Berisiko Deforestasi, Kebijakan Biodiesel Perlu Akomodasi Aspek Keberlanjutan
Kebutuhan untuk memenuhi biodiesel akan memunculkan ancaman meningkatnya ekspansi perkebunan sawit. Pada akhirnya, pembukaan lahan untuk sawit akan terus merambah berbagai wilayah, termasuk kawasan hutan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Batas hutan dan perkebunan sawit di Distrik Yaur, Kabupaten Nabire, April 2021.
JAKARTA, KOMPAS – Kebijakan biodiesel B30 akan membuat neraca minyak kelapa sawit defisit pada 2025 dan berpotensi meningkatkan deforestasi akibat pembukaan perkebunan sawit baru. Oleh karena itu, kebijakan biodiesel Indonesia harus mengakomodasi aspek keberlanjutan, seperti lingkungan hidup, ekonomi, sosial, dan transparansi.
Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengemukakan, data Sawit Watch hingga 2022 menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 25,07 juta hektar. Namun, perkebunan yang menyumbang nilai ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) mencapai 27,76 miliar dollar AS tersebut 60 persennya dimiliki oleh pihak swasta.
”Luas perkebunan di Indonesia ini hampir tidak ada kontrol. Bahkan, data ketimpangan perkebunan sawit ke depan kemungkinan akan semakin besar,” ujarnya dalam webinar tentang problematika minyak kelapa sawit untuk pangan dan energi, Sabtu (4/2/2023).
Kemungkinan bila kebijakan biofuel diteruskan dengan skenario yang ada saat ini akan terjadi pembukaan lahan baru. Hal ini akan memunculkan potensi deforestasi yang sangat besar.
Menurut Surambo, masalah sawit di Indonesia masih akan muncul seiring dengan adanya kebijakan bahan bakar nabati B30. Masalah tersebut salah satunya terkait dengan defisit atau kekurangan neraca CPO pada 2025 untuk konsumsi lokal dan ekspor.
Dengan kondisi defisit CPO tersebut, kebutuhan untuk memenuhi biodiesel dipandang Surambo akan memunculkan ancaman meningkatnya ekspansi perkebunan sawit. Pada akhirnya, pembukaan lahan untuk sawit akan terus merambah berbagai wilayah di Indonesia, termasuk kawasan hutan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Petugas memperlihatkan berbagai jenis bahan bakar biodiesel di kantor Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Tengah, Kota Semarang, September 2019.
Adanya potensi defisit lahan untuk CPO ini juga telah tertuang dalam hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) bersama Greenpeace. Hasil kajian menunjukkan, kebijakan B30 akan memunculkan defisit lahan seluas 5,25 juta hektar dan meningkat menjadi 9,29 juta hektar untuk B50.
”Ke depan, kemungkinan bila kebijakan biofuel diteruskan dengan skenario yang ada saat ini akan terjadi pembukaan lahan baru. Hal ini akan memunculkan potensi deforestasi yang sangat besar meskipun ada usaha terkait pemanfaatan minyak jelantah,” katanya.
Surambo meyakini, tidak adanya aturan yang jelas akan memunculkan kompetisi dalam produksi CPO. Dari aspek perizinan, sampai sekarang belum ada kebijakan yang mengatur pemberian hak guna usaha (HGU) untuk produksi biofuel.
Selain itu, perluasan perkebunan sawit ke depan juga dinilai akan semakin meningkatkan konflik sosial. Sawit Watch mencatat, sampai 2020 terdapat 1.065 kasus konflik sosial di perkebunan sawit dengan jenis terbanyak ialah konflik tenurial atau penguasaan lahan.
Guna mencegah dampak buruk ini, kebijakan standar biofuel Indonesia harus mengakomodasi keberlanjutan berbagai aspek, seperti lingkungan hidup, ekonomi, sosial, dan transparansi. Di sisi lain, pelaku biofuel harus memiliki standar atau sertifikasi perkebunan kelapa sait berkelanjutan (ISPO) sebelum dapat mengajukan indikator keberlanjutan bioenergi Indonesia (IBSI).
”Memang sampai saat ini program sawit berkelanjutan masih banyak permasalahan. Namun, minimal kita punya standar untuk aspek keberlanjutan meskipun terkadang implementasinya benar-benar dilakukan sampai level terbawah atau tidak,” ucapnya.
Deputi Direktur Satya Bumi Andi Muttaqien mengatakan, pembukaan kawasan hutan untuk penyediaan kebutuhan sawit akan semakin menurunkan jumlah keanekaragaman hayati terutama satwa langka. Bahkan, hal ini juga dapat mengganggu ketahanan pangan.
Andi menekankan bahwa kebijakan untuk pemenuhan biofuel ataupun minyak goreng dari perkebunan sawit harus benar-benar menerapkan prinsip keberlanjutan. Prinsip ini harus melekat di regulasi Indonesia dan potensi diterapkan sampai produk hilir.
Realisasi pemanfaatan
Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowomenuturkan, program mandatori bahan bakar nabati bertujuan untuk meningkatkan ketahanan energi nasional. Program ini juga diyakini akan menurunkan impor solar secara signifikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani sawit.
Kementerian ESDM mencatat, realisasi pemanfaatan biodiesel pada 2022 mencapai 10,5 juta kiloliter (kl). Tahun ini, target realisasi pemanfaatan biodiesel meningkat menjadi 13,15 juta kl. Sementara merujuk pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target realisasi biodiesel hingga 2025 mencapai 13,9 juta kl.
Realisasi pemanfaatan biodiesel sepanjang 2022 telah menghemat devisa negara hingga 8,34 miliar dollar AS atau Rp122,65 triliun. Realisasi ini juga telah mengurangi emisi gas rumah kaca sekitar 27,8 juta ton setara karbon dioksida.