Kecerdasan Buatan Memperkirakan Ambang Batas Pemanasan Global 10 Tahun Lagi
Analisis terbaru berdasarkan pemodelan kecerdasan buatan menunjukkan, peningkatan suhu melampaui ambang batas 1,5 derajat celsius dibandingkan tahun 1850 itu akan terjadi 10 hingga 12 tahun mendatang.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Pengunjuk rasa melakukan aksi di depan tempat pertemuan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCCC) COP 25 pada hari terakhir konferensi di Madrid, Spanyol, pada Jumat (13/12/2019). Mereka mengkritik para delegasi yang dianggap gagal menyepakati mekanisme untuk meningkatkan penurunan emisi global dan mengantisipasi dampak perubahan iklim yang sudah terjadi.
JAKARTA, KOMPAS — Ambang batas peningkatan suhu global diperkirakan datang lebih cepat. Analisis terbaru berdasarkan pemodelan kecerdasan buatan menunjukkan, peningkatan suhu 1,5 derajat celsius dibandingkan tahun 1850 itu akan terjadi 10 hingga 12 tahun mendatang.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada Senin (30/1/2023) itu memicu kembali perdebatan tentang apakah masih mungkin membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius seperti yang diminta dalam perjanjian iklim di Paris 2015.
Target batas pemanasan global hingga 1,5 derajat celsius sesuai Kesepakatan Paris tersebut bertujuan untuk meminimalkan dampak perubahan iklim yang paling merusak. Dunia telah menghangat 1,1 atau 1,2 derajat celsius (C) sejak masa pra-industri atau pertengahan abad ke-19.
Dua ilmuwan iklim menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk menghitung Bumi akan melampaui tanda 1,5 C antara tahun 2033 dan 2035. Hasil mereka cocok dengan metode lain yang lebih konvensional untuk memprediksi kapan Bumi akan menembus batas tersebut, meskipun dengan sedikit lebih presisi.
Noah Diffenbaugh dari Stanford University, salah satu penulis studi, mengutarakan, dunia berada di ambang batas 1,5 C dalam ”skenario pengurangan emisi yang realistis”. Upaya menghindari kenaikan 2 derajat celsius bergantung pada negara-negara yang mencapai tujuan nol emisi pada pertengahan abad ini.
AHMAD ARIF
Waktu menuju ambang pemanasan global dalam model iklim global. (A) Perubahan suhu global relatif terhadap garis dasar pra-industri (1850 hingga 1899) untuk ensambel model iklim global beranggotakan 10 orang dalam skenario pemaksaan iklim tinggi (SSP3-7.0), menengah (SSP2-4.5) dan rendah (SSP1-2.6). B) Peta anomali suhu untuk threshold year (yaitu tahun ketika pemanasan global rata-rata ensambel mencapai 1,5 derajat celsius) untuk model iklim global dengan tahun ambang paling awal dan terbaru dalam SSP3-7.0. (C) Perbandingan pelatihan, validasi, dan pengujian jaringan saraf tiruan (JST) yang dilatih pada peta suhu tahunan dan ambang pemanasan global 1,5 derajat celsius dalam SSP3-7.0. Sumber: Noah S Diffenbaugh dkk, Proceedings of the National Academy of Sciences (2023)
Studi menemukan bahwa kenaikan suhu tidak mungkin dapat ditahan di bawah 2 C, bahkan dengan pemotongan emisi yang ketat. ”Dan di situlah AI benar-benar berbeda dengan para ilmuwan yang telah meramalkan menggunakan model komputer yang didasarkan pada pengamatan sebelumnya,” kata Diffenbaugh.
Dalam skenario polusi tinggi, AI menghitung, dunia akan mencapai kenaikan suhu hingga 2 C sekitar tahun 2050. Polusi yang lebih rendah dapat mencegah kenaikan suhu 2 C hingga tahun 2054.
Dan di situlah AI benar-benar berbeda dengan para ilmuwan yang telah meramalkan menggunakan model komputer yang didasarkan pada pengamatan sebelumnya.
Temuan ini berbeda dengan laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFCC) tahun 2021 bahwa skenario polusi rendah yang sama akan membuat dunia mendorong melewati 2 derajat celsius pada tahun 2090-an.
Ilmuwan iklim Universitas Cornell, Natalie Mahowald, yang bukan bagian dari studi Diffenbaugh, tetapi merupakan bagian dari IPCC, mengatakan kepada AP bahwa studi itu masuk akal, sesuai dengan apa yang diketahui para ilmuwan, tetapi tampaknya sedikit lebih pesimistis.
Ada banyak kekuatan dalam menggunakan AI dan di masa depan mungkin terbukti menghasilkan proyeksi lebih baik, tetapi diperlukan lebih banyak bukti sebelum menyimpulkan itu, kata Mahowald.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Awan gelap menaungi perairan Selat Sunda saat feri penyeberangan melintas menuju Pelabuhan Merak, Banten, Rabu (28/12/2022). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi potensi cuaca ekstrem berupa hujan angin sejak Selasa (27/12/2022) hingga awal tahun 2023.
Menurut Diffenbaugh, ilmuwan iklim biasanya memakai banyak simulasi model komputer, beberapa panas dan beberapa dingin, dan kemudian mencari tahu mana yang melakukan pekerjaan terbaik. Namun, hal itu kerap berdasarkan pada kinerja mereka di masa lalu atau dalam simulasi masa lalu.
Sementara apa yang dilakukan AI lebih sesuai dengan sistem iklim sekarang. ”Penggunaan alat yang sangat kuat ini mampu mengambil informasi dan mengintegrasikannya dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh pikiran manusia, baik atau buruk,” kata Diffenbaugh.
Setiap tahun, negosiator iklim pemerintah di pertemuan PBB tentang iklim menyatakan mereka berhasil ”menjaga 1,5 derajat celsius hidup”. Studi terbaru ini menunjukkan begitu banyak pemanasan. Jadi, apa pun upaya mengurangi polusi beberapa tahun ke depan, dunia akan mencapai 1,5 derajat celsius satu dekade lagi.
Antisipasi bencana
Potensi terlampauinya ambang batas pemanasan global 1,5 C ini akan membawa konsekuenasi besar bagi Bumi. Sebelumnya, telah ada konsensus di antara ilmuwan iklim, bahwa jika pemanasan global melampui ambang batas ini, upaya untuk mempertahankan Bumi sebagai tempat hidup akan semakin sulit dilakukan.
Rekonstruksi catatan sejarah iklim menunjukkan, selama 12.000 tahun terakhir, kehidupan dapat berkembang di Bumi pada suhu rata-rata tahunan global sekitar 14 derajat celsius. Seperti diharapkan dari perilaku sistem yang kompleks, suhunya bervariasi, tetapi tidak pernah menghangat lebih dari sekitar 1,5 C selama rezim iklim relatif stabil ini.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Mendung tebal menggelayut di kawasan selatan Jakarta sesaat sebelum hujan turun, Senin (23/12/2019). Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memperkirakan sebagian besar wilayah Indonesia akan melewati perubahan cuaca ekstrem. Kondisi itu diprediksi berlangsung pada Desember 2019 hingga Januari 2020. Perubahan cuaca ekstrem ditengarai berlangsung pada siang hingga sore hari.
Saat ini, dengan suhu dunia 1,2 C lebih hangat daripada masa pra-industri, orang sudah mengalami dampak perubahan iklim di lebih banyak lokasi, lebih banyak bentuk, dan pada frekuensi dan amplitudo yang lebih tinggi.
Proyeksi model iklim menunjukkan pemanasan di atas 1,5 C akan secara dramatis meningkatkan risiko peristiwa cuaca ekstrem, kebakaran hutan lebih sering dengan intensitas lebih tinggi, kenaikan permukaan laut, serta perubahan pola banjir dan kekeringan dengan implikasi runtuhnya sistem pangan.
Selain itu, ke depan dapat terjadi transisi mendadak. Dampak transisi mendadak tersebut akan menimbulkan tantangan besar pada skala lokal hingga global.