Jalan Timpang Kesejahteraan dan Ancaman Kekerasan Wartawan
Isu upah layak bagi jurnalis terus disuarakan, tetapi kesejahteraannya masih jauh dari harapan. Jurnalis memikul peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dengan menghadapi berbagai ancaman tanpa ganjaran sepadan.
Di tengah menguatnya ancaman kekerasan dalam kerja-kerja jurnalistik, upah layak bagi wartawan masih sering diabaikan. Jurnalis menyusuri jalan timpang antara tingginya risiko pekerjaan dan lemahnya jaminan kesejahteraan.
Menjelang puncak peringatan Hari Pers Nasional pada 9 Februari 2023 di Medan, Sumatera Utara, kasus kekerasan jurnalis kembali menguar. Pimpinan media daring di Bengkulu ditembak orang tidak dikenal, Jumat (3/2/2023). Sehari sebelumnya, seorang jurnalis di Kota Tual, Maluku, juga menjadi korban kekerasan saat meliput konflik dua kelompok warga.
Dua kasus ini memperpanjang catatan kelam kekerasan terhadap jurnalis di Tanah Air. Januari lalu, seorang jurnalis di Papua juga mendapat teror. Benda diduga bom rakitan meledak di samping rumahnya.
Dewan Pers mengecam dan menyesalkan berulangnya tindak kekerasan terhadap wartawan. Aparat penegak hukum diminta segera mengusut tuntas dan menemukan pelakunya untuk mengetahui motif tindak kekerasan tersebut.
Dewan Pers juga meminta semua pihak menghargai para pengelola dan pekerja pers yang menjalankan tugas untuk kepentingan publik dengan menyajikan karya jurnalistik. Tindakan kekerasan tersebut tidak bisa ditoleransi.
Baca juga: Dewan Pers Minta Usut Tuntas Teror Bom terhadap Jurnalis di Papua
Kasus kekerasan di awal tahun ini hanya potret kecil risiko profesi wartawan. ”Jurnalis amat rentan mengalami kekerasan saat bertugas. Di sisi lain, jaminan kesejahteraannya masih menjadi PR (pekerjaan rumah) belum terpecahkan,” ujar Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Pers Ade Wahyudin, Sabtu (4/2/2023).
Laporan tahunan LBH Pers pada 2022 mencatat setidaknya 51 kekerasan terhadap pers. Kekerasan itu menyasar media, wartawan, narasumber, aktivis pers, dan mahasiswa yang menjalankan kerja jurnalistik. Dari kasus tersebut, terdapat 113 korban individu dan organisasi.
Sejumlah korban mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dalam suatu kasus. Intimidasi atau ancaman verbal menjadi yang terbanyak dengan 20 kasus. Selanjutnya penganiayaan dengan 15 kasus dan perampasan alat kerja dengan 8 kasus.
Sementara Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat 61 kasus serangan terhadap jurnalis dan media sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun lalu dengan 43 kasus.
Serangan tersebut menyebabkan 97 korban dari jurnalis dan pekerja media serta 14 organisasi media. Bentuknya berupa serangan digital, perusakan alat kerja, kekerasan verbal, kekerasan berbasis jender, penangkapan dan pelaporan pidana, serta penyensoran.
Secara global, Federasi Jurnalis Internasional (IFJ) menyebutkan 67 jurnalis dan pekerja media terbunuh selama tahun 2022. Dalam buku digital berjudul Mati Karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia yang diterbitkan AJI disebutkan, delapan dari sembilan kasus kematian jurnalis di Tanah Air belum terungkap.
Meskipun kejadiannya sudah cukup lama, kasus-kasus ini tetap perlu diusut tuntas agar tidak menjadi preseden buruk di masa mendatang.
Upaya menyelesaikan kasus kekerasan terhadap wartawan menghadapi berbagai tantangan. Proses hukum beberapa kasus yang telah dilaporkan ke kepolisian berjalan sangat lambat, bahkan terkesan mandek. Selain itu, sejumlah jurnalis korban kekerasan tidak mau membawa kasusnya ke ranah hukum.
Padahal, menurut Ade, pelaporan oleh jurnalis atau institusi medianya bernaung sangat penting untuk mengungkap kasus kekerasan dan menghukum pelakunya. ”Sepenting jurnalis menghargai profesinya. Jangan menganggap (kasus kekerasan) tidak apa-apa. Harus ada perlawanan, salah satunya proses hukum,” ujarnya.
Dalam mengadvokasi korban, LBH Pers berkoordinasi dengan organisasi profesi jurnalis, seperti AJI, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dukungan juga datang dari Dewan Pers yang mengecam aksi-aksi kekerasan terhadap wartawan.
Namun, dukungan dari perusahaan media dinilai belum optimal. ”Keaktifan institusi pers atau medianya masih minim. Padahal, seharusnya mereka yang paling depan mengawal karena menyangkut keselamatan pekerjanya,” ujarnya.
Ancaman kriminalisasi jurnalis menguat pasca disahkannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Selain itu, ketentuan dalam UU Pelindungan Data Pribadi serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 juga berpotensi menjerat kebebasan pers.
Sebelum disahkan menjadi UU, Dewan Pers telah menyarankan reformulasi 11 kluster dan 17 pasal bermasalah dalam RKUHP. Namun, hal ini tidak mendapat umpan balik berarti dari pemerintah dan DPR.
Sejumlah media bertumbangan. Sebagian menghentikan edisi cetak dan beralih sepenuhnya ke platform digital. Banyak pekerja media dirumahkan. Ada juga yang diminta pensiun sebelum waktunya.
Terdapat tenggat tiga tahun sebelum KUHP baru itu diberlakukan. Beberapa pasal dalam KUHP yang dipersoalkan di antaranya Pasal 240 dan 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah. Ada juga Pasal 264 tentang tindak pidana kepada tiap orang yang menyiarkan berita tak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap.
”Disahkannya KUHP baru ancaman serius bagi kebebasan pers,” ujar Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Arif Zulkifli.
Baca juga: Jurnalis di Bawah Bayang-bayang Kriminalisasi
Arif menambahkan, pihaknya mempunyai nota kesepahaman atau MOU dan perjanjian kerja sama dengan Polri mengenai koordinasi dalam perlindungan kemerdekaan pers. Hal ini dilakukan untuk mencegah kriminalisasi terhadap jurnalis terkait pemberitaan.
Kesejahteraan dan independensi
Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Indonesia 2022 mencapai 77,88 poin atau naik 1,86 poin dari tahun sebelumnya. Capaian itu masuk kategori cukup bebas. Itu berarti IKP nasional belum mencapai kategori bebas dengan 90-100 poin.
Kenaikan tipis ini juga dibayangi sejumlah masalah, salah satunya dalam aspek kesejahteraan jurnalis. Jaminan kesejahteraan wartawan masih minim.
Sebanyak 12 provinsi mendapat nilai rendah pada indikator tata kelola perusahaan yang baik karena tak menggaji wartawan sesuai upah minimum provinsi (UMP) dan 13 kali dalam setahun. Sebagian perusahaan pers belum memenuhi aturan kesejahteraan. Padahal, hal ini berdampak terhadap independensi wartawan.
Permasalahan upah jurnalis tergambar dari hasil survei yang dilakukan AJI Jakarta pada November 2021-Februari 2022. AJI Jakarta menyebutkan upah layak untuk pewarta di DKI Jakarta pada 2022 sebesar Rp 8.064.581 per bulan.
Besaran upah ini ditetapkan berdasarkan sejumlah kebutuhan, seperti makanan, sandang, transportasi kerja, paket data internet, cicilan gawai, dan tabungan. Survei ini melibatkan 99 jurnalis dari 60 media daring, cetak, radio, dan televisi yang bekerja di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dengan masa kerja di bawah lima tahun.
Hasilnya, upah terendah sebesar Rp 1,2 juta per bulan dan tertinggi Rp 8,4 juta per bulan. Sebanyak 36 jurnalis atau 36,36 persen digaji di bawah UMP DKI Jakarta 2021 sebesar Rp 4,41 juta per bulan.
Kondisi lebih buruk dialami jurnalis di luar Jakarta. Sejumlah wartawan dengan status kontributor, misalnya, digaji berdasarkan jumlah berita. Tak sedikit yang menerima honor kurang dari Rp 50.000 per berita.
Imbasnya, kuantitas berita lebih diprioritaskan ketimbang kualitasnya. Bahkan, rendahnya gaji itu turut memicu maraknya wartawan yang menerima ”amplop”. Hal ini bertentangan dengan kode etik jurnalistik serta berpotensi merusak independensi jurnalis dan media.
Ancaman bagi wartawan tak berhenti sampai di situ. Industri media yang sedang limbung sangat rentan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya.
Sejumlah media cetak bertumbangan. Sebagian menghentikan edisi cetak dan beralih sepenuhnya ke platform digital. Banyak pekerja media dirumahkan. Ada juga yang diminta pensiun sebelum waktunya.
Baca juga: Dewan Pers Meminta Media Benahi Konten Berita
Jumlah media cetak anggota Serikat Perusahaan Pers (SPS) terus merosot. Jumlahnya tinggal 399 media pada 2022, jauh berkurang dibandingkan setahun sebelumnya yang 593 media.
”Dari sisi tirasnya, tahun 2021 masih ada sekitar 7,5 juta eksemplar per terbit. Namun, pada 2022 kurang dari 5 juta eksemplar per terbit,” ujar Ketua Harian SPS Januar P Ruswita dalam diskusi ”Mau Dibawa ke Mana Industri Pers Kita?”, Sabtu (4/2/2023).
Keadaan sulit ini menghadirkan beragam tantangan. Media cetak, misalnya, tidak bisa lagi hanya mengandalkan berita keras atau hard news. Sebab, media daring dapat menyajikan informasi lebih cepat.
”Harus dilakukan perubahan model medianya, termasuk strategi konten dengan memperdalam dan memperluas isinya,” ujarnya.
Isu upah layak bagi jurnalis terus disuarakan, tetapi kesejahteraannya masih jauh dari harapan. Jurnalis memikul peran memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui dengan menghadapi berbagai ancaman tanpa ganjaran yang sepadan.