Defisit JKN Berpotensi Kembali Terjadi, Langkah Antisipasi Perlu Disiapkan
Surplus pada dana jaminan sosial kesehatan yang dilaporkan saat ini perlu dijaga keberlanjutannya. Jika tidak ada upaya kendali biaya dan kendali mutu yang kuat, defisit berpotensi kembali terjadi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Warga peserta program Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) mengisi formulir pendaftaran mendapat layanan kesehatan di Puskesmas Tegalrejo, Yogyakarta, Jumat (26/7/2019). Saat ini, semua rumah sakit di Yogyakarta mampu melayani pasien yang terdaftar sebagai peserta program JKN-KIS yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan.
JAKARTA, KOMPAS — Setelah selalu dilaporkan defisit, kondisi aset bersih Dana Jaminan Sosial Kesehatan di Indonesia dilaporkan mengalami surplus dalam dua tahun terakhir. Meski begitu, tren pembiayaan manfaat yang terus meningkat membuat risiko defisit bisa kembali terjadi. Karena itu, langkah antisipasi perlu dilakukan, termasuk mempersiapkan skenario kenaikan biaya iuran peserta.
Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, aset bersih Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang dikelola BPJS Kesehataan saat ini meningkat pesat. Peningkatan aset bersih itu mulai dilaporkan sejak 2021 sebesar Rp 38,76 triliun yang meningkat kembali menjadi Rp 56,51 triliun pada 2022. Dengan aset tersebut, setidaknya bisa mencukupi pembayaran klaim untuk 5,9 bulan ke depan.
”Saat ini tidak ada lagi gagal bayar ke rumah sakit. Bahkan, kami bisa membayar sebagian biaya klaim rumah sakit sebelum diverifikasi sehingga cash flow (arus kas) rumah sakit bisa terjaga. Tarif pembayaran pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit juga sudah ditingkatkan pemerintah guna meningkatkan mutu layanan,” ujarnya dalam Diskusi Publik ”Outlook 2023: 10 Tahun Program JKN”, di Jakarta, Senin (30/1/2023).
Saat ini tidak ada lagi gagal bayar ke rumah sakit. Bahkan, kami bisa membayar sebagian biaya klaim rumah sakit sebelum diverifikasi sehingga cash flow rumah sakit bisa terjaga.
Meski begitu, Direktur Perencanaan, Pengembangan, dan Manajemen Risiko BPJS Kesehatan Mahlil Ruby menuturkan, potensi defisit bisa kembali terjadi. Itu disebabkan biaya manfaat layanan yang meningkat, sedangkan biaya iuran cenderung masih stagnan.
Biaya manfaat yang meningkat bisa dipengaruhi oleh akses kesehatan yang semakin luas. Selain itu, layanan kesehatan berbiaya tinggi yang semakin banyak dimanfaatkan masyarakat juga bisa menjadi penyebabnya. Hal tersebut merupakan kondisi yang baik, tetapi kendali biaya tetap harus dilakukan untuk memastikan keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
”Kami memprediksi tahun 2024 akan terjadi defisit. Itu terjadi karena terjadi persilangan antara biaya iuran yang kita terima dan biaya manfaat yang dibayarkan. Pada saat itu pula, aset neto (aset bersih) yang sebesar Rp 56 triliun sudah tergerus. Iuran pun harus naik pada tahun 2025 atau 2026,” kata Mahlil.
Menurut dia, kebijakan kenaikan iuran pada 2020 serta situasi pandemi yang menyebabkan masyarakat enggan ke rumah sakit turut berpengaruh pada kondisi surplus Dana Jaminan Sosial Kesehatan. Akan tetapi, seiring dengan situasi pandemi yang terkendali, masyarakat kembali mengakses layanan kesehatan, bahkan jumlahnya lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi.
