Perbedaan Kebiasaan Dapat Memicu Konflik Pekerja Rumah Tangga
Pembekalan bagi pekerja rumah tangga penting agar mereka tak dianggap tak kompeten oleh pemberi kerja. Hal ini sekaligus meminimalkan risiko kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan kebiasaan antara pekerja rumah tangga dan pemberi kerja berpotensi menimbulkan konflik di antara keduanya. Hal ini dikhawatirkan memicu kekerasan terhadap pekerja rumah tangga atau PRT. Untuk mengantisipasinya, pembekalan kerja dan peningkatan kompetensi PRT dibutuhkan.
Menurut Direktur Institut Sarinah Eva K Sundari, pembekalan sebelum kerja penting karena sebagian PRT berpendidikan rendah. Sebagian PRT juga tidak memiliki keterampilan yang mumpuni sehingga pembekalan diperlukan. Pembekalan penting untuk menyiapkan PRT menghadapi berbagai kemungkinan di tempat kerja.
”Latar belakang PRT berbeda (dengan pemberi kerja). Misalnya, konsep kebersihan orang yang tidak punya lantai (keramik di rumahnya) dengan orang yang punya lantai pasti berbeda. Jika (PRT) tidak disiapkan, ini bisa memicu konflik,” kata Eva pada diskusi daring, Senin (30/1/2023).
Menurut Eva, kebiasaan PRT di tempat asalnya tidak bisa sepenuhnya diterapkan ketika bekerja. Ini karena latar belakang sosial hingga budaya antara PRT dan pemberi kerja umumnya berbeda.
Agar pekerjaan rumah tangga dapat diselesaikan dengan baik, PRT mesti menyesuaikan diri dengan standar yang ditetapkan pemberi kerja. Hal ini bisa dipelajari dengan pembekalan kerja. Jika PRT tidak bisa menyesuaikan diri, konflik dengan pemberi kerja dikhawatirkan timbul.
Masih ada PRT yang mungkin mengalami kekerasan, tetapi tidak melapor. Beberapa alasannya karena diancam, diintimidasi, dan akses informasi terbatas.
Selain keterampilan dasar melakukan pekerjaan rumah tangga, PRT juga perlu dibekali pengetahuan dasar menggunakan peralatan modern, seperti kompor gas atau kompor listrik. Pengetahuan ini penting agar PRT tidak dianggap tidak kompeten.
”PRT butuh kerja. Pemberi kerja butuh tenaga PRT. Namun, frekuensi mereka belum sama. Maka, pembekalan diperlukan agar tidak ada culture shock bagi kedua pihak,” ujar Eva.
Kompas mencatat bahwa pada 2002, ada PRT di Surabaya yang disiksa karena dianggap tidak mencuci baju hingga bersih. Pada 2022, PRT di Jakarta Timur juga dianiaya antara lain karena dianggap mengantuk saat bekerja dan hasil cucian piring dinilai belum bersih.
Berdasarkan Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), ada 2.637 PRT yang melaporkan berbagai kasus kekerasan pada 2015-2022. Sebanyak 1.148 kasus di antaranya berupa kekerasan ekonomi, seperti upah tidak dibayarkan, upah dipotong secara sepihak, dan tunjangan hari raya (THR) tidak dibayarkan.
Laporan itu belum sepenuhnya menggambarkan kondisi PRT di tempat kerja. Menurut Koordinator Nasional Jala PRT Lita Anggraini, masih ada PRT yang mungkin mengalami kekerasan, tetapi tidak melapor. Beberapa alasannya karena diancam, diintimidasi, dan akses informasi terbatas.
Ia menambahkan, ada PRT yang mengalami luka-luka di sekujur tubuh karena disiksa. Ada yang ditempeli besi panas, rokok, hingga setrika. Ada pula yang diberi makanan sisa, tidak diberi makan, dan dipaksa makan kotoran. Lita mengatakan, hal ini tak ubahnya perbudakan.
Untuk melindungi PRT, Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) didorong untuk segera ditetapkan. Adapun rancangan UU ini (RUU PPRT) telah dibahas selama 19 tahun di DPR. Presiden Joko Widodo pun meminta percepatan penanganan UU PPRT.
”Esensi utama UU ini adalah memberi pengakuan dan perlindungan ke pekerja (rumah tangga), pemberi kerja, dan penyalur,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati.