Penelitian terbaru berbasis pemodelan yang dipublikasikan di jurnal ”Nature Geoscience” menyebutkan, Inti Bumi, sebuah bola padat panas seukuran Pluto, telah berputar ke arah yang berlawanan dari dekade sebelumnya.
Oleh
AHMAD ARIF
·3 menit baca
AHMAD ARIF
Inti Bumi. Sumber: www.jpl.nasa.gov
JAKARTA, KOMPAS — Inti Bumi, sebuah bola padat panas seukuran Pluto, diperkirakan telah berputar ke arah yang berlawanan dari dekade sebelumnya. Perubahan perputaran ini dilaporkan ilmuwan dari Universitas Peking di China setelah mempelajari data gelombang seismik dari gempa bumi yang dipicu inti dalam Bumi.
Inti Bumi ini berada kira-kira 5.000 kilometer atau 3.100 mil di bawah permukaan tempat kita tinggal. Inti Bumi ini dapat berputar secara independen karena mengapung di inti luar logam cair.
Dengan melihat perubahan pada gelombang ini, mereka dapat mengetahui apa yang terjadi di dalam lapisan dalam Bumi, jauh lebih dalam daripada yang dapat dicapai oleh bor dan instrumen mana pun. Data mereka merinci perubahan gelombang seismik selama beberapa dekade, dimulai dengan rekaman Alaska dari awal 1960-an hingga rekaman dikumpulkan pada 2021.
Penelitian yang dilakukan Yi Yang dan Xiaxodong Song, keduanya dari School of Earth and Space Sciences, Peking University, ini dilaporkan di jurnal Nature Geoscience pada Senin (23/1/2023).
Berdasarkan data, bagian-bagian inti yang sebelumnya menunjukkan tanda-tanda variasi jelas. Bagian-bagian itu itu tiba-tiba memperlihatkan perubahan sangat kecil sekitar tahun 2009, yang menurut mereka menunjukkan bahwa rotasi inti bagian dalam sempat