Komet C/2022 E3 (ZTF) dan Pembawa Pesan dari Ujung Tata Surya
Komet C/2022 E3 (ZTF) mencapai titik terdekatnya dengan Bumi pada Kamis (2/2/2023) dini hari waktu Indonesia barat. Terakhir kali komet ini mendekati Bumi diprediksi sebelum 50.000 tahun lalu saat Bumi di zaman es akhir.
Komet C/2022 E3 (ZTF) akan mencapai kembali titik terdekatnya dengan Bumi pada Kamis (2/2/2023) dini hari. Posisi ini belum pernah terjadi setidaknya sejak 50.000 tahun lalu, saat Bumi ada di zaman es akhir atau sebelum manusia purba Neanderthal punah. Meski kemunculan komet sering dikaitkan dengan pertanda bencana, komet sejatinya membawa informasi pembentukan dan evolusi Tata Surya.
Dilihat dari Jakarta pada sehari sebelum komet tersebut mencapai titik terdekatnya dengan Bumi, Selasa (31/1/2023) sekitar pukul 21.00 malam menggunakan aplikasi The Sky Live, komet hijau ini terlihat di arah utara atau di arah rasi Camelopordalis. Saat itu, ketinggian komet masih sangat rendah, yaitu 5 derajat.
Komet baru terbit pukul 18.59 WIB, mencapai titik tertingginya di ketinggian 6,8 derajat pada pukul 22.43 WIB, dan terbenam pada Rabu (1 /2/2023) pukul 02.44 WIB. Karena komet ini sirkumpolar, dia akan terlihat terbit dan terbenam di dekat titik utara.
Sementara itu, berdasarkan perhitungan peneliti di Pusat Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional Andi Pangerang Hasanuddin, Rabu (1/2/2023), jarak terdekat komet C/2022 E3 ZTF dengan Bumi atau perigee sebesar 42,47 juta kilometer (km) akan terjadi pada Kamis (2/2/2023) pukul 00.32 WIB. Komet mulai terbit pada Rabu (1/2/2023) pukul 18.30 waktu setempat dan terbenam pukul 02.30 waktu setempat.
Jika diamati dari Jakarta, ketinggian komet saat berada pada jarak paling dekat dengan Bumi mencapai 7,4 derajat. Ketinggian komet maksimum mencapai 11,9 derajat yang terjadi pukul 21.53 WIB. ”Untuk wilayah timur Indonesia, komet akan terbenam saat mencapai titik terdekat dengan Bumi,” katanya.
Namun, dengan tinggi yang sangat rendah dan langit Jakarta yang mendung serta polusi cahaya kota yang kuat, keindahan komet itu sulit diamati. Sebuah obyek langit nyaman untuk diamati jika ketinggiannya di atas 30 derajat. Di bawah batas itu memang bisa diamati, tetapi sulit, seperti dalam pengamatan hilal atau Bulan sabit pertama untuk penentuan awal bulan kalender Hijriah.
Semula, Laboratorium Propulsi Jet Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional Amerika Serikat (JPL NASA) memprediksi magnitudo komet ini saat mencapai titik terdekatnya dengan Bumi mencapai 7,97. Namun, berdasarkan pengamatan, magnitudo komet ditaksir bisa mencapai 5,1, yang artinya masih bisa diamati dengan mata telanjang jika langit sepenuhnya gelap.
Di sejumlah media, seperti Space, Senin (30/1/2023), disebutkan bahwa komet C/2022 E3 (ZTF) tidak pernah mencapai jarak sedekat itu dengan Bumi setidaknya sejak 50.000 tahun lalu. Kondisi ini terjadi karena orbit komet berbentuk hiperbola. Artinya ujung dari lintasan atau orbit komet tidak bisa diprediksi. Meski gerak harian komet bisa dihitung, periode atau waktu yang dibutuhkan komet untuk memutari Matahari sekali sulit dipastikan.
Meski kemunculan komet sering dikaitkan dengan pertanda bencana, komet sejatinya membawa informasi pembentukan dan evolusi Tata Surya.
Hal yang pasti, seperti disampaikan Kepala Pusat Observatorium Astronomi Institut Teknologi Sumatera Lampung (OAIL) Moedji Raharto di situs Itera, Kamis (19/1/2023), komet C/2022 E3 (ZTF) termasuk komet dengan periode panjang atau lebih dari 200 tahun.
Andi memperkirakan komet ini terakhir kali muncul ke Bumi atau di dekat Matahari pada 260.000 tahun yang lalu. Karena itu, ada kemungkinan komet ini berasal dari luar Tata Surya alias komet antarbintang seperti asteroid Oumuamua yang mendekati Bumi pada Oktober 2017.
Selanjutnya, seiring perjalanannya menuju Matahari, komet ini akhirnya mencapai titik terdekatnya dengan Matahari (perihelion) pada 12 Januari 2023. Saat itu, komet ini hanya berjarak 166 juta kilometer dari Matahari atau 1,11 AU. Ketika itu, citra komet yang tertangkap kamera terlihat sangat indah dengan inti (coma) yang berkilau hijau serta dua ekor komet yang sangat panjang.