Total pemanfaatan pelayanan kesehatan JKN pada 2019 tercatat 433,4 juta kunjungan. Jumlah itu menurun saat pandemi menjadi 363,6 juta kunjungan pada 2020 dan 392,8 juta kunjungan pada 2021. Sementara pada tahun 2022 tercatat jumlah kunjungan untuk pemanfaatan layanan kesehatan sebanyak 502,8 juta.
Mahlil menuturkan, langkah antisipasi dilakukan untuk menghadapi potensi defisit dalam program JKN-KIS. Selain mempersiapkan skenario kenaikan biaya iuran peserta pada 2025, upaya kendali biaya juga dilakukan dengan memastikan tidak terjadi layanan yang melebihi manfaat (overutilization). Penguatan layanan di fasilitas kesehatan tingkat primer juga dilakukan agar jumlah pasien rujukan bisa ditekan.
Mutu layanan
Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Abdul Kadir menilai, sejumlah tantangan masih ditemui dalam pelaksanaan program JKN-KIS, terutama terkait dengan mutu dan akses layanan yang belum optimal. Peserta JKN sering mengeluhkan mutu layanan yang kurang baik.
KOMPAS/RIZA FATHONI
Warga mengurus kelengkapan administrasi untuk mendapatkan tanggungan biaya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di RS Siloam Semanggi, Jakarta, Senin (13/8/2018). Pemerintah akan menyuntikkan dana ke BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit yang terjadi. Besarnya defisit akan ditentukan berdasarkan audit dan kajian Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Akses layanan kesehatan pun belum merata sehingga layanan kesehatan tak dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Padahal, besaran iuran peserta JKN-KIS di seluruh Indonesia sama. ”Tuntutan publik pada mutu BPJS Kesehatan akan makin tinggi. Jadi, BPJS Kesehatan harus terus berkembang untuk perbaikan dan keberlanjutan lebih baik,” kata Kadir.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menegaskan, tarif layanan yang dibayarkan di fasilitas kesehatan dalam program JKN-KIS harus disertai dengan peningkatan layanan bagi peserta. Dalam memastikan pemerataan layanan, standardisasi pelayanan perlu ditetapkan. Standardisasi tersebut dinilai lebih mendesak dibandingkan kebijakan mengenai kelas rawat inap standar (KRIS).
Sementara Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha memaparkan, pemerataan layanan kesehatan di masyarakat akan difokuskan pada empat penyakit dengan tingkat kematian dan biaya kesehatan tertinggi di masyarakat, yakni jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal. Ditargetkan, semua kabupaten atau kota bisa memberikan layanan dasar untuk penanganan penyakit tersebut.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Warga mengurus administrasi di kantor BPJS Kesehatan Cabang Jakarta Selatan di Pancoran, Kamis (14/5/2020). Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Padahal, sebelumnya dalam putusan pada 31 Maret 2020, Mahkamah Agung sudah membatalkan kenaikan iuran yang dibuat pemerintah pada 2019.
”Untuk penanganan ring (jantung) misalnya, ditargetkan bisa dilakukan di semua rumah sakit di tingkat kabupaten/kota dan operasi jantung terbuka bisa dilakukan di semua rumah sakit di tingkat provinsi. Targetnya tahun 2024 sebanyak 50 persen kabupaten/kota sudah bisa melakukan dan pada 2027 sudah bisa 100 persen,” katanya.
Ghufron menyampaikan, BPJS Kesehatan kini juga semakin mendukung upaya promotif dan preventif pada kesehatan masyarakat. Salah satunya dengan membuka layanan penapisan (screening) kesehatan. Program penapisan yang tersedia, antara lain, penapisan riwayat kesehatan, diabetes melitus, kanker serviks, dan kanker payudara.
”Dengan adanya screening tahap awal, biaya pelayanan kesehatan akan meningkat. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan tahun 2023 menganggarkan khusus untuk screening dan perawatan pada penyakit yang terdeteksi dari screening dengan anggaran tambahan Rp 9 triliun,” ujarnya.