Erupsi Gunung Tonga Bisa Mempercepat Kenaikan Suhu Global
Letusan besar gunung api biasanya berdampak mendinginkan Bumi karena mengeluarkan belerang yang bisa menghalangi sinar matahari. Namun, erupsi gunung api bawah laut Tonga tahun lalu justru meningkatkan suhu global.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Letusan besar gunung api biasanya berdampak mendinginkan Bumi karena mengeluarkan belerang dalam jumlah besar, yang bisa menghalangi sinar matahari. Namun, erupsi dahsyat gunung api bawah laut Pasifik, Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada Januari 2022 justru memiliki implikasi pada peningkatan suhu global.
Sebuah tim peneliti di University of Oxford memperkirakan, erupsi gunung api ini bisa mendorong kenaikan suhu global rata-rata di atas batas kenaikan 1,5 derajat celsius. Ahli fisika dari Oceanic and Planetary Physics, Department of Physics, University of Oxford, Stuart Jenkins, menjadi penulis pertama makalah yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change edisi Januari 2023 dan dirilis pada Rabu (25/1/2023).
Pada Januari 2022, gunung berapi bawah laut Hunga Tonga–Hunga Ha’apai meletus dengan kekuatan dahsyat sehingga mengirimkan abu, gas, dan air dalam jumlah besar ke atmosfer. Tidak seperti letusan besar gunung api lainnya yang mengeluarkan belerang, ledakan tersebut terutama melontarkan sejumlah besar uap air ke atmosfer.
Lontaran air ke atmosfer inilah yang menimbulkan efek pemanasan. Karena ledakannya sangat kuat, sebagian besar air itu sampai ke stratosfer, yang berarti butuh waktu bertahun-tahun untuk jatuh kembali ke Bumi.
Lontaran air ke atmosfer inilah yang menimbulkan efek pemanasan. Karena ledakannya sangat kuat, sebagian besar air itu sampai ke stratosfer, yang berarti butuh waktu bertahun-tahun untuk jatuh kembali ke Bumi.
Sebelumnya, kajian yang ditulis Holger Vomel dan tim di jurnal Science pada September 2022 menyebutkan, letusan gunung berapi bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha’apai pada Januari 2022 begitu dahsyat sehingga semburannya menembus stratosfer. Pengukuran oleh radiosonde (balon cuaca) menunjukkan bahwa peristiwa tersebut menyuntikkan setidaknya 50 teragram (50 juta metrik ton) uap air ke stratosfer.
”Karena gunung berapi itu berada di bawah air, jumlah uap air di lapisan stratosfer yang berkembang tinggi, dan tidak seperti letusan besar lainnya, mungkin telah meningkatkan jumlah uap air stratosfer global lebih dari 5 persen,” tulis Vomel.
Stratosfer membentang dari sekitar 7,5 mil hingga 31 mil (12 km hingga 50 km) di atas Bumi dan biasanya sangat kering. Uap air ini akan bertahan di sekitar atmosfer atas selama beberapa tahun sebelum masuk ke atmosfer bawah. Sementara itu, tambahan air juga dapat mempercepat hilangnya ozon di atmosfer.
Kelompok riset lain, yang dipimpin L Millán dari California Institute of Technology, dan tim memantau ledakan tersebut menggunakan instrumen di satelit NASA. Studi mereka yang diterbitkan di jurnal Geophysical Research Letter pada Juli 2022 memperkirakan uap air yang dilontarkan dalam erupsi Tonga ke atmosfer mencapai 150 juta metrik ton, tiga kali lebih banyak dari yang ditemukan studi Vomel.
Dalam penelitian terbaru, Jenkins dan tim menggunakan model transfer radiasi untuk memperkirakan dampak suhu global dari peledakan semua air tersebut ke stratosfer. Mereka menemukan efek pemanasan sebesar 0,12 watt per meter persegi, tak lama setelah ledakan.
Mereka kemudian menggunakan data dari model tersebut sebagai masukan untuk model iklim standar untuk membuat estimasi mengenai kemungkinan kenaikan suhu global rata-rata selama sepuluh tahun setelah letusan.
Para peneliti memplot perkiraan mereka dalam dua skenario: emisi rendah dan emisi sedang. Di bawah kedua skenario, plot menunjukkan kemungkinan peningkatan suhu global rata-rata melebihi tonggak sejarah 1,5 derajat celsius pada tahun tertentu. Skenario yang pertama menunjukkan kemungkinan naik dari 50 persen menjadi 57 persen, sedangkan yang kedua menunjukkan naik dari 60 persen menjadi 67 persen.
Dengan temuan ini, Jenkins dan tim menyarankan bahwa jika tonggak 1,5 derajat celsius tercapai dalam beberapa tahun ke depan, hal itu tidak boleh dianggap murni karena pemanasan global yang dipicu oleh faktor emisi dari ulah manusia. Namun, ada kontribusi alam dari letusan Gunung Tonga.
Menurut Jenkins, efek tambahan pemanasan dari erupsi Tonga ini akan berlangsung sementara. Namun, pemanasan yang disebabkan emisi karbon bisa bertahan jauh lebih lama. Dengan demikian, segala upaya untuk terus mengurangi emisi gas rumah kaca harus terus berjalan sesuai rencana.