Komitmen Presiden Atasi Pencemaran Udara Dipertanyakan
Potensi polusi udara yang kian memburuk membutuhkan komitmen pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara. Dalam kondisi ini, Presiden mengajukan kasasi dalam kasus gugatan pencemaran udara oleh warga.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Polusi udara di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (27/7/2022). Kualitas udara di Jakarta masih belum ramah pada perempuan dan anak-anak. Upaya memperbaiki kualitas udara di Jakarta diharapkan juga menjadi kesadaran daerah lain. Sebab, kondisi udara di suatu daerah tidak terlepas dari wilayah lain.
JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengajukan kasasi atas kasus pencemaran udara di Jakarta setelah banding di Pengadilan Tinggi Jakarta ditolak. Hal ini membuat komitmen negara dalam penanganan pencemaran udara kembali dipertanyakan. Terlebih potensi pencemaran udara diperkirakan akan meningkat seiring melemahnya fenomena La Nina sehingga komitmen dan upaya khusus pemerintah dibutuhkan.
Kasasi diajukan Presiden pada 20 Januari 2023. Sebelumnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar telah mengajukan kasasi pada 13 Januari 2023. Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Kota dan Semesta (Ibukota) sebagai pemenang banding juga telah memberikan kontra memori kasasi keduanya.
Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jihan Fauziah Hamdi, mengatakan, pengajuan kasasi oleh pemerintah secara tidak langsung menempatkan masyarakat sebagai lawan. Langkah ini juga dapat diartikan sebagai upaya lari dari tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas udara.
”Memang semua elemen dapat mengajukan proses hukum mulai dari sidang awal, banding, kasasi, dan pengajuan kembali. Namun, ketika hal ini dilakukan oleh negara akan menimbulkan pertanyaan, tetapi tanpa jawaban,” ujarnya dalam konferensi pers Kontra Memori Kasasi Presiden terhadap Gugatan Warga Negara secara daring, di Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Hasil banding di Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 16 Desember 2021. Adapun tergugat, di antaranya Presiden, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan, dan Menteri LHK, diharuskan untuk menentukan langkah memperbaiki kualitas udara di Jakarta.
Pengajuan kasasi, kata Jihan, dapat dipahami sebagai sinyal pemerintah yang tidak ingin berkomitmen untuk memperbaiki kualitas udara. Padahal, gugatan masyarakat atas hak menghirup udara bersih berdampak bagi semua orang.
Apakah masyarakat harus membeli ’air purifier’ (penyaring udara) untuk menghirup udara bersih? Hal ini tidak seharusnya terjadi. Menghirup udara bersih adalah hak semua orang. Oleh karena itu, pemerintah dan pihak lainnya harus berkomitmen serta bertindak untuk membersihkan udara.
Merujuk pemantauan kualitas udara IQAir per Jumat (3/2/2023) pukul 14.00, kualitas udara Jakarta berada dalam kondisi sedang dengan indeks 61. Kandungan polutan PM2.5 di udara lebih besar 3,4 kali dari panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Hasil kajian inventarisasi sumber pencemaran udara pada 2020 oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta dan Vital Strategies menemukan, sektor transportasi dan industri secara berurutan menduduki peringkat pertama dan kedua sebagai sumber polutan udara utama. Polutan tersebut di antaranya NOx, PM10, dan PM2.5.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Triyoko M Soleh Oedin menyebutkan, kasasi diajukan atas dasar kajian Direktorat Jenderal (Ditjen) Pencemaran dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan (PPKL) KLHK. Kepala Subbagian Advokasi Hukum Perdata KLHK Yudi Ariyanto meminta semua pihak untuk menunggu hasil putusan Mahkamah Agung.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan, fenomena La Nina akan terus melemah pada 2023, bahkan berpotensi untuk El Nino lemah. Kondisi ini akan membuat lingkungan lebih kering dan curah hujan lebih rendah dari tiga tahun sebelumnya.
Menurut Guru Besar Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Haryanto, pencemaran udara di Indonesia selama tahun 2020, 2021, dan 2022, tertolong oleh kondisi La Nina yang tinggi. Udara kotor cenderung mudah terurai karena curah hujan tinggi dan angin yang cukup kencang.
”Dengan melemahnya La Nina, curah hujan yang rendah akan membuat polusi udara di Jakarta terperangkap dan tidak bisa terurai seperti sebelumnya. Jakarta hanya bisa berharap angin cukup kencang untuk membawa polusi pergi,” ucapnya.
Gedung-gedung tinggi akan menghambat laju angin dan memaksa polusi menetap di Jakarta. Sementara itu, sumber pencemar, seperti kendaraan bermotor, tetap beroperasi secara normal. Ketika tidak ada tindakan untuk menurunkan polusi dari sumbernya, lanjut Budi, warga Jakarta perlu mempersiapkan diri untuk menghirup udara tercemar.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menuturkan, jangan sampai pencemaran di Jakarta membuat udara bernasib sama seperti air bersih yang harus dibeli warga Jakarta. Kondisi ini dapat memicu ketimpangan yang lebih besar lagi.
”Apakah masyarakat harus membeli air purifier (penyaring udara) untuk menghirup udara bersih? Hal ini tidak seharusnya terjadi. Menghirup udara bersih adalah hak semua orang. Oleh karena itu, pemerintah dan pihak lainnya harus berkomitmen serta bertindak untuk membersihkan udara,” ucapnya.