Kepunahan keanekaragaman mikrobioma dapat membawa kerugian besar bagi umat manusia, khususnya terhadap sistem kekebalan tubuh
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
Dunia telah menyaksikan penurunan populasi yang mengarah pada kepunahan massal beragam spesies besar, mulai dari gajah, harimau, orangutan, hingga badak. Diam-diam, keanekaragaman mikroorganisme—meliputi bakteri, virus, dan jamur—yang berperan sangat penting untuk menjaga kesehatan ekosistem juga terus merosot. Karena tubuh manusia adalah bagian dari ekosistem ini, kesehatan kita juga terganggu saat keragaman mikroba menyusut.
Menyusutnya keanekaragaman hayati menjadi satu dari tiga masalah lingkungan terbesar yang mengancam kehidupan di Bumi, selain krisis iklim dan polusi. Dan ya, Anda bisa menebaknya, menyusutnya keanekaragaman hayati terutama disebabkan aktivitas manusia yang menyebabkan hilangnya habitat dan eksploitasi berlebihan.
Penilaian Global 2019 oleh Intergovernmental Platform on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES) melaporkan, satu juta spesies hewan dan tumbuhan terancam punah, jumlah tertinggi dalam sejarah manusia. Sedangkan laporan WWF Living Planet tahun 2020 mengungkapkan, ada penurunan rata-rata 68 persen dalam populasi mamalia, ikan, burung, reptil, dan amfibi global sejak 1970.
Sebagian besar perhatian mengenai hilangnya keanekaragaman hayati ini menyoroti spesies besar hewan dan tanaman kasatmata. Padahal, penyusutan keanekaragaman hayati ini juga terjadi pada jasad renik, antara lain bakteri, virus, dan jamur. Mikroba ini sangat penting untuk menjaga ekosistem yang sehat, termasuk juga bagi kesehatan manusia.
Sebagian manfaat dari mikroba ini memang sudah dikenali, misalnya antibiotik penisilin yang dihasilkan jamur mikroskopis. Rapamycin, agen antijamur yang ditemukan di tanah Rapa Nui, Pulau Paskah, juga bisa melawan penyakit jantung dengan menurunkan kolesterol.
Manfaat keberagaman mikroorganisme bagi manusia jauh lebih banyak lagi. Kontak dengan beragam mikroba di lingkungan sekitar adalah bekal penting untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Mikroba yang ditemukan di lingkungan yang lebih dekat dengan tempat kita berevolusi, seperti hutan, kerap disebut mikroba ”teman lama” oleh beberapa ahli mikrobiologi. Itu karena mereka memainkan peran utama dalam ”mengajari” sistem kekebalan tubuh kita.
Paparan terhadap beragam mikroba memungkinkan tubuh kita meningkatkan respons pertahanan yang efektif terhadap patogen. Beberapa studi mengungkapkan, lingkungan yang kaya mikroba memberikan pelindungan terhadap alergi dan penyakit autoimun bagi manusia (Hertzen, dkk. 2006; Kondrashova, dkk. 2005; Ege, dkk, 2011). Sebaliknya, penurunan keanekaragaman hayati mikroba bertanggung jawab atas disfungsi kekebalan tubuh manusia. Hanski, dkk (2018), misalnya, menunjukkan, dibandingkan dengan remaja yang sehat, individu atopik memiliki keanekaragaman hayati lingkungan yang lebih rendah di sekitar rumah mereka.
Remaja atopik juga memiliki keragaman Gammaproteobacteria, kelas bakteri dalam filum Pseudomonadota, yang jauh lebih rendah pada kulit mereka. Selain itu, kelimpahan genus Acinetobacteria pada kulit berkorelasi positif dengan ekspresi sel mononuklear perifer IL-10, sitokin anti-inflamasi yang jadi kunci dalam toleransi imunologis. Gammaproteobacteria umumnya di tanah, tetapi sangat dominan di vegetasi di atas tanah, seperti tanaman berbunga.
Jika ekosistem mereka tidak terganggu, mikroba di tubuh kita ini bisa membantu mencerna makanan, melindungi dari infeksi, menjaga kesehatan reproduksi, sintesis vitamin dan menyimpan lemak, dan menyediakan bahan kimia yang mendukung fungsi otak sehingga memengaruhi perilaku.
Mikrobioma manusia
Tak hanya di lingkungan sekitar. Sebagian jasad renik juga hidup di dalam tubuh manusia. Kulit manusia, selain saluran pernapasan dan saluran pencernaan, merupakan tempat hidup dari koloni mikroorganisme atau disebut mikrobioma. Mikrobioma usus saja menampung hingga 100 triliun mikroba, melebihi jumlah sel manusia.
Keberadaan mikroba di tubuh manusia memang bisa membuat kita sakit. Namun, yang mungkin banyak belum disadari adalah triliunan mikroba hidup di dalam dan di tubuh kita, kebanyakan tidak merugikan.
Faktanya, jika ekosistem mereka tidak terganggu, mikroba di tubuh kita ini bisa membantu mencerna makanan, melindungi dari infeksi, menjaga kesehatan reproduksi, sintesis vitamin dan menyimpan lemak, serta menyediakan bahan kimia yang mendukung fungsi otak sehingga memengaruhi perilaku.
Masalah kesehatan terjadi jika keseimbangan mikrobioma ini terganggu. Sejumlah studi metagenomik terhadap individu yang sehat dan berpenyakit mengungkapkan, berkurangnya keanekaragaman hayati dan perubahan komposisi mikrobioma pencernaan dan kulit dikaitkan dengan berbagai kondisi inflamasi, termasuk asma, penyakit alergi dan peradangan usus, diabetes, obesitas, bahkan hingga autisme.
Penelitian Nakayama, dkk (Microorganisms, 2021), misalnya, menunjukkan, penderita obesitas dan diabetes tipe 2 di Indonesia memiliki karakteristik mikrobioma berbeda, yaitu genus Bacteroides yang berlebihan menggantikan Prevotella, yang biasanya dominan pada orang Indonesia yang sehat. Tingkat spesies Prevotella menurun secara signifikan pada subyek diabetes tipe 2 dengan tubuh kurus.
Perlu dipahami bahwa mikrobioma di tubuh manusia bisa berbeda antarindividu. Sekalipun mikrobioma usus tidak diturunkan sebagaimana pewarisan sel-sel genetika, variasinya diberikan melalui kontak dengan orangtua, terutama ibu, sejak kehamilan. Berikutnya, mikrobioma usus juga didapatkan bayi saat proses kelahiran dan menyusui.
Selain itu, mikrobioma juga diperoleh dari lingkungan sekitar. Inilah yang menyebabkan lingkungan yang berbeda akan memberikan mikrobioma berbeda. Pada umumnya, bayi yang lahir di desa memiliki variasi mikrobioma di saluran pencernaan jauh lebih beragam ketimbang yang lahir di kota (Cell Reports, 2018).
Namun, keberagaman mikrobioma pencernaan ini semakin menurun karena transisi pola hidup yang juga terjadi secara global. Laporan Marsha C Wibowo, peneliti Indonesia dari Harvard Medical School di jurnal Nature (2021) menunjukkan, hampir 40 persen spesies mikroba kuno yang ditemukan di feses manusia berumur 1.000-2.000 tahun dari goa-goa yang sangat kering di Utah dan Meksiko, kini tidak ditemukan lagi pada manusia modern. Studi ini juga mengungkap hilangnya bakteri-bakteri yang dulu menghuni pencernaan manusia ini, kemungkinan berkaitan dengan munculnya penyakit kronis yang kini banyak diderita, seperti diabetes.
Kepunahan keanekaragaman mikrobioma jelas dapat membawa bencana dan kerugian besar bagi umat manusia. Kita akan kehilangan ”teman lama” yang menemani proses panjang evolusi. Terganggunya keseimbangan ekosistem akan menghadirkan musuh-musuh baru yang merugikan, seperti Covid-19.