Bento, Beni, dan Boni dalam proses dilepaskan kembali ke hutan. Ketiganya berasal dari tempat berbeda dengan satu kesamaan, disita dari manusia-manusia yang memelihara mereka secara tidak sah.
Oleh
Ninuk Mardiana Pambudy
·5 menit baca
Bento (23) duduk tenang di pojok. Ketika mendengar suara orang asing, keingintahuannya bangkit. Ia berdiri dan berjalan mendekat. Wajahnya ditempelkan di jeruji besi.
Ketika namanya dipanggil dari seberang kandang, Bento berbalik dan berjalan mendekat. Tangannya menjuntai menyentuh lantai. Ia memperhatikan orang asing di depannya. Sorot matanya yang kecil dibandingkan dengan tubuhnya yang besar kokoh serta ekspresi wajahnya menimbulkan iba. Hampir sepanjang hidupnya Bento dalam kerangkeng besi, sendiri.
Bento adalah satu dari tiga Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang menjalani karantina di Pusat Suaka Orangutan (PSO) Arsari Djojohadikusumo. Suaka dikelola bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Timur, di dalam konsesi sekitar 174.000 hektar hutan produksi International Timber Corporation Indonesia Kartika Utama (ITCIKU) di Kelurahan Maridan, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara. Seluas 19.000 hektar dicadangkan untuk konservasi satwa liar, di antaranya orangutan.
Bento, Beni, dan Boni dalam proses dilepaskan kembali ke hutan. Ketiganya berasal dari tempat berbeda dengan satu kesamaan, disita dari orang yang memelihara secara tidak sah. International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada 2016 memasukkan orangutan sebagai primata yang menghadapi risiko ekstrem kepunahanan di alam. Pemerintah Indonesia melindungi orangutan dari penangkapan dan pemburuan ilegal.
Bento tiba di PSO Arsari pada 3 Oktober 2019, dikirim dari Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) Tasikoki di Minahasa Utara, Sulawesi Utara. Ia dipelihara ilegal di sebuah rumah penduduk saat berusia lima tahun, usia orangutan umumnya masih bersama induknya.
Beni (23) disita dari kebun binatang mini di Langen Mulyo, Salatiga, Jawa Tengah. Ia diserahkan ke Wildlife Rescue Center (WRC) Yogyakarta pada 29 Januari 2013 sebelum tiba di PSO Arsari pada 17 Agustus 2021. Saat pertama kali disita kondisi Beni mengenaskan. Kulitnya berkeropeng di beberapa tempat, rambutnya kusam, dan terlihat trauma di dekat manusia. Saat di WRC ia tidak mau berkontak mata dengan orang yang merawat, sering murung di pojok kandang. Selama di PSO Arsari, ia menjadi paling aktif dan kerap marah juga.
Boni diperkirakan berusia lebih dari 20 tahun, hasil sitaan Polres Magelang, Jateng dan diserahkan ke WRC Yogyakarta pada 14 Oktober 2006. Ia tiba di PSO Arsari pada 17 Agustus 2021, dan paling malas merespons rangsangan dari perawatnya. Ia mengalami obesitas dengan perkiraan bobot tubuh 120 kilogram. Orangutan di alam berbobot 36-90 kg dengan tinggi saat berdiri antara 130-165 sentimeter. Saat tiba di PSO Arsari, bobotnya 90 kg.
Rumah bahagia
PSO Arsari di Maridan dirancang sebagai tempat melepaskan kembali orangutan ke hutan. Pulau Kelawasan seluas 254 hektar di wilayah kerja ITCIKU disiapkan sebagai suaka untuk orangutan, tetapi menanti izin Badan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN), karena masuk zona konservasi IKN.
”Mudah-mudahan izin bisa segera keluar,” ungkap Manajer Operasional PSO Arsari di Maridan, Odom. Sebagai orang Dayak, Odom besar di pedalaman Kalimantan. Ia lama bekerja di pusat rehabilitasi orangutan Tanjungputing, Kalimantan Tengah. Pamannya menikah dengan ahli primata asal Amerika Serikat, Prof Birute Galdikas.
Bento dinilai paling siap dicoba dilepaskan ke hutan. Rencananya pada Maret 2023 Bento akan dilatih dilepas di pulau buatan di Tanjung Buaya. ”Kami ingin sekali mereka bahagia bisa segera kembali ke hutan,” kata Odom.
Pendiri Yayasan Arsari, Hashim Djohadikusumo menuturkan, ada 80 orangutan tua dari berbagai kebun binatang di Eropa. Mereka siap dikirimkan ke PSO Arsari untuk dilepaskan ke kawasan suaka.
Proses adaptasi pasti membutuhkan waktu, apalagi lebih separuh hidup orangutan itu di dalam kandang sebagai peliharaan. Mereka harus belajar hidup di ketinggian pepohonan hutan dan mencari makan dari pohon ke pohon. Seperti Beni, yang mengalami obesitas dan malas bergerak, kemungkinan besar akan sulit hidup di hutan tanpa dukungan makanan.
”Makanan tetap disediakan setiap hari,” jelas Odom. Mungkin juga akhirnya ada yang tidak bisa mencari makan sendiri.
Direktur Ekskutif Yayasan Arsari, yang mengelola PSO Arsari, Catrini Kubontubuh, berharap bisa segera ada nota kesepahaman awal antara Yayasan Arsari dan IKN mengenai pemulihan ekosistem, rehabilitasi dan suaka satwa, terutama untuk orangutan, pariwisata pendidikan dan budaya, serta penelitian.
Mereka harus belajar hidup di ketinggian pepohonan hutan dan mencari makan dari pohon ke pohon.
Orangutan adalah hewan endemik Sumatera dan Kalimantan. Orangutan Kalimantan menyebar di Kalimantan bagian Indonesia, Sabah, dan Serawak. Tubuhnya lebih besar dengan warna rambut lebih gelap dibandingkan dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii).
Dalam teori evolusi, orangutan satu asal dengan manusia meski kekerabatannya paling jauh. Pengurutan secara rinci kode genetik genome seekor orangutan Sumatera betina serta 5 orangutan Sumatera dan 5 orangutan Kalimantan secara kurang rinci menunjukkan, kode genome orangutan memiliki kesamaan 97 persen dengan manusia. Kesamaan antara genome manusia dan simpanse 99 persen. Laporan hasil penelitian diterbitkan jurnal Nature pada 27 Januari 2011.
Kesamaan materi genetik membuat orangutan memiliki kecerdasan dan banyak kemampuan seperti manusia. Juga perasaan. Orangutan mampu menggunakan alat pendukung hidup, seperti memakai ranting dan daun membangun tempat tidur setiap malam, sebab hidupnya selalu berpindah. Juga orangutan menggunakan ranting untuk menggaruk, mencungkil daging buah bercangkang keras, menggapai buah, mencari serangga, dan mengumpulkan madu.
Perilaku paling mirip manusia adalah lama mengasuh anak. Anak orangutan digendong ibunya berkeliling mencari makan hingga berusia lima tahun dan disusui sampai usia delapan tahun. Perilaku ini diduga karena banyak hal yang harus dipelajari anak orangutan agar dapat bertahan hidup hingga berusia 50-an tahun di alam bebas.
Siklus reproduksi orangutan betina mirip manusia: menstruasi terjadi setiap 29-32 hari dengan lama 3-4 hari. Orangutan mengandung umumnya satu janin selama 8,5 bulan dengan berat lahir sekitar 1,8 kg.
Bento, yang dijadikan peliharaan ketika berusia lima tahun, diduga diambil dari induknya yang mati dibunuh manusia atau atau sebab lain.
Primata ini semisosial. Jantan dewasa tak dapat hidup bersama. Mereka akan berkelahi.
”Seharusnya orangutan Kalimantan dikembalikan ke rumahnya. Mereka berhak hidup bahagia,” kata Ketua Yayasan Jakarta International School (JIS) Phil Ricard. PSO pun bisa menjadi tempat belajar anak-anak sejak dini.
Editor:
PAULUS TRI AGUNG KRISTANTO, ANTONIUS TOMY TRINUGROHO