Peluncuran dokumen strategis nasional pengelolaan lahan basah diharapkan dapat membuat upaya rehabilitasi dapat lebih terukur. Dokumen ini fokus terhadap empat aspek fungsi dalam pengelolaan ekosistem lahan basah.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengelolaan ekosistem lahan basah khususnya gambut dan mangrove di Indonesia mencakup banyak aspek dan kerap melibatkan berbagai pihak. Dengan adanya dokumen strategis nasional pengelolaan lahan basah, diharapkan seluruh upaya rehabilitasi ataupun tata kelola ekosistem ini dapat lebih terukur dan menjadi prioritas.
Hal tersebut mengemuka dalam acara peluncuran dokumen strategi nasional (stranas) pengelolaan lahan basah dari Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) di Jakarta, Kamis (2/2/2023).
Dokumen ini merupakan rujukan bagi sejumlah pihak untuk secara kolaboratif melakukan pengelolaan ekosistem lahan basah khususnya gambut dan mangrove. Dokumen ini juga menargetkan rehabilitasi mangrove di wilayah prioritas seluas 35.000 hektar.
Selain itu, dokumen ini juga fokus terhadap empat aspek fungsi dalam pengelolaan ekosistem lahan basah. Aspek tersebut meliputi peningkatan tutupan lahan, penurunan gas emisi rumah kaca, mempertahankan keanekaragaman hayati, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam mengemukakan, dokumen stranas ini dibuat karena semua pihak menyadari bahwa lahan basah memiliki kontribusi yang sangat besar untuk berbagai aspek. Selain aspek lingkungan, lahan basah juga berkontribusi besar terhadap aspek ekonomi dan sosial masyarakat.
”Dua tahun lalu, kami menyadari terkait bagaimana pengelolaan lahan basah ini harus diprioritaskan bila tidak ada dokumen stranas. Selanjutnya diharapkan kami bisa membawa dokumen ini untuk menjadi prioritas nasional dalam dokumen perencanaan pembangunan hingga diturunkan sampai level implementasi,” ujarnya.
Dokumen stranas pengelolaan lahan basah nantinya akan menjadi bagian dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN/RPJPN). Dengan begitu, semua upaya pengelolaan lahan basah akan memiliki mekanisme dalam pemantauan dan evaluasi sesuai peraturan yang berlaku.
Dokumen ini merupakan rujukan bagi sejumlah pihak untuk secara kolaboratif melakukan pengelolaan ekosistem lahan basah khususnya gambut dan mangrove.
Medrilzam menekankan bahwa aspek kolaborasi sangat penting guna mendukung dan mengimplementasikan berbagai target yang ditetapkan dalam dokumen stranas pengelolaan ekosistem lahan basah ini. Kolaborasi ini termasuk melibatkan pemerintah daerah, akademisi, organisasi nonpemerintah (NGO), masyarakat, dan media.
Sekretaris Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Ayu Dewi Utari mengatakan, rehabilitasi ekosistem lahan basah merupakan sebuah upaya untuk memulihkan, meningkatkan, dan mempertahankan ekosistem tersebut. Jadi, khusus untuk ekosistem mangrove, upaya rehabilitasi tidak sekadar menanam bibit tanaman baru.
”Kegiatan selanjutnya yang dilakukan BRGM ialah masih menunggu pelaksanaan program mangrove coastal resillience di empat provinsi seluas 75.000 hektar,” ujarnya.
Sementara untuk ekosistem gambut, sejak 2016 sampai saat ini BRGM telah merestorasi seluas 1,4 juta hektar dari target 2 juta hektar. Pendekatan dan teknik restorasi gambut yang dilakukan yaitu pembasahan (rewetting), penanaman (revegetation), dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal (revitalization).
Strategi manajemen
Direktur Utama PT Solusi Alam Indonesia Fairus Mulia mengatakan, sebelum melakukan kegiatan ekonomi, terdapat tiga langkah strategi manajemen untuk ekosistem hutan. Langkah tersebut dimulai dari penyelamatan ekosistem, kemudian melakukan kajian atau studi, baru terakhir penggunaan kawasan ekosistem tersebut.
”Dari kajian, muncul kluster mangrove yang di dasar lumpur, pulau, pesisir, dan delta. Selama ini yang diberikan izin pemanfaatan yaitu mangrove di delta dan tidak berhubungan langsung dengan laut lepas. Jadi, secara fisik akan aman dari gerusan erosi,” katanya.
Fairus menegaskan bahwa selain upaya konservasi, aspek penegakan hukum yang kuat juga sangat penting dalam pengelolaan ekosistem lahan basah. Sebab, pada dasarnya dokumen tata ruang di setiap daerah telah menetapkan peruntukan suatu kawasan tersebut baik untuk budidaya maupun lindung.
Presiden dan Executive Chair Konservasi Indonesia Meizani Irmadhiany menambahkan, pengelolaan ekosistem yang transformatif dan berkelanjutan tidak bisa dilakukan hanya dengan penguatan penegakan hukum, tetapi juga harus ada perubahan sistem secara keseluruhan. Namun, perubahan sistem ini membutuhkan komitmen dari semua pihak.
”Diharapkan melalui strategi jangka panjang dan kerja sama multipihak, transformasi (pengelolaan ekosistem) ini bisa berjalan seluruhnya dan secepatnya di Indonesia,” katanya.