Penetapan Batas Kawasan Hutan Bisa Cegah Kejahatan Lingkungan
Pengukuhan kawasan hutan diharapkan mewujudkan kepastian hukum dan tersedianya peta kawasan hutan untuk dijadikan acuan seluruh pemangku kepentingan.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Perbukitan kapur, perkebunan palawija, dan hutan rakyat mendominasi pemandangan di jalur lintas selatan Kecamatan Pracimantoro, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Selasa (3/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menargetkan penetapan batas kawasan hutan tuntas tahun ini. Penyelesaian penetapan batas area hutan tersebut dinilai mampu mencegah kejahatan di sektor lingkungan. Akan tetapi, percepatan proses penetapan mesti disertai dengan transparansi informasi agar tidak memicu konflik dengan masyarakat.
Merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia memiliki luas kawasan hutan 125,79 juta hektar dengan panjang batas 373.828,44 kilometer. Hingga Desember 2022, realisasi penetapan kawasan hutan mencapai 99,65 juta hektar (79,2 persen) dengan panjang batas 332.184 kilometer (88,8 persen). Sisa kawasan dan batas hutan yang belum ditetapkan direncanakan diselesaikan pada 2023.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebutkan, ketidakjelasan tata batas kawasan hutan sejak lama memicu masalah klasik, seperti perambahan, pertambangan, penebangan, dan penguasaan lahan secara ilegal. Pelaku kejahatan kerap berlindung di balik ketidakjelasan batas area hutan dan menjadikan hal tersebut sebagai pembenaran tindakan mereka.
”Pada November 2023 diproyeksikan sudah ada penyelesaian konflik secara menyeluruh. Untuk itu, dibutuhkan pengukuhan batas kawasan hutan,” ujarnya dalam kegiatan peluncuran Penyelesaian Tata Batas Menuju Penetapan Kawasan Hutan 100 Persen Tahun 2023, di Jakarta, Senin (30/1/2023).
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta pengukuhan kawasan hutan agar cepat diselesaikan. Ketidakjelasan tata batas sejak lama juga membuka ruang bagi pihak oportunis untuk melakukan tindak pidana korupsi sektor sumber daya alam.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK Ruandha Agung Sugardiman menambahkan, percepatan pengukuhan hutan ini masuk dalam program strategis nasional. Pengukuhan hutan bersama dengan perhutanan sosial, reforma agraria, pendidikan dan pelatihan vokasi, serta peremajaan kebun rakyat menjadi bagian dari program pemerataan ekonomi.
Percepatan pengukuhan kawasan hutan apabila tidak diiringi transparansi informasi kepada publik akan berpotensi memicu konflik dengan masyarakat. Konflik tenurial lahir dari pengukuhan sepihak kawasan hutan oleh negara.
Identifikasi dan analisis tata batas kawasan hutan menggunakan data penginderaan jauh dengan citra satelit resolusi tinggi. Adapun pengukurannya menggunakan global navigation satellite system (GNSS) untuk menentukan posisi dan waktu dalam satuan ilmiah.
”Pengaturan jarak antarbatas yang rapat, seperti batas kawasan hutan berdekatan, perlu dipasang papan pengumuman sebagai tanda. Misalnya tidak memungkinkan (untuk dipasang tanda), penandaan dilakukan secara virtual,” ucapnya.
Pengukuhan kawasan hutan diharapkan dapat mewujudkan kepastian hukum dan tersedianya peta kawasan hutan untuk dijadikan acuan seluruh pemangku kepentingan. Selain itu, basis data kawasan hutan dapat diakses publik berbentuk informasi kehutanan.
Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian, percepatan pengukuhan kawasan hutan apabila tidak diiringi transparansi informasi kepada publik akan berpotensi memicu konflik dengan masyarakat. Konflik tenurial, pertentangan klaim penguasaan lahan, lahir dari pengukuhan sepihak kawasan hutan oleh negara.
Peta Wilayah Kelola Rakyat pada 2022 yang diorganisasi Walhi di sejumlah wilayah di Indonesia menemukan, dari 1,1 juta hektar lahan, baru sekitar 80.000 hektar yang diberikan akses ke masyarakat. ”Pengukuhan kawasan hutan sebaiknya dimanfaatkan KLHK sebagai bentuk pertanggungjawaban atas konflik yang terjadi,” kata Uli.
Semangat percepatan pengukuhan kawasan hutan saat ini tidak berbeda jauh dengan era kolonial. Masyarakat tidak mengetahui wilayah mana saja yang direncanakan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Oleh karena itu, klaim sepihak yang dilakukan dapat memicu konflik dengan masyarakat adat dan pengguna lahan sebelumnya.