Belum semua penyandang disabilitas terdata, antara lain, karena terhambat stigma negatif. Di sisi lain, data yang dihimpun berbagai institusi juga belum sinkron.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Belum semua penyandang disabilitas di Indonesia terdata. Pendataan terhalang stigma negatif terhadap penyandang disabilitas, kondisi geografis, hingga data tidak sinkron. Padahal, data ini penting agar difabel dapat mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
Ketua Komisi Nasional Disabilitas Dante Rigmalia mengatakan, sebagian besar penyandang disabilitas belum terdata. Menurut perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), persentase penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 10 persen dari total jumlah penduduk.
”Saat dicek dengan yang punya NIK (nomor induk kependudukan), jumlahnya (penyandang disabilitas) sangat sedikit. Yang jelas, angkanya jauh dari 10 persen estimasi WHO,” kata Dante saat dihubungi, Kamis (2/2/2023).
Salah satu kendala pendataan adalah penyandang disabilitas masih menerima stigma negatif dari masyarakat. Akibatnya, sebagian warga menyembunyikan anggota keluarganya yang penyandang disabilitas. Hal ini membuat mereka tidak terdata.
Kondisi geografis pun jadi tantangan. Sebagian penyandang disabilitas tinggal di tempat yang sulit dijangkau sehingga pendataan terhambat. Selain butuh waktu panjang untuk sampai lokasi, ongkos transportasinya juga mahal.
Sekretaris Dinas Sosial Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, Sophia B Loro mengatakan, data kelompok rentan di daerahnya belum lengkap karena terhambat kondisi geografis. Petugas lapangan kadang mesti menyeberang laut atau melewati jalan yang rusak untuk sampai ke lokasi penyandang disabilitas.
”Kami akhirnya melegitimasi data kependudukan KPM (keluarga penerima manfaat), sinkronkan data, lalu mengusulkan KPM untuk masuk DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial). Kami juga berkolaborasi dengan NGO,” kata Sophia pada diskusi daring program Indonesia Covid-19 Surge Response (ICSR), Kamis (26/1/2023).
Salah satu kendala pendataan adalah penyandang disabilitas masih menerima stigma negatif dari masyarakat. Akibatnya, sebagian warga menyembunyikan anggota keluarganya yang penyandang disabilitas.
Data yang tidak lengkap membuat sebagian penyandang disabilitas tidak memiliki dokumen kependudukan seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Tanpa dokumen ini, penyandang disabilitas tidak bisa mendaftar anggota BPJS Kesehatan. Mereka bakal sulit mengakses layanan kesehatan. Padahal, sebagian difabel perlu perawatan medis.
Difabel juga akan mengakses layanan pendidikan tanpa dokumen kependudukan. Dante mengatakan, ada orangtua yang tidak mendaftarkan anaknya ke sekolah karena tidak punya NIK. Kalaupun anak diterima sekolah, anak tidak bisa didaftarkan ke sistem pendataan nasional, Data Pokok Pendidikan.
Belum sinkron
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, ada 22,5 juta penyandang disabilitas di Indonesia pada 2020. Pada tahun yang sama, Survei Ekonomi Nasional (Susenas) mendata 28,05 juta penyandang disabilitas.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, proporsi disabilitas pada kelompok usia 5-17 tahun sebesar 3,3 persen dan pada usia 18-59 tahun 22 persen. Pada kelompok usia di atas 60 tahun, persentase penduduk yang mengalami disabilitas berat dan ketergantungan total sebanyak 2,6 persen.
Pendataan penyandang disabilitas juga dilakukan berbagai kementerian sehingga ada berbagai versi data. Namun, data tersebut tidak sinkron. Dante berharap agar data-data itu bisa disinkronkan satu sama lain, bahkan sinkron dengan data dinas kependudukan dan pencatatan sipil.
Selain masalah sinkronisasi, data difabel yang ada pun belum secara rinci mencatat ragam dan tingkat keparahan disabilitas. Hal ini penting agar bantuan yang diberikan ke difabel sesuai kebutuhan.
”Misalnya, disabilitas netra tidak dijelaskan seperti apa. Disabilitas netra itu ada dua, yaitu buta total dan low vision. Bantuan yang dibutuhkan keduanya beda. Orang buta total butuh tongkat (penuntun), sementara low vision butuh kaca pembesar untuk membaca,” ujar Dante.
Pelaksana Tugas Direktur Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Kementerian Sosial Nursyamsu menyampaikan, bantuan untuk penyandang disabilitas mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Bantuan seperti alat bantu dengar atau kursi roda untuk mereka disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Ia menambahkan, data penyandang disabilitas cukup dinamis karena ada difabel yang meninggal atau pindah lokasi. Itu sebabnya data beberapa difabel tidak terekam. Pemutakhiran data secara berkala pun jadi penting.
”Peran pemda sangat kita perlukan (untuk pemutakhiran data),” kata Nursyamsu. ”Jika ada penyandang disabilitas yang masuk kluster kemiskinan dan belum masuk DTKS, datanya bisa diusulkan. Ini dengan catatan bahwa datanya ada di dukcapil, ada KTP dan KK,” katanya.