara hibrida di beberapa lokasi dengan diikuti ratusan PRT dan aktivis dari berbagai organisasi masyarakat sipil. Para santri dan ulama dari sekitar 10 pondok pesantren (ponpes) dari Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, hingga Aceh pun bergabung dalam acara tersebut.
”Semoga upaya kita mengetuk langit pada malam hari ini bisa membuka dan mencairkan hati-hati yang masih beku sehingga bisa menyegerakan pengesahan UU PPRT,” ujar Badriyah Fayumi MA, Ketua Majelis Musyawarah KUPI, saat membuka acara doa bersama tersebut.
Badriyah yang juga pemimpin Ponpes Mahasina, Bekasi, itu menyampaikan, kehadiran PRT sangat penting dalam mendukung keluarga-keluarga di tempatnya bekerja. Namun, kenyataannya hingga kini pekerjaan sebagai PRT belum mendapat pengakuan negara.
Maka dari itu, KUPI sangat mendukung RUU PPRT lantaran rasa kemanusiaan dan cita-cita mewujudkan peradaban yang berkeadilan. Secara ideologis memperjuangkan RUU PPRT adalah melaksanakan Pancasila karena PRT berhak merasakan sila kedua dan sila kelima Pancasila.
Semoga upaya kita mengetuk langit pada malam hari ini bisa membuka dan mencairkan hati-hati yang masih beku sehingga bisa menyegerakan pengesahan UU PPRT.
Jika masih ada keraguan dan kekhawatiran, terutama yang menghinggapi para penyusun UU, seharusnya hal tersebut bisa dijawab melalui dialog dan pembahasan RUU tersebut. Maka, kelanjutan proses legislasi di DPR amat dinantikan.
Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo mengungkapkan, berbagai kisah pilu para PRT seharusnya jadi panggilan kemanusiaan bagi semua pihak untuk melindungi PRT. Karena itu, mewujudkan UU PPRT mesti menjadi ikhtiar bersama dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan hak para PRT dengan pekerja lain di Tanah Air.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pengguna sepeda motor melintas di depan mural berisi kritik tentang pembahasan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang tidak kunjung selesai di Jembatan Kewek, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (28/12/2021). Sejumlah kalangan mendorong pemerintah segera menuntaskan penetapan rancangan undang-undang tersebut agar para pekerja rumah tangga dapat memperoleh perlindungan hukum yang layak.
Ucapan terima kasih
Mendorong RUU PPRT menjadi UU, menurut KH Abdullah Aniq Nawawi dari Gorontalo, sesungguhnya bukan semata-mata alasan belas kasihan, melainkan justru sebagai ucapan terima kasih masyarakat Indonesia kepada para PRT yang telah hadir menopang kehidupan keluarga-keluarga tempatnya bekerja selama ini.
Hal ini disebabkan kehadiran PRT sangat penting bagi sejumlah keluarga. Tanpa PRT, berbagai kerugian akan dihadapi para keluarga. Ia mencontohkan bagaimana keluarga-keluarga yang sangat bergantung pada dukungan PRT akan mengalami kesulitan ketika PRT meninggalkan rumah.
Tanpa ada UU PPRT, maka PRT akan terus berada dalam situasi yang rentan menghadapi kekerasan dan diskriminasi serta perbudakan. Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan setiap hari menerima pengaduan sekitar 10 kasus PRT.
Tak hanya KUPI, dukungan dan doa dari berbagai agama pun terus diberikan untuk mendukung pengesahan UU PPRT. Suara untuk menggugah wakil rakyat tak berhenti.
Semua harapan yang diungkapkan dalam doa bersama tersebut sejalan dengan komitmen pemerintah yang disampaikan Presiden Jokowi, yaitu akan berupaya keras untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga.
Karena itu, tiga pekan lalu, Presiden Jokowi menegaskan pentingnya percepatan penetapan UU PPRT yang hampir 19 tahun belum juga tuntas. Selain memberi perlindungan lebih baik bagi pekerja rumah tangga dan pemberi kerja, serta penyalur kerja, keberadaan UU PPRT mendesak karena jumlah PRT di Indonesia yang diperkirakan mencapai 4 juta jiwa rentan kehilangan hak-haknya sebagai pekerja.
Karena itu, upaya mengetuk hati wakil rakyat akan terus dilakukan para PRT dan berbagai kalangan agar UU PPRT segera lahir. Sebab, seperti kata Presiden, sudah waktunya untuk kita memiliki Undang-Undang PPRT.