Menjadi petani belum jadi kebanggaan anak-anak muda Indonesia. Sistem pendidikan dan sistem pertanian belum sejalan untuk mengajak anak-anak Indonesia memilih cita-cita sebagai petani.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·3 menit baca
Di SMP Nusantara di Yogyakarta, belajar menyenangkan yang menghargai keragaman siswa jauh dari kenyataan. Sekolah lebih peduli pada predikat sekolah terbaik, para orangtua berlomba-lomba mendorong anak punya nilai tinggi.
Akhirnya, kesuksesan pun dimaknai dengan hidup berpunya. Pilihan cita-cita masa remaja para siswa terjebak pada profesi yang menghasilkan banyak uang, seperti dokter, insinyur, pengusaha, atau arsitek. Tak jarang, cita-cita anak pun telah ditetapkan sepihak oleh orangtua.
Randy yang nilainya pas-pasan bercita-cita menjadi komikus. Adapun Menik yang dengan berani membuka rahasia impiannya untuk menjadi bintang film mendapat cemoohan karena penampilannya dinilai tidak seperti layaknya artis.
Lebih heboh lagi saat ada siswa baru bernama Pratama alias Tama, anak petani, menyampaikan cita-citanya menjadi petani. Para siswa terkesima karena selama ini tak ada yang memiliki cita-cita menjadi petani yang dianggap susah dan miskin. ”Karena saya ingin kasih makan banyak orang,” jawab Tama tegas saat guru menanyakan alasannya menjadi petani.
Cita-cita tiga siswa remaja SMP yang pada zamannya dianggap ”tidak menjanjikan” kekayaan itu membuat ketiganya bersahabat. Mampukah sistem pendidikan konvensional yang mengutamakan angka dan peringkat mengantar ketiga siswa remaja ini meraih cita-cita mereka?
Cuplikan cerita di novel berjudul Cita-cita Titik Dua Petani! tersebut merupakan buah karya penulis Kanti W Janis yang ditulis berdasarkan pengalaman dan risetnya terhadap sistem pendidikan serta sistem pangan di Indonesia yang belum berpihak pada generasi muda. Novel keempat Kanti ini diluncurkan di Perpustakaan Baca di Tebet, Jakarta, Sabtu (28/1/2023).
Kanti mengatakan, menjadi petani tidak dipandang sebagai pahlawan dan tidak dihargai. Padahal, dia mengingat betul pesan ayahnya almarhum politisi Roy BB Janis yang mengatakan, nasib petani harus diutamakan karena petani yang memberi kita makan, memberi makan bangsa.
”Tidak ada guru yang menyemangati siswa menjadi petani karena image-nya yang miskin dan kotor. Kisah-kisah anak petani yang sukses bisa bersekolah tinggi hingga ke luar negeri menggapai cita-cita, menjadi sosok yang lain. Namun, citra petani ini sering kali dipakai saat kampanye sebagai janji pemimpin yang akan menyejahterakan petani,” kata Kanti.
Tidak ada guru yang menyemangati siswa menjadi petani karena image-nya yang miskin dan kotor.
Padahal, lanjut Kanti, banyak petani tradisional yang hidup dengan nilai-nilai untuk berdiri di kaki sendiri. Suatu masa Kanti merasakan hidup atau live in di komunitas petani di Kanekes, Baduy Luar. Masyarat petani di sana berpikir maju untuk mencukupi kebutuhan sendiri, tidak memakai bahan kimia, dan bertani seperti ibadah. Juga di komunitas adat Samin yang menunjukkan petani tradisional Indonesia punya harga diri berdaulat.
”Kegemasan” ini membuat Kanti ingin menggugat sistem pendidikan di Indonesia yang belum menghargai aspirasi cita-cita anak-anak. Novel yang diselesaikan selama 12 tahun karena diselingi pekerjaan sebagai advokat dan kesibukan lainnya itu didasari dari pengalaman dan riset terhadap sistem pendidikan dan sistem pertanian di Indonesia.
Acara peluncuran buku pun mengalir dengan kisah perjuangan sejumlah anak muda yang kini secara sadar memilih berkecimpung dalam pertanian. Namun, mereka tetap merasakan ada banyak tantangan untuk bisa meluruhkan citra petani yang bodoh, kotor, dan miskin.
Endang Yuliastuti, guru SMP di Jakarta, mengatakan, ia pernah mencoba survei cita-cita anak didik di kelasnya. ”Yang jadi petani dan guru tidak ada. Mereka berpikir pada cita-cita yang cepat menghasilkan uang. Kehadiran novel dengan cerita remaja ini bisa dipakai di kelas untuk berdiskusi tentang cita-cita mereka,” kata Endang.
Sementara itu, Wien Muldian dari Indonesian Writers Inc menyampaikan, novel Cita-cita Titik Dua Petani! nantinya akan dipakai juga untuk mendukung literasi masyarakat, terutama anak-anak muda. Di 12 kota akan ada diskusi untuk membicarakan profesi petani sehingga menjadi bagian percakapan di kalangan anak muda. ”Kami akan mengajak anak-anak muda untuk curcol atau bercerita tentang cita-cita dan mimpi,” katanya.
”Sudah saatnya anak-anak muda memahami kesukesan itu bukan seperti yang selama ini dinarasikan. Kami ingin mengajak anak-anak muda dapat melihat Indonesia hari ini dan ke depan dengan cara lain,” kata Wien.