Kewaspadaan akan penggunaan obat sirop serta tanda dan gejala dari gangguan ginjal akut pada anak harus kembali diperkuat. Satu kasus baru terkonfirmasi gangguan ginjal akut dan satu kasus suspek juga dilaporkan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investigasi lebih lanjut masih dilakukan pada satu kasus terkonfirmasi gangguan ginjal akut progresif atipikal dan satu kasus suspek penyakit sama. Kewaspadaan akan tanda klinis dari gangguan ginjal akut dan penggunaan obat sirop harus kembali diperkuat, baik bagi masyarakat maupun tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan di Indonesia.
Juru bicara Kementerian Kesehatan, M Syahril, di Jakarta, Senin (6/2/2023), mengatakan, setelah tidak adanya kasus baru gangguan ginjal akut progresif atipikal pada anak sejak Desember 2022, terdapat satu kasus konfirmasi baru dan satu kasus suspek yang kembali dilaporkan. Dua kasus tersebut dilaporkan oleh Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
”Pemerintah melakukan tindakan antisipatif untuk menentukan penyebab dua kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal baru yang dilaporkan. Penelusuran epidemiologi dilakukan untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut,” ujarnya.
Sesuai kronologi laporan dari satu kasus baru terkonfirmasi gangguan ginjal akut, kasus tersebut awalnya mengalami demam pada 25 Januari 2023. Kemudian, anak berusia satu tahun tersebut diberikan obat sirop penurun demam dengan merek dagang Praxion yang dibeli secara mandiri di apotek.
Pada 28 Januari 2023, pasien mengalami batuk, demam, pilek, dan tidak bisa buang air kecil atau anuria. Pasien pun dibawa ke Puskesmas Pasar Rebo, Jakarta, untuk diperiksa. Setelah itu, rujukan dilakukan ke Rumah Sakit Adhyaksa pada tanggal 31 Januari 2023.
Pasien akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Cipto Mangunkusumo (RSCM) karena mengalami gejala gangguan ginjal akut. Namun, keluarga pasien menolak dan memilih untuk memulangkan pasien secara paksa. Pada 1 Februari 2023, orangtua pasien membawa pasien ke RS Polri untuk dirawat di ruang instalasi gawat darurat (IGD).
Pada hari yang sama, pasien pun dirujuk ke RSCM untuk mendapatkan perawatan intensif sekaligus terapi fomepizole sebagai antidotum dari kandungan etilen glikol dan dietilen glikol (EG/DEG). Kedua kandungan tersebut menjadi pencemar pada obat sirop yang menyebabkan gangguan ginjal akut pada anak sebelumnya.
Pemerintah melakukan tindakan antisipatif untuk menentukan penyebab dua kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal baru yang dilaporkan. Penelusuran epidemiologi dilakukan untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut.
”Namun, tiga jam setelah di RSCM pada pukul 23.00 WIB, pasien dinyatakan meninggal dunia. Sementara satu kasus lain masih suspek. Kasus suspek ini anak berusia tujuh tahun yang mengalami demam pada 26 Januari yang kemudian juga mengonsumsi obat sirop yang dibeli secara mandiri. Pasien masih dirawat di RSCM,” tutur Syahril.
Saat ini pemeriksaan lebih lanjut dilakukan pada sampel obat dan darah pasien. Penelusuran epidemiologi dilakukan untuk memastikan penyebab pasti dan faktor risiko yang menyebabkan gangguan ginjal akut. Penelusuran itu dikerjakan Kementerian Kesehatan bersama dengan sejumlah pihak, seperti Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ahli epidemiologi, dan Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri.
Syahril mengatakan, surat kewaspadaan pun kembali dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan kepada semua dinas kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, dan organisasi profesi kesehatan terkait dengan tanda klinis dari gangguan ginjal akut dan penggunaan obat sirop.
Distribusi dihentikan sementara
Meski investigasi terhadap penyebab pasti kasus yang baru dilaporkan masih dilakukan, BPOM kini telah mengeluarkan perintah penghentian produksi dan distribusi sementara pada obat yang dikonsumsi pasien, yakni Praxion, hingga investigasi selesai dilakukan. Industri farmasi pemegang izin edar obat tersebut juga telah diminta untuk melakukan penarikan obat secara sukarela dari pasaran.
Investigasi telah dilakukan pada sampel produk obat dan bahan baku yang digunakan, baik dari sisa obat pasien, sampel dari peredaran, maupun tempat produksi. Pemeriksaan ke sarana produksi juga dilakukan mengenai cara pembuatan obat yang baik.
Tercatat total kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal di Indonesia kini menjadi 326 kasus dan satu suspek. Kasus yang dilaporkan tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari sejumlah tersebut, 116 kasus dinyatakan sembuh, sedangkan enam kasus kini masih menjalani perawatan di RSCM.
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menuturkan, Kemenkes hingga saat ini belum menganjurkan tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan untuk tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair atau sirop. Hal itu sesuai dengan surat edaran yang berlaku.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi, Tjandra Yoga Aditama, mengatakan, kasus baru gangguan ginjal akut pada anak yang kembali dilaporkan patut menjadi perhatian bersama. Perlindungan pada masyarakat, terutama anak-anak, pun menjadi dipertanyakan.
”Ini amat tragis bahwa anak Indonesia meninggal karena meminum obat yang resmi beredar. Seharusnya kita belajar agar jangan terulang kembali. Apalagi kalau memang yang meninggal sekarang ini ternyata berhubungan dengan obat yang tadinya sudah dinyatakan tidak berbahaya dan aman dikonsumsi. Bagaimana keadaan ratusan obat sirop lain?” tuturnya.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Edy Wuryanto, menyampaikan, ketegasan dalam penerapan sanksi bagi pelanggar pembuatan obat harus dijalankan. Sanksi yang lemah saat ini dinilai menjadi penyebab kasus terulang. Penyelidikan pada kasus gangguan ginjal akut harus dilakukan secara komprehensif dan terbuka. Penyelidikan pun perlu dijalankan hingga tuntas.