Mengembalikan Berita Berkedalaman di Luar Algoritma
Banyak jurnalis di era sekarang hanya mengikuti algoritma mesin pencari saat membuat berita. Tidak jarang hal ini mengabaikan kedalaman produk jurnalistik yang dihasilkan.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berita yang sekadar mementingkan logika algoritma dengan judul umpan klik atau click bait banyak dipersoalkan dan diadukan ke Dewan Pers. Saatnya media massa kembali memproduksi berita berkedalaman untuk meningkatkan kualitas pers di Tanah Air.
Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan Dewan Pers Arif Zulkifli mengatakan, banyak jurnalis di era sekarang hanya mengikuti algoritma mesin pencari saat membuat berita. Tak jarang hal ini mengabaikan kedalaman produk jurnalistik yang dihasilkan.
”Di Dewan Pers ada 700-800 pengaduan yang isinya tentang praktik jurnalisme yang dianggap buruk karena mengabdi pada logika algoritma semata,” ujarnya dalam peluncuran bukunya berjudul Jurnalisme di Luar Algoritma di Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Dewan Pers menerima 691 pengaduan kasus pers sepanjang 2022. Sekitar 97 persen pelanggaran merupakan konten media digital atau daring. Bentuk pelanggarannya beragam, mulai dari tidak memverifikasi, terindikasi hoaks atau fitnah, hingga konten yang mengandung provokasi seksual. Kualitas konten pemberitaan mendesak untuk dibenahi (Kompas, 18/1/2023).
Lewat buku itu, Arif mengingatkan pendekatan jurnalisme perjalanan dan reportase. Menurut dia, pendekatan perjalanan selalu menarik bagi pembaca. Sementara reportase membuat pembaca bisa merasakan apa yang dilihat dan dirasakan wartawan di lapangan.
”Tulisan-tulisan seperti ini memang tidak populer buat mesin pencari meskipun bukan tidak bisa disiasati,” katanya.
Jurnalis senior Tempo itu mengatakan, buku tersebut dihimpun dari dokumentasi berita dalam 20-25 tahun terakhir. Dua kriteria yang digunakan adalah pendekatan perjalanan dan reportase.
Sejumlah tulisan di buku itu memuat hasil liputannya di dalam dan luar negeri. Judul Jurnalisme di Luar Algoritma dipilih untuk memancing diskusi terkait pers Indonesia saat ini.
Yang paling penting dalam reportase adalah kecermatan dalam mengamati obyek reportase. Selain kejelian, hal ini juga menuntut kesabaran dari wartawan. Sementara kata-kata untuk menyusun tulisan bisa datang belakangan.
”Agak provokatif agar para wartawan tidak lagi hanya bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik yang saat ini kita tahu mengikuti algoritma mesin pencari,” jelasnya.
Arif juga menyinggung sejumlah berita yang hanya mengejar umpan klik. Ia mencontohkan, ketika Ratu Elizabeth II meninggal pada September 2022, ia membaca pemberitaan berjudul ”Enam Alasan Meninggalnya Ratu Elizabeth II, Nomor Tiga Bikin Merinding”.
”Jelas betul ini click bait. Padahal nomor tiganya itu sakit. Semua orang tahu bahwa dia (Ratu Elizabeth II) meninggal karena sakit dan tua. Tetapi, kan, kehabisan gagasan sebetulnya teman-teman (jurnalis) ini,” jelasnya.
Dalam banyak kasus, konten seperti itu dibuat dengan umpan klik (click bait) menggunakan judul sensasional. Alhasil, kode etik jurnalistik yang menjadi pedoman dan rambu kerja-kerja jurnalis rentan dilanggar.
Menurut Arif, yang paling penting dalam reportase adalah kecermatan dalam mengamati obyek reportase. Selain kejelian, hal ini juga menuntut kesabaran dari wartawan. Sementara kata-kata untuk menyusun tulisan bisa datang belakangan.
”Dalam menulis bukan sekadar menyampaikan fakta, tetapi tukang cerita,” ucapnya. Arif menambahkan, di tengah banyak media yang mengejar kecepatan, masih terdapat beberapa karya jurnalistik yang mengedepankan kedalaman.
Sastrawan Ayu Utami menuturkan, penulisan membutuhkan kemampuan memberi makna pada peristiwa. Ia mencontohkan, dalam tulisan Arif saat meliput Hasan Tiro, Arif menunjukkan kecerdikannya melihat rentetan adegan dalam liputannya.
”Rangkaian peristiwa itu dipecah menjadi beberapa bagian dan diselingi oleh materi-materi yang didapatnya dari bacaan. Jadi, ketika isi pikirannya Hasan Tiro tidak keluar dari mulutnya sendiri, bisa diambil dari bukunya dan penelitian,” jelasnya.
Ayu mengaku mengalami disorientasi terhadap media massa saat ini. Menurut dia, di era sekarang banyak wartawan yang tidak mengerjakan tugasnya seperti melakukan riset sebelum mewawancarai narasumber.
”Banyak wartawan sekarang yang hanya menanyakan pertanyaan yang ada di kertas,” ujarnya.
Dalam buku Media Massa Nasional Menghadapi Disrupsi Digital, dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta, Agus Sudibyo, menyebutkan, ketika trafik telah menjadi paradigma pemberitaan, tren jurnalisme click bait pun mengemuka. Media-media siber terdorong untuk lebih mengejar kuantitas berita daripada kualitas.
”Media massa sering memproduksi berita dengan orientasi menghasilkan sebanyak mungkin klik, share, komentar, dan interaksi pembaca di sekitar konten. Upaya mengejar trafik lebih dominan dibandingkan upaya mendiskusikan solusi untuk mengatasi masalah,” tulisnya.