Ketimpangan akses pendidikan di Indonesia diperburuk oleh korupsi dalam berbagai modus. Ketimpangan itu terjadi mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akses pendidikan di Indonesia belum merata. Imbasnya, anak dari keluarga miskin lebih berisiko untuk tidak terdidik. Ketimpangan ini diperburuk oleh korupsi pada sektor pendidikan dalam berbagai modus, seperti penggelembungan harga atau mark up pengadaan barang dan jasa, pemotongan anggaran, suap, proyek fiktif, dan pungutan liar atau pungli.
Ketimpangan akses itu terjadi mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Masalah ini perlu segera diatasi karena rendahnya tingkat pendidikan akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Direktur Eksekutif Kemitraan yang juga Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 Laode M Syarif mengatakan, salah satu penyebab pendidikan kurang merata adalah pembiaran berkelanjutan terhadap tata kelola yang tidak baik. ”Korupsi sektor pendidikan mengakibatkan akses masyarakat miskin menjadi sangat minim,” ujarnya dalam dialog pendidikan ”Menyingkap Perjalanan Pendidikan Anak-anak Miskin di Indonesia” yang digelar Asa Dewantara, Kamis (26/1/2023).
Menurut Laode, alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk sektor pendidikan tidak terlalu buruk. Bahkan, nilainya terus meningkat dalam kurun waktu 2016-2022, pada 2016 sebesar Rp 370,8 triliun dan 2022 lebih dari Rp 500 triliun.
”Itu sangat besar. Bahkan, konstitusi kita mewajibkan (anggaran pendidikan) minimal 20 persen (dari APBN),” katanya.
Akan tetapi, sering kali penggunaan anggaran tidak dikelola bertanggung jawab. Korupsi pendidikan masih terus terjadi dan melibatkan berbagai pihak, seperti kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, kepala dinas, rektor, serta pihak sekolah.
Laode menyebutkan, setidaknya tujuh kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi sektor pendidikan pada 2016-2021. Beberapa kasus di antaranya korupsi dana pendidikan luar sekolah di Nusa Tenggara Timur pada 2007; korupsi pengadaan paket bantuan siswa kurang mampu di Kabupaten Lampung timur pada 2012; suap ijon proyek-proyek di Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, pada 2016; serta pemotongan dana alokasi khusus di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, pada 2018.
Penggelembungan harga
Modus operandi terbanyak berupa penggelembungan harga pengadaan barang dan jasa serta proyek fiktif masing-masing sebesar 14,2 persen. Selain itu, juga berbentuk pungli (13,3 persen), pemotongan anggaran (10,8 persen), penyalahgunaan wewenang (5,8 persen), dan praktik lainnya.
Menurut Laode, jumlah kasus korupsi sektor pendidikan lebih banyak dari yang diusut KPK. Sejumlah kasus dengan nilai korupsi di bawah Rp 1 miliar, misalnya, ditangani oleh lembaga lain karena bukan wewenang KPK.
Korupsi juga rawan terjadi di perguruan tinggi. Bentuknya beragam, mulai dari pengadaan barang dan jasa, insentif dosen atau peneliti, uang penelitian, dan jual beli nilai kelulusan.
”Suap penerimaan mahasiswa baru banyak terjadi. Kami mendapat banyak laporan, khususnya untuk fakultas kedokteran,” ucapnya.
Ketimpangan akses itu terjadi mulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Masalah ini perlu segera diatasi karena rendahnya tingkat pendidikan akan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi.
Laode menambahkan, internalisasi pendidikan anti-korupsi dan integritas perlu ditanamkan sejak dini. Selain itu, juga menerapkan transparansi pengadaan barang dan jasa di sektor pendidikan dengan memakai katalog elektronik.
”Penguatan peran komite sekolah dalam perencanaan dan pengawasan dana BOS (bantuan operasional sekolah). Di daerah itu banyak pengadaan dipotong-potong (agar nilai anggaran) di bawah Rp 300 juta supaya bisa penunjukan langsung,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Asa Dewantara Abdul Malik Gismar memaparkan sejumlah bentuk ketimpangan akses pendidikan di berbagai jenjang. Asa Dewantara merupakan lembaga nirlaba yang fokus pada peningkatan kualitas pendidikan yang bisa diakses oleh sejumlah warga, terutama kelompok marjinal.
Malik mengatakan, 14,94 persen atau 12.560 desa di Indonesia tidak memiliki akses ke semua jenis PAUD. Hanya 11 persen desa yang dapat mengakses PAUD dalam radius kurang dari 6 kilometer.
”Rata-rata jarak ke PAUD di perdesaan mencapai 18,77 km. Sementara di perkotaan hanya 3,15 km,” katanya.
Sebaran PAUD juga timpang. Di Jawa terdapat 144.007 unit dan di Sumatera 58.062 unit. Sementara di Bali dan Nusa Tenggara hanya 15.482 unit serta Maluku dan Papua 7.767 unit.
Ketimpangan pun terjadi dalam mengakses pendidikan dasar dan menengah. Jarak rata-rata mengakses SD di Jawa, misalnya, hanya 1,23 km. Sementara di Maluku dan Papua mencapai 6,37 km.
”Sebesar 31,32 persen (sekitar 4,17 juta anak) dari total penduduk berusia 16-18 tahun tidak bersekolah di SMA. Sebanyak 54,19 persen di antaranya tinggal di desa,” ujarnya.
Menurut Malik, beban menyekolahkan anak masih cukup besar. Sebab, pengeluaran untuk pendidikan bukan sekadar uang sekolah, tetapi biaya lain seperti transportasi.
”Anak tidak terdidik dari keluarga miskin hampir dipastikan akan melahirkan generasi miskin baru. Mungkin ada yang tidak, tetapi persentasenya kecil,” katanya.