Kasus Kematian akibat Demam Berdarah Dengue Didominasi Anak-anak
Ada tiga hal yang berpengaruh dalam penularan penyakit, di antaranya lingkungan, inang (manusia), dan virus atau sejenisnya. Pemberantasan sarang nyamuk, imunisasi, dan penerapan teknologi dapat menekan infeksi DBD.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kesehatan melaporkan 73 persen dari 1.183 kematian akibat demam berdarah dengue pada tahun 2022 adalah anak-anak berusia 0-14 tahun. Karena itu, berbagai inovasi sebagai upaya pencegahan penularan diperlukan untuk menekan angka infeksi penyakit tersebut.
Total angka kasus DBD di Indonesia meningkat dari 73.518 orang pada 2021 menjadi 131.265 kasus pada 2022. Sementara untuk jumlah kematian juga meningkat dari 705 orang pada 2021 menjadi 1.183 orang pada 2022.
Jumlah kasus baru ataupun kematian tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat. Kasus infeksi DBD di Jawa Barat sebesar 33.400 orang dengan kematian mencapai 285 orang, disusul Jawa Timur sebesar 12.123 orang dengan kematian 132 orang. Sementara angka kasus DBD di Jawa Tengah sebesar 12.047 orang dengan angka kematian 249 korban jiwa.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan, semakin sering seseorang terinfeksi DBD maka kian tinggi risiko kematiannya. Penularan dan infeksi DBD ini sering kali terjadi pada kawasan urban dengan jumlah penduduk yang tinggi.
”Hasil analisis menunjukkan peningkatan kasus DBD ini ada siklusnya. Siklus 5-6 tahunan ini dipengaruhi oleh El Nino dan La Nina yang terjadi di Indonesia,” ujarnya dalam diskusi media bertema ”Membuka Jalan Menuju Pencegahan Inovatif terhadap DBD”, di Jakarta, Minggu (5/2/2023).
Puncak infeksi DBD terjadi saat fenomena El Nino—anomali iklim kering—yang membuat suhu lebih panas sehingga nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus lebih aktif. Hal ini terlihat dari kasus tahunan DBD pada 2016 dan 2019. Sementara untuk siklus bulanan cenderung meningkat saat musim hujan yang rawan terjadi genangan air, berkisar November hingga April.
Menurut Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Hartono Gunardi, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang rentan terserang DBD. Saat anak yang pernah menderita DBD terinfeksi kembali, maka tubuhnya akan semakin rentan. Selain itu, obesitas dan komorbid bawaan cenderung memperparah kondisi DBD.
Kawasan perkotaan semakin besar peluang untuk penularan DBD. Nyamuk cenderung terbang dan menginfeksi dalam radius 100 meter. Namun, ketika nyamuk terus menginfeksi, jumlah korban berjatuhan tidak dapat dihindarkan.
Oleh karena itu, orangtua diminta untuk mewaspadai gejala DBD yang muncul pada anaknya, antara lain demam, bintik kemerahan, nyeri sendi dan otot, dan perdarahan. Saat gejala tersebut muncul, orangtua perlu membawa anaknya ke rumah sakit atau puskesmas terdekat untuk dirawat. Semakin cepat deteksi dan penanganan, maka kian tinggi pula tingkat kesembuhannya.
”Hal terpenting yang harus diwaspadai adalah renjatan (kegagalan peredaran darah). Pada renjatan tahap awal masih memungkinkan pasien untuk pulih kembali. Akan tetapi, saat memasuki tahap parah, kondisi organ pasien akan mengalami kerusakan dan sulit untuk pulih kembali. Hal ini sangat menurunkan peluang hidup pasien,” ungkap Hartono.
Belum tersedianya obat untuk membunuh virus dengue membuat peran pencegahan penyakit menjadi tujuan utama. Hal terpenting, kata Imran, yakni memberantas sarang nyamuk. Kini, imunisasi dan penerapan teknologi Wolbachia—penyisipan bakteri Wolbachia untuk mengendalikan replikasi virus dengue—terus dikembangkan sebagai inovasi pencegahan DBD.
Namun, pembiakan nyamuk ber-Wolbachia dengan cara diternakkan membutuhkan waktu lama. Untuk diterapkan di Kota Semarang, misalnya, membutuhkan 10 juta nyamuk ber-Wolbachia agar efektif. ”Teknologi ini tergolong baru, keterbatasannya bukan hanya pada anggaran, tetapi juga kemampuan memperbanyak nyamuk ber-Wolbachia,” ucap Imran.
Sebagai informasi, teknologi Wolbachia mampu menekan angka infeksi DBD sebesar 77,1 persen dan angka perawatan sebesar 82,6 persen. Metode ini telah direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sejak 2020 dan Kota Yogyakarta telah menjadi tempat untuk uji coba. Tahun ini, Kota Semarang, Jakarta Barat, Kupang, Bontang, dan Bandung, juga akan menerapkan teknologi Wolbachia secara bertahap.
Hartono menambahkan, imunisasi dan vaksinasi berperan mencegah penularan DBD. Indonesia kini memiliki dua jenis vaksin yang bisa digunakan sebagai upaya pencegahan. ”Tingkat kemanjuran imunisasi DBD untuk mencegah rawat inap pada anak usia 1-18 bulan mencapai 90,4 persen. Sementara untuk mencegah infeksi dengue mencapai 80,2 persen,” tuturnya.
Ketua Satuan Tugas Imunisasi Dewasa Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Sukamto Koesnoe menuturkan, imunisasi juga berdampak sama bagi orang dewasa. Namun, orang dewasa cenderung jarang mengimunisasi diri mereka dan lebih mengkhawatirkan kondisi anak. Padahal, penyakit ini juga berpotensi menular dari orangtua ke anaknya.
Selain itu, ada tiga hal yang berpengaruh pada penularan penyakit, di antaranya lingkungan, inang (manusia), dan virus atau sejenisnya. Faktor lingkungan juga ada yang dapat dicegah dan tidak, misalnya sarang nyamuk dapat diintervensi manusia.
”Kawasan perkotaan semakin besar peluang untuk penularan DBD. Nyamuk cenderung terbang dan menginfeksi dalam radius 100 meter. Namun, ketika nyamuk terus menginfeksi dalam kisaran itu, maka jumlah korban berjatuhan tidak dapat dihindarkan,” kata Sukamto.
Oleh karena itu, setiap orang bertanggung jawab membersihkan lingkungan mereka dari genangan air dan tempat yang berpotensi untuk nyamuk bersarang. Kini, dengan vaksinasi dapat menurunkan potensi infeksi DBD pada seseorang.