Warna hijau yang terlihat inti komet, seperti ditulis Livescience, Senin (30/1/2023), sebenarnya bukan warna asli komet. Warna itu muncul sebagai hasil dari reaksi sinar ultraviolet Matahari yang memecah molekul karbon diatomik (C2) yang ada di permukaan komet. Saat molekul itu terpecah, dia akan memancarkan cahaya hijau yang bisa bertahan selama beberapa hari.
Cahaya hijau itu akan menghilang sebelum mencapai ekor komet. Ekor komet akan selalu terlihat menjauhi Matahari dan panjangnya bisa mencapai ratusan juta kilometer dari inti komet. Ekor komet ini terdiri atas dua jenis, yaitu ekor plasma yang lurus, berisikan gas terionisasi, umumnya berwarna biru serta ekor debu yang umumnya terdiri dari partikel kecil padat dan melengkung.
Baca juga: Komet Leonard Mulai Menjauhi Bumi dan Makin Mendekati Matahari
Asal usul
Komet C/2022 E3 (ZTF) ditemukan pada 2 Maret 2022. Menurut sistem penamaan komet Persatuan Astronomi Internasional (IAU), kode C menunjukkan bahwa komet tersebut adalah komet non-periodik yang artinya periodenya sangat panjang, sedangkan angka 2022 mengacu pada tahun penemuan komet. Kode E merujuk kepada kelompok waktu penemuan komet, yaitu paruh pertama Maret dan angka 3 menandakan dia adalah komet ke-3 yang ditemukan pada paruh pertama Maret.
Sementara ZTF merujuk kepada Zwicky Transient Facility (ZTF), seperangkat instrumen survei langit dengan kamera medan lebar yang dipasang pada Teleskop Oschin Samuel di Observatorium Palomar, California, AS. ZTF adalah instrumen pertama yang mendeteksi keberadaan komet ini. Astronom yang pertama menemukannya ialah Frank Masci dan Bryce Bolin.
Ketika pertama kali ditemukan, komet sedang berada di dalam orbit Jupiter dan berjarak 643 juta km dari Bumi. Ketika itu, astronom menduga benda tersebut adalah asteroid. ”Saat ditemukan pada 2 Maret 2022, obyek ini belum diketahui sebagai komet, hanya dilaporkan sebagai obyek yang bergerak di Tata Surya,” kata ahli komet dari Universitas Maryland, AS, yang juga investigator ZTF Tom Prince, kepada Space, 13 Januari 2023.
Setelah temuan dilaporkan ke Pusat Planet Minor (MPC) IAU, banyak astronom mencari dan menghitung parameter orbitnya. Dari perhitungan, diketahui bahwa bentuk orbit obyek adalah hiperbola sehingga diprediksi benda ini merupakan komet. Selain itu, dari pengamatan, benda tersebut terlihat semakin terang sehingga dia dipastikan adalah komet.
Dari parameter orbit itu pula, ahli komet dari Universitas Maryland, AS, dan investigator di ZTF lainnya, Michael Kelley, menduga obyek berasal dari tepi Tata Surya, yaitu daerah Awan Oort yang merupakan reservoir banyak komet dengan periode panjang. Awan Oort melingkupi seluruh Tata Surya dan diperkirakan jaraknya bisa mencapai 1 juta tahun cahaya dari Matahari.
Selaian asalnya yang jauh, komet ini menarik karena cukup terang sehingga bisa diamati dengan mata telanjang. Komet yang terang memberi peluang lebih besar bagi astronom untuk menggali informasi bagaimana proses pembentukannya serta bagaimana komet itu berevolusi hingga sekarang.
Awan Oort merupakan material sisa pembentukan Tata Surya. Maka, mengetahui karakter fisik komet bisa memberi informasi tentang bagaimana Tata Surya terbentuk 4,6 miliar tahun yang lalu.
Setelah Matahari dan planet-planet terbentuk, materi sisa pembentukan Surya tetap berputar mengeliling Matahari. Namun, gravitasi planet-planet, khususnya planet raksasa, membuat material debu, awan, dan es itu terlempar ke tepian Tata Surya seperti sekarang. Dengan demikian, mempelajari komet sebenarnya membantu astronom mengetahui evolusi planet-planet di Tata Surya.
Tak hanya itu, seperti ditulis Kompas, 15 Desember 2021, mempelajari komet juga bisa memberikan informasi tentang awal kehidupan di Bumi. Saat komet bergerak menuju Matahari, material debu dan es yang terbakar di permukaannya akan tertinggal di antariksa.
Selanjutnya, saat Bumi bergerak mengelilingi Matahari, Bumi bisa masuk ke dalam wilayah bekas lintasan komet tersebut.
Materi sisa pembakaran komet itu akan tertarik oleh gravitasi Bumi, masuk ke atmosfer, hingga jatuh di permukaan Bumi. Material sisa komet itu mengandung asam amino yang merupakan material dasar penyusun protein alias bahan dasar pembentuk makhluk hidup.
Dari teori itulah kemudian diduga awal kehidupan di Bumi berasal dari komet. Bahkan jauh sebelum makhluk hidup ada di Bumi, air yang ada di Bumi pun diduga berasal dari materi komet dan asteroid yang menabrak Bumi. Air itu terikat dalam materi yang lebih purba lagi yang sebelumnya telah membentuk Tata Surya.
”Komet adalah pembawa pesan dari wilayah terluar di Tata Surya yang membuat mereka butuh puluhan ribu tahun untuk bisa mendekati Bumi,” tambah Prince.
Budaya
Meski kehadiran komet mendekati Bumi dan Matahari membawa banyak informasi tentang sejarah dan evolusi Tata Surya, manusia Bumi memaknainya secara berbeda. Dalam banyak budaya, kemunculan komet sering disertai dengan ketakutan, kecurigaan, dan takhayul yang berbaur dengan rasa kagum dan ingin tahu.
”Komet memiliki sejarah panjang yang biasanya sebagai pertanda dan pembawa kabar buruk,” kata profesor astronomi di Universitas Washington, AS, Woody Sullivan, di situs JPL NASA, 24 Maret 1997.
Paus Callixtus III sempat menyebut komet Halley yang muncul tahun 1456 sebagai alat dari iblis. Dokter Perancis, Ambroise Paré, pada 1528 menuliskan, komet sebagai benda yang mengerikan, sangat menakutkan, dan meneror secara luas biasa sehingga beberapa orang meninggal karena ketakutan dan sakit.
Beberapa abad berikutnya, astrolog Inca dan Aztec menandai komet sebagai murka dewa hingga menyebabkan jatuhnya dua kerajaan itu ke tangan Spanyol. Kemunculan kembali komet Halley tahun 1835-1836 juga dikaitkan dengan kebakaran besar yang melanda kota New York, AS, pembantaian suku Boer dari Kerajaan Zulu di Afrika Selatan, dan pembunuhan masyarakat Meksiko yang ada di Alamo, Texas, AS.
Penampakan kembali komet pada Halley pada 1910 dimanfaatkan sejumlah orang untuk menipu dengan menjual ”pil komet” dan ”asuransi komet”. Sebagian warga AS yang ketakutan kala itu juga menutup rapat rumah mereka karena termakan hoaks bahwa komet akan menyebarkan gas beracun sianida.
Namun, praduga itu sepertinya sangat terkait dengan siapa yang memunculkannya dan cara memaknainya. Kemunculan komet saat kematian Kaisar Romawi Julius Caesar pada tahun 44 sebelum Masehi dianggap sebagai tanda kemuliaan sang raja. Demikian pula muncul komet di masa kemenangan sejumlah perang yang dipimpin Kaisar Perancis Napoleon Bonaparte yang dianggap sebagai pertanda baik.
Di Jawa pun, kemunculan komet yang disebut sebagai Lintang Kemukus juga dianggap sebagai pertanda buruk alias pembawa ontran-ontran. Peristiwa terakhir terjadi pada April 2020 saat muncul komet C/2019 Y4 ATLAS yang dianggap sebagai tanda datangnya pagebluk alias wabah penyakit. Kala itu, Indonesia baru memberlakukan pembatasan aktivitas masyarakat demi menghindari penularan Covid-19 dan langsung berdampak luas pada ekonomi dan kesejahteraan warga.
Peneliti etnoastronomi dan pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta, Widya Sawitar, di Kompas, 25 April 2020, menyebut legenda Lintang Kemukus itu tercatat dalam ”Serat Babad Segaluh Dumigi Mataram”. Dalam naskah itu disebutkan keris Kiai Condong Campur keluar dari tempat penyimpanannya dan menimbulkan wabah di Majapahit.
Keris Kiai Sengkelet pun datang dan berperang melawan keris Kiai Condong Campur. Kia Sengkelet pun memenangi pertarungan hingga akhirnya Kiai Condong Campur kembali ke tempatnya dan dihancurkan dengan cara dibakar. Saat penghancuran itu, Kiai Condong Campur melesat ke angkasa dan menjadi Lintang Kemukus yang disaksikan orang-orang.
Di era Indonesia modern, mitos komet sebagai pembawa bencana tetap tumbuh. Kemunculan komet C/1965 S1 Ikeya-Seki sering dikaitkan dengan tragedi G30S yang memakan banyak korban. Selain itu, hadirnya komet C/1969 Y1 Bennett yang mencapai titik terdekatnya dengan Bumi pada 26 Maret 1970 dikaitkan dengan kematian Proklamator Indonesia, Soekarno, pada tiga bulan berikutnya.
Baca juga: Pluto Diduga Terbentuk dari 1 Miliar Komet
Hingga sekarang, keyakinan masyarakat akan komet sebagai pembawa bencana tetap ada seperti di masa awal pandemi Covid-19. Namun, kepercayaan tentang hal itu sudah tidak semasif dulu. Hal yang pasti, kehadiran komet mendekati Bumi dan Matahari memberi banyak informasi tentang sejarah dan evolusi Tata Surya, bahkan bisa informasi dari bintang-bintang lain di semesta.