Bahan Pembalsaman Mesir Terkuak, Sebagian dari Asia Tenggara
Bahan-bahan pembuatan mumi Mesir kuno yang berusia 2.500 tahun sebagian berasal dari Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan jalinan perdagangan kuno.
JAKARTA, KOMPAS — Bahan-bahan pembuatan mumi Mesir kuno akhirnya terkuak dengan ditemukannya pot berlabel di bengkel pembalsaman berusia 2.500 tahun. Di antara ekstrak tumbuhan dan hewan yang digunakan itu, terdapat bahan pembalsaman yang berasal dari Asia Tenggara yang berjarak ribuan kilometer jauhnya.
Analisis kimia dari isi sejumlah pot berisi campuran kompleks resin botani dan beragam zat itu dilaporkan di jurnal Nature edisi 1 Februari 2023. Maxime Rageot, arkeolog biomolekuler di Universitas Tübingen, Jerman, menjadi penulis pertama kajian ini.
Sebelum studi ini, pengetahuan tentang proses pembalsaman berasal dari dua sumber utama, yaitu teks sejarah dan analisis kimia dari mumi itu sendiri. Akan tetapi, menurut Salima Ikram, arkeolog dan spesialis mumi di Universitas Amerika di Kairo, kepada Nature, informasi mengenai bahan-bahan pembalsaman tidak bisa diketahui dengan rinci.
”Anda mungkin memiliki nama sesuatu, tetapi Anda tidak tahu apa itu, kecuali hieroglif yang menunjukkan bahwa itu adalah minyak atau resin,” kata Ikram, yang tidak terlibat dalam kajian terbaru ini.
Namun, temuan bengkel pembalsaman bawah tanah pada tahun 2016 di Saqqara, sebuah kuburan Mesir kuno yang digunakan sejak 2900 SM atau sebelumnya, itu telah memberi pengetahuan baru. ”Situs itu juga mencakup ruang pemakaman, dan kemungkinan anggota elite masyarakat dimakamkan di sana,” kata Rageot dan tim.
Di dalam bengkel Saqqara yang berasal dari tahun 664–525 SM, para arkeolog menemukan lusinan bejana keramik yang digunakan dalam proses pembalsaman. Bejana-bejana keramik itu dilabeli dengan bahan yang dikandungnya dan kegunaannya. Ini pertama kalinya ditemukan stoples bahan pembalsaman dengan label isinya.
Untuk mengidentifikasi kandungan spesifik bejana, tim peneliti Mesir-Jerman menganalisis campuran bahan balsam dari 31 bejana menggunakan teknik yang disebut kromatografi gas-spektrometri massa di laboratorium Pusat Penelitian Nasional di Giza, Mesir.
Hasilnya menunjukkan beberapa bahan yang sebelumnya dikaitkan dengan mumifikasi, termasuk ekstrak dari semak juniper, pohon cemara, dan pohon cedar, yang tumbuh di wilayah Mediterania timur. Tim juga menemukan bitumen dari Laut Mati bersama dengan lemak hewani dan lilin lebah, yang kemungkinan berasal dari daerah sekitar.
Namun, para peneliti juga mengidentifikasi dua kandungan yang mengejutkan, satu resin yang disebut elemi, yang berasal dari pohon Canarium atau kenari yang tumbuh di hutan hujan di Asia dan Afrika. Bahan satu lagi disebut damar yang berasal dari pohon Shorea yang ditemukan di hutan tropis di selatan India, Sri Lanka, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Bahan impor
Mesir diketahui miskin sumber daya zat resin sehingga banyak bahan untuk mumifikasi ini yang diperoleh atau dibeli dari tempat lain. Bahkan, dari kajian Maxime Rageot dan tim ini, sebagian besar bahan yang digunakan di bengkel Saqqara diimpor, banyak di antaranya dari jarak yang cukup jauh.
Temuan ini mengonfirmasi pola diversifikasi dan kompleksifikasi praktik pembalsaman yang diketahui setelah sekitar 1000 SM. Asal-usul zat yang berbeda memberikan bukti untuk jaringan perdagangan global.
Temuan ini memperkuat keberadaan jaringan perdagangan kuno yang menghubungkan India dan Asia Tenggara dengan wilayah Mediterania.
Pohon Pistacia yang menghasilkan resin dengan hasil tinggi (Pistacia lentiscus atau Pistacia terebinthus), pohon zaitun, cedar, juniper, dan cemara tidak ada di Mesir, tetapi tumbuh di lokasi yang berbeda di cekungan Mediterania.
Temuan ini memperkuat keberadaan jaringan perdagangan kuno yang menghubungkan India dan Asia Tenggara dengan wilayah Mediterania. Para peneliti tidak bisa memastikan apakah pembalsam Mesir mencari ramuan khusus ini atau menemukannya melalui trial and error. Meski demikian, temuan ini menunjukkan, teknik pembalsaman Mesir kuno didasari pemahaman yang canggih tentang sifat bahan mentah.
Panci berisi campuran kompleks dari bahan-bahan yang, dalam beberapa kasus, telah dipanaskan atau disuling dengan hati-hati. Banyak resin memiliki sifat antimikroba—satu mangkuk berisi elemi dan lemak hewani bertuliskan ”untuk membuat baunya menyenangkan” atau karakteristik yang mendukung pengawetan.
”Pengetahuan mereka tentang zat ini luar biasa,” kata Maxime Rageot.
Para peneliti juga menulis, studi kimia mumi menunjukkan bahwa resep pembalsaman menjadi lebih kompleks dari waktu ke waktu. ”Tapi satu pertanyaan terbuka adalah bagaimana orang Mesir kuno mengembangkan prosedur dan resep pembalsaman khusus dan mengapa mereka memilih bahan tertentu daripada yang lain,” kata rekan penulis studi Mahmoud Bahgat, ahli biokimia di Pusat Penelitian Nasional Mesir di Kairo, pada siaran pers.
Jejak di Barus
Relasi perdagangan Nusantara dengan India dan Timur Tengah telah terjadi sejak awal Masehi. Hal ini sebelumnya telah diketahui sejumlah peneliti. Kajian terbaru tentang bahan pembalsaman di Mesir ini menguatkan, relasi ini sudah berjalan lebih lama lagi.
Dalam karyanya, Geografi, yang ditulis pada abad ke-2 M, Ptolomaeus mencatat ”lima pulau Baroussai” yang menghasilkan kamper (kapur barus) di antara tanah-tanah dari Timur Jauh. Selain kapur barus, pantai barat Sumatera ini juga kaya dengan damar.
Claude Guillot dalam buku Barus Seribu Tahun yang Lalu (2008) menyebutkan, nama Baroussai ini dianggap berkaitan dengan Barus, sekarang di Sumatera Utara, berbatasan dengan Aceh Singkil.
Dalam buku Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perdagangan Dunia (2011), OW Wolters menulis, karpura atau kapur barus telah disebut dalam cerita Jataka, Ramayana, juga cerita Milinda-panha. Kapur barus juga disebut dalam sejumlah kitab tentang penyembuhan karya Caraka, tabib Raja Kaniska dari Kushan, yang berkuasa antara abad ke-1 dan ke-2 Masehi. Hal ini menunjukkan jejak India di Barus.
Pedagang-pedagang Tamil dari India selatan memang memainkan peran utama dalam perdagangan kapur barus ke dunia luar. Bukti keberadaan mereka terungkap dari prasasti batu yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, pada 1873.
Prasasti berbahasa Tamil itu kemudian diurai oleh sejarawan India, KA Nilakanta Sastri, pada 1932. Mengacu pada prasasti bertarikh 1010 Saka atau 1088 Masehi itu, Sastri menyimpulkan bahwa sekumpulan orang Tamil telah tinggal di Barus, termasuk di antaranya tukang-tukang yang mahir mengukir prasasti.
Penggalian oleh tim gabungan dari Lembaga Kajian Perancis tentang Asia (Ecole Française d’Extrême-Orient/EFEO) dan peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) pada 1995-2000 menguatkan jejak pedagang Tamil ini. Claude Guillot (2008) menyebutkan, berat pecahan tembikar dan keramik yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, mencapai 600 kilogram. Dia memperkirakan tembikar itu sebagian besar dibuat di India dekat Teluk Persia sebelum abad pertengahan.
Selain artefak India juga ditemukan artefak dari China berkualitas tinggi yang, menurut arkeolog Perancis, Marie-France Dupoizat, menandakan kemakmuran Lobu Tua. Luasnya jaringan perdagangan Barus juga ditandai dengan ditemukannya sekitar 1.000 pecahan tembikar asal Mesopotamia di Timur Tengah dari abad ke-9 hingga abad ke-10, selain juga temuan lain berupa manik-manik, logam, batu bata, dan mata uang emas.