Rentetan Gempa Kerak Dangkal yang Mematikan di Turki
Gempa beruntun di Turki yang menewaskan lebih dari 1.500 orang menjadi alarm bahaya bagi kawasan permukiman yang dilalui jalur patahan aktif, termasuk di Indonesia.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
AFP/AAREF WATAD
Suasana di unit gawat darurat Rumah Sakit Bab al-Hawa di Provinsi Idlib, Suriah, setelah gempa bumi M 7,8 mengguncang di wilayah Turki hingga terasa ke Suriah, Senin (6/2/2023).
Gempa beruntun berkekuatan M 7,8 dan M 7,5 bersumber di darat dan dangkal melanda Turki bagian selatan yang berbatasan dengan Suriah, Senin (6/2/2023). Gempa yang menewaskan lebih dari 1.500 orang ini menjadi alarm bahaya bagi kawasan permukiman yang dilalui jalur patahan aktif.
Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) menyebutkan, kekuatan gempa ini M 7,8 dengan kedalaman 17,9 kilometer terjadi pukul 04.17 waktu setempat atau 08.17 WIB. Pusat gempa berjarak sekitar 23 kilometer timur kota Nurdagi, Provinsi Gaziantep, Turki.
Gempa susulan M 6,7 pada kedalaman 9,9 kilometer melanda 11 menit kemudian. Berikutnya, gempa M 7,5 terjadi pada pukul 13.24 waktu setempat di kedalaman 10 kilometer, sekitar sembilan jam setelah gempa pertama. Pusat gempa ini sekitar 95 kilometer arah utara gempa pertama.
Rangkaian gempa dengan pusat dangkal ini menimbulkan kehancuran dahsyat dengan korban jiwa telah melebihi 1.500 jiwa. Banyak bagunan yang runtuh berada di zona perbatasan yang membentang 330 kilometer arah timur laut, dari Aleppo dan Hama di Suriah ke Diyarbakir di Turki. Di daerah tersebut banyak bangunan yang dibangun dari batu bata atau beton rapuh membuat mereka ”sangat rentan terhadap goncangan gempa”.
USGS
Lokasi gempa utama M 7,8 dan gempa susulan M 7,5 di Turki, Senin (6/2/2023).
Dalam pidato yang disiarkan televisi dan sebelum gempa susulan M 7,5, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyampaikan, jumlah korban jiwa telah mencapai 912 orang dan 5.385 orang lainnya terluka. Ia mengatakan, dirinya tidak dapat memprediksi berapa banyak korban tewas akan bertambah karena upaya pencarian dan penyelamatan terus berlanjut.
Di Suriah, korban jiwa juga terus bertambah. Kantor berita Suriah, SANA, melaporkan, sedikitnya 592 orang tewas, termasuk 371 orang di antaranya dari wilayah Aleppo, Hama, Latakia dan Tartus. Sementara korban luka-luka mencapai 1.089 orang. Kelompok ”White Helmets” melaporkan 221 kematian dan 419 orang luka-luka di daerah yang dikuasai oposisi di barat laut Suriah.
Jumlah korban ini dikhawatirkan akan meningkat tajam, terutama setelah terjadinya gempa susulan yang kuat. Gempa susulan ini juga terjadi saat tim penyelamat berusaha mencari korban di bawah tumpukan puing dalam suhu beku.
Guncangan terkuat
Turki berada di zona patahan aktif dan beberapa kali dilanda gempa dahsyat. Setidaknya, tujuh gempa dengan magnitudo 7,0 atau lebih besar telah melanda Turki dalam 25 tahun terakhir.
Namun, gempa kali ini merupakan yang paling kuat setelah gempa berkekuatan serupa menghancurkan Izmit dan wilayah Laut Marmara timur pada tahun 1999. Gempa pada saat itu, yang terjadi di daerah berpenduduk padat di dekat Istanbul, menewaskan lebih dari 17.000 orang.
Bahkan, USGS menyebutkan, gempa ini sebagai yang terkuat di Turki sejak 1939 ketika gempa dengan kekuatan yang sama menewaskan 30.000 orang. Apalagi, gempa kali ini terjadi secara beruntun sehingga dampaknya bisa lebih merusak.
Kombinasi antara magnitudo yang besar dan sumber gempa yang dangkal menjadi penyebab kuatnya guncangan di permukaan tanah. Dengan kekuatan M 7,8, menurut laporan USGS, gempa kali ini minimal memecah bidang batuan dengan panjang 190 kilometer dan lebar 25 kilometer.
Gempa kali ini merupakan yang paling kuat setelah gempa berkekuatan serupa menghancurkan Izmit dan wilayah Laut Marmara timur pada tahun 1999.
Baik gempa utama maupun gempa susulan sama-sama tergolong sangat dangkal yang bersumber dari zona patahan Anatolia Timur atau zona sesar Transformasi Laut Mati yang dipicu oleh pergerakan tiga lempeng: Anatolia, Arab, dan Afrika. Sesar Anatolia Timur mengakomodasi ekstrusi Turki ke arah barat ke Laut Aegea, sedangkan Transformasi Laut Mati mengakomodasi gerakan semenanjung Arabia ke arah utara relatif terhadap lempeng Afrika dan Eurasia.
Peringatan bagi Indonesia
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, besarnya kerusakan dalam gempa di Turki kali ini karena sumber gempa merupakan kerak dangkal (shallow crustal earthquake). ”Gempa bumi di Turki ini perlu jadi perhatian juga bagi Indonesia, yang memiliki banyak sumber gempa dari kerak dangkal,” katanya.
Gempa M 5,6 yang melanda Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November 2022 merupakan contoh gempa bersumber kerak dangkal yang menewaskan ratusan jiwa. Bahkan, sekalipun kekuatan gempa dengan sumber dangkal ini relatif kecil, guncangannya bisa sangat kuat sehingga menimbulkan banyak kerusakan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Personel polisi membantu warga mengevakuasi barang-barang dari rumah yang porak-poranda akibat gempa bumi di Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Selasa (22/11/2022).
Analisis terhadap 1.200 gempa historis di Indonesia tahun 1546 hingga 1950 yang ditulis Stacey S Martin, Phil R Cummins, dan Aron J Meltzner di Bulletin of the Seismological Society of America, Oktober 2022, menunjukkan, banyak gempa merusak di Jawa sejak abad ke-17. Sebagian gempa diduga berasal dari sumber dangkal.
Salah satu yang teridentifikasi adalah gempa merusak yang bersumber di darat yang terjadi dekat kota Wonosobo, Jawa Tengah, pada 1924. Gempa ini memicu tanah longsor dan menewaskan hampir 900 orang. Selain itu, gempa di darat pada 25 Oktober 1875 di dekat Kuningan dan Cirebon pada 16 November 1847.
”Untuk antisipasi dan mitigasi bahaya gempa bumi yang bersumber dari kerak dangkal, solusi utamanya adalah bangunan tahan gempa,” kata Daryono.
Sebagai contoh, peristiwa gempa dari kerak dangkal berkekuatan M 6,4 di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 menelan korban jiwa lebih dari 5.778 orang. Sementara gempa di Suruga, Jepang, pada 11 Agustus 2009 yang berkekuatan sama dan juga dangkal hanya menyebabkan satu korban jiwa.
”Ini bukti bahwa bangunan tahan gempa sangat menentukan keselamatan masyarakat,” kata Daryono.
Selain kualitas bangunan, yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi tanah. Tanah lunak yang tebal dapat memicu amplifikasi guncangan yang akan memperbesar guncangan gempa karena terjadi resonansi lapisan tanah. ”Zona lemah atau tanah lunak ini dapat di petakan dengan mikrozonasi seismik,” katanya.
Maka, di daerah rentan bencana gempa seperti Indonesia, tata ruang wilayah yang berbasis risiko gempa mutlak diterapkan. Gempa bisa terjadi sewaktu-waktu dan tidak bisa dicegah, tetapi dampak kerusakannya bisa dikurangi.