Film dapat dijadikan media untuk mengapresiasi keanekaragaman budaya. Bahkan, film dapat menjadi salah satu instrumen strategi kebudayaan dan mendorong pemajuan kebudayaan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberagaman budaya merupakan identitas bangsa Indonesia yang telah eksis sejak lama. Kekayaan budaya ini perlu diangkat dalam beragam media, termasuk melalui film yang menjadi cerminan budaya bangsa.
Aktor senior Slamet Rahardjo mengatakan, Indonesia merupakan laboratorium alami untuk pluralisme. Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnis dengan lebih dari 700 bahasa daerah. ”Film itu sebenarnya juga cerminan dari kebudayaan tersebut,” ujarnya di Jakarta, Minggu (29/1/2023) malam.
Film dapat dijadikan media untuk mengapresiasi keanekaragaman budaya. Bahkan, film bisa menjadi salah satu instrumen strategi kebudayaan dan mendorong pemajuan kebudayaan.
Slamet mencontohkan industri film di India yang menonjolkan nyanyian dan tarian. Hal itu merupakan cerminan kehidupan dan budaya masyarakat negara tersebut. ”Itulah warna budaya mereka. Sekarang kembali ke kita, kita (Indonesia) punya apa? Bagaimana agar film itu betul-betul bisa menjadi cerminan budaya,” katanya.
Menurut Slamet, film memerlukan konsep yang jelas untuk bisa mengangkat identitas bangsa. Film tidak sekadar menceritakan suatu kisah, tetapi harus memiliki gagasan dan kreasi. Oleh sebab itu, penting bagi aktor atau aktris untuk mengenal kekayaan budaya. Dengan begitu, saat memerankan tokoh asal daerah tertentu, ia mampu mendalami peran tersebut, termasuk dalam hal kebudayaan dan dialeknya.
Film memerlukan konsep yang jelas untuk bisa mengangkat identitas bangsa. Film tidak sekadar menceritakan suatu kisah, tetapi harus memiliki gagasan dan kreasi.
Slamet mencontohkan, saat memerankan sosok Teuku Umar dalam film Tjoet Nja’ Dhien yang disutradarai Eros Djarot, ia belajar bahasa Aceh karena harus berpidato dengan bahasa tersebut. ”Jangan kira dikasih peran Teuku Umar itu bukan siksaan buatku. Tetapi, kan memang harus dipelajari. Bagaimana mungkin berbicara sebagai Teuku Umar tapi logatku Jawa?” ucapnya.
Slamet menyinggung sejumlah sineas muda yang tergerak untuk mengangkat tema kebudayaan. Hal ini patut diapresiasi sebagai media yang memberikan gambaran tentang suatu budaya. Film berjudul Ngeri-Ngeri Sedap yang disutradarai Bene Dion Rajagukguk, misalnya, mengangkat cerita keluarga suku Batak. Film ini telah disaksikan lebih dari 2,5 juta penonton.
Komite Seleksi Oscar Indonesia memilih film tersebut sebagai perwakilan Indonesia untuk diajukan dalam Academy Awards ke-95 kategori Film Fitur Internasional. Slamet merupakan salah satu anggota komite itu.
“Jangan omong film kalau tidak mengerti kehidupan dan kebudayaan. Makanya Ngeri-Ngeri Sedap dipilih untuk pergi ke Amerika (ke Oscar). Karena bagaimanapun juga, di situ ada cerminan bangsaku,” jelasnya.
Meski bergenre drama komedi, film Ngeri-Ngeri Sedap banyak mengangkat unsur kebudayaan Batak. Pengambilan gambar utama film ini dilakukan di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. ”Keberanian mengangkat akar budaya itu penting. Kalau kamu enggakberani salah, kamu enggak akan pernah kreatif,” ujarnya.
Dukungan infrastruktur
Saat ini pengembangan industri film di Tanah Air membutuhkan infrastruktur perfilman yang memadai. Dukungan itu mulai dari tahapan praproduksi hingga sensor film. ”Di infrastruktur itu ada studio alam, tempat produksi, ekshibisi, dan sensor film. Sekarang shooting di mana-mana bayar. Kasihan produser kita,” kata Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Sjafruddin.
Djonny berharap kebutuhan dukungan infrastruktur tersebut dapat disuarakan seluruh insan perfilman di Tanah Air. Sebab, hal ini penting untuk kelangsungan industri film berkelanjutan. ”Jadi, bagaimana bisa membangun infrastruktur perfilman yang terintegrasi. Jika usul ini bisa diterima (oleh pemerintah), langsung dibuat tim dari beberapa unsur perfilman,” ungkapnya.
Ketua Umum Gabungan Studio Film Indonesia (Gasfi) Rudy Sanyoto menyebutkan, pengembangan potensi perfilman juga memerlukan sumber daya manusia yang mumpuni. Bukan hanya dari pemeran, produksi, dan industri, melainkan dari pejabat pemerintah di bidang perfilman juga harus menguasai bidangnya.
Rudy mengungkap sejumlah persoalan perfilman perlu segera dituntaskan. Hal ini meliputi antara lain masalah teknologi yang kurang memadai, lambannya pengembangan produksi film nasional, serta distribusi dan ekshibisi film yang kurang merata sehingga pasar film nasional semakin sempit.