Penyakit cacingan pada anak sering kali diabaikan orangtua, khususnya di perkotaan. Penyakit yang telah ada ratusan tahun ini dapat menurunkan kecerdasan anak.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pelajar sekolah dasar kelas 5 dan 6 antre untuk mendapatkan obat cacing saat mengikuti imunisasi diphteria tetanus (Dt) yang diadakan Puskesmas Rawa Bunga, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (29/9/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit cacingan akibat infeksi parasit dapat menurunkan tingkat kecerdasan anak secara perlahan. Potensi bahayanya memang tidak mematikan, tetapi memengaruhi tumbuh kembang anak. Penularan parasit ini erat kaitannya dengan sanitasi dan kebersihan lingkungan.
Merujuk data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 Kementerian Kesehatan, proporsi anak balita yang menderita cacingan sebesar 2,8 persen. Namun, pada sejumlah provinsi terdapat kesenjangan prevalensi yang cukup besar. Misalnya Sulawesi Barat sebanyak 12,2 persen, sementara di Papua sebesar 7,3 persen.
Dokter spesialis anak konsultan infeksi dan penyakit tropis, Ayodhia Pitaloka Pasaribu, menuturkan, beberapa cacing yang sering menginfeksi anak, di antaranya, adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Necator americanus). Ketiganya ditularkan pada manusia melalui perantara tanah.
”Pada lingkungan yang tidak higienis, cacing berasal dari feses, kemudian tumbuh di tanah atau air. Mereka dapat menginfeksi secara langsung melalui kulit ataupun makanan yang tidak dicuci dengan bersih,” ucapnya dalam konferensi pers mengenai cacingan pada anak secara daring, di Jakarta, Jumat (3/2/2023).
Cacingan tidak dapat menyebabkan kematian secara langsung, tetapi menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan protein serta darah. Infeksi satu cacing tambang dewasa dapat mengisap 0,05 mililiter (mm) hingga 0,1 mm darah per harinya.
Selain itu, cacing cambuk yang menginfeksi usus menyebabkan luka sehingga inangnya kekurangan darah. Infeksi kedua jenis cacing itu dalam jumlah yang banyak dapat mengakibatkan anemia dan kekurangan zat besi yang menurunkan kecerdasan serta produktivitas anak.
Adapun ciri-ciri anak yang terinfeksi, antara lain, ialah mudah lelah, rewel, kurang gizi, kemampuan belajar menurun, dan pertumbuhan terganggu. Penelitian Sri Novianty dan kawan-kawan pada 2018 mengenai infeksi cacing pada anak di kawasan pertanian Sumatera Utara menemukan anak yang tidak memotong kuku berisiko 4,5 kali menderita cacingan.
Selain itu, ibu yang jarang mencuci tangan dapat meningkatkan risiko anak cacingan sebesar 5,8 kali. Sementara ibu yang jarang memotong kuku meningkatkan risiko anak cacingan sebesar 4,1 kali.
Anak yang tidak memotong kuku berisiko 4,5 kali menderita cacingan.
”Anak-anak yang tidak mengenakan alas kaki, buang air besar sembarangan, tidak mencuci tangan, dan bermain pasir cenderung lebih besar peluangnya terinfeksi cacingan. Bahkan, anak yang sering bermain pasir berpotensi 7,5 kali lebih besar,” ujarnya.
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, penyakit cacingan sudah ada sekitar ratusan tahun, terutama di wilayah beriklim tropis, seperti Indonesia. Penyakit ini sering kali diabaikan orangtua, khususnya yang tinggal di perkotaan.
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso dalam konferensi pers mengenai cacingan pada anak secara daring, di Jakarta, Jumat (3/2/2023).
”Infeksi parasit berupa cacing menggerogoti nutrisi yang ada di dalam tubuh anak. Hal ini dapat mengakibatkan anak malanutrisi kronis, tengkes (stunting), dan penyumbatan usus,” ujarnya.
Prevalensi tengkes di Indonesia cenderung menurun dari 24,4 persen pada 2021 ke 21,6 persen pada 2022 (SSGI, 2022). Upaya intervensi penyakit cacingan dinilai mampu menekan angka tengkes meski sedikit. Pemerintah juga menargetkan tren anak balita tengkes sebesar 14 persen pada 2024.
Kekurangan nutrisi pada anak balita sangat memengaruhi proses tumbuh kembangnya. Nutrisi berperan penting dalam metabolisme dan konsentrasi anak. Apabila tidak terpenuhi, anak cenderung sulit fokus berkonsentrasi pada pelajarannya. Lebih jauh, hal ini dapat mengancam masa depan mereka sebagai generasi penerus.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Warga di kawasan Bidara Cina, Jatinegara, Jakarta, yang dilintasi Kali Ciliwung menghabiskan akhir pekannya dengan berbincang dan berenang di tepian kali tersebut, Jumat (27/5/2022). Terbatasnya ruang untuk bersosialisasi antarwarga dan bermain yang aman dan bersih menyebabkan mereka yang tinggal di kawasan kumuh itu bermain dan bersosialisasi di tempat yang jauh dari kata higienis dan aman.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengutarakan, kondisi cuaca tidak terlalu berpengaruh pada infeksi cacing. Faktor yang paling berpengaruh adalah kebersihan dan lingkungan.
Pola hidup bersih dan sehat (PHBS) dan sanitasi total berbasis masyarakat menjadi kunci pencegahan dan pengendalian cacingan. Obat cacingan (albendazol) juga sudah disediakan dan dapat digunakan setiap enam bulan sekali untuk anak umur 1-12 tahun. ”Cakupan anak yang minum obat cacing tahun 2021 mencapai 33,8 juta orang,” ujar Nadia.