Kenaikan Air Laut Memicu Migrasi Kuno dari Paparan Sunda ke Nusantara
Kenaikan permukaan laut hingga 130 meter di masa lalu menjadi pendorong utama migrasi manusia dari Paparan Sunda ke Kepulauan Asia Tenggara pada periode 26.000 hingga 6.000 tahun lalu.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan permukaan laut hingga 130 meter di masa lalu menjadi pendorong utama migrasi manusia dari Paparan Sunda ke Kepulauan Asia Tenggara. Hal ini memicu keragaman genetika manusia di Nusantara, meliputi Indonesia, sebagian Malaysia, dan Filipina saat ini.
Hingga 26.000 tahun lalu, Semenanjung Malaya dan Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa pada awalnya merupakan bagian dari daratan besar hutan hujan dan hutan bakau di landas kontinen Asia Selatan, yang dikenal sebagai Paparan Sunda.
Ketika Bumi memanas selama periode Glasial Maksimum Terakhir (26.000-20.000 tahun lalu) hingga pertengahan Holosen (sekitar 6.000 tahun lalu), permukaan laut telah naik 130 meter.
Kenaikan permukaan laut membanjiri dan menenggelamkan setengah dari Paparan Sunda, memutus jembatan darat dan membelah daratan besar menjadi Kepulauan Nusantara.
Untuk memahami dampak perubahan lingkungan yang drastis ini terhadap manusia yang tinggal di Paparan Sunda, tim ilmuwan Nanyang Technological University (NTU) Singapura telah merekonstruksi sejarah daratan menggunakan dua pendekatan berbeda, yaitu paleogeografi atau tudi lanskap fisik bersejarah dan genetika populasi.
Hasil studi ini dipublikasikan di Communication Biology, bagian dari jurnal Nature pada 4 Februari 2023. Asisten Profesor Kim Hie Lim dari Asian School of the Environment (ASE) NTU menjadi penulis pertama studi ini.
”Perubahan lingkungan berdampak besar pada sejarah manusia, mendorong migrasi populasi, pertumbuhan, dan distribusi. Namun, yang kurang dibahas adalah bagaimana perubahan lingkungan dapat membentuk genetika populasi,” kata Lim, kepada Nature.
Dalam studi ini, para peneliti berupaya memberikan bukti bahwa kenaikan permukaan laut mengubah susunan genetik populasi manusia di Asia Tenggara. Warisan genetika ini terus berlanjut hingga saat ini, berdampak pada kekhasan populasi saat ini.
Data genom Asia
Dengan menggunakan data sejarah permukaan laut Asia Tenggara dan Selatan, yang dibuat oleh Earth Observatory of Singapore (EOS) dan ASE NTU, tim peneliti membuat peta paleogeografi yang berasal dari 26.000 tahun lalu hingga saat ini.
Tim NTU juga memakai data sekuens atau pengurutan seluruh genom dari 59 kelompok etnis, termasuk populasi asli Asia Tenggara dan Selatan dari 50.000 tahun lalu. Dengan menganalisis data genom, tim dapat menyimpulkan keturunan genetik dan sejarah demografi kelompok, termasuk ukuran dan distribusi populasinya.
Data sekuens seluruh genom juga memberi informasi tepat dari seluruh susunan genetik individu yang diwarisi dari ibu dan ayah. Seluruh data urutan genom dihasilkan proyek GenomeAsia 100K.
Diluncurkan pada tahun 2016 dan diselenggarakan oleh NTU, inisiatif ini bertujuan untuk lebih memahami keragaman genom etnis Asia dengan mengurutkan 100.000 genom orang yang tinggal di Asia.
Profesor Stephan Schuster, Ketua Ilmiah GenomeAsia 100K, yang turut dalam kajian ini mengatakan, ”GenomeAsia 100K secara sistematis menghasilkan peta keragaman genetik manusia Asia, termasuk etnis asli yang telah menduduki wilayah untuk waktu yang lama.”
Dengan data ini, para peneliti NTU kemudian merekonstruksi sejarah demografis dari populasi awal yang mendiami Paparan Sunda.
Schuster, yang kini menjadi Kepala Bidang Genomik di Sekolah Ilmu Biologi NTU, menambahkan, ”Mengintegrasikan peta (genomik) tersebut dengan data paleoklimatik memungkinkan kita sekarang untuk memahami dengan tepat bagaimana peristiwa iklim masa lalu telah menghasilkan migrasi manusia purba, serta dampaknya terhadap struktur populasi saat ini.”
Pola migrasi kuno
Dengan menggabungkan temuan dari dua pendekatan, para ilmuwan berhasil merekonstruksi perubahan kepadatan populasi yang dipengaruhi oleh dinamika paleogeografi. Peta tersebut melukiskan gambaran migrasi manusia prasejarah di Paparan Sunda menunjukkan adanya migrasi paksa manusia yang terdokumentasi paling awal didorong oleh kenaikan permukaan laut.
Mengintegrasikan peta (genomik) tersebut dengan data paleoklimatik memungkinkan kita sekarang untuk memahami dengan tepat bagaimana peristiwa iklim masa lalu telah menghasilkan migrasi manusia purba.
Para ilmuwan menemukan bahwa dua periode kenaikan permukaan laut yang cepat, yaitu 46 milimeter per tahun dan 22 mm per tahun, telah mendorong pemisahan populasi menjadi kelompok-kelompok kecil di seluruh Paparan Sunda. Daratan besar yang terpecah menjadi pulau-pulau kecil memaksa populasi yang sebelumnya mengelompok untuk memisahkan diri.
Pengurangan dan pemisahan lahan juga menyebabkan pengurangan dan fragmentasi tutupan hutan, dan perubahan dinamika atmosfer-laut. Kondisi itu mengakibatkan penguatan monsun regional sehingga intensitas hujan meningkat. Maka, setelah populasi ini saling memisahkan diri, jumlah mereka berkembang selama penurunan tingkat kenaikan permukaan laut dan kondisi lingkungan menguntungkan di periode akhir Glasial Maksimum Terakhir.
Para peneliti menemukan, kepadatan populasi melonjak setidaknya delapan kali lipat dari periode awal Glasial Maksimum Terakhir. Lonjakan populasi ini terutama terjadi di wilayah Kepulauan Asia Tenggara, termasuk Semenanjung Melayu, Sumatera, dan Kalimantan. Berikutnya, kelebihan penduduk ini mendorong orang untuk bermigrasi mencari tempat baru untuk menetap hingga ke berbagai penjuru.
Kepadatan penduduk yang meningkat di Semenanjung Melayu ini juga meningkatkan tekanan perubahan lingkungan dan bisa menjadi kekuatan pendorong migrasi orang Negrito-Malaysia ke Asia Selatan. Pencampuran kuno terjadi pada penduduk paling awal di Asia Selatan melalui migrasi balik dari para pemukim paling awal di Asia Tenggara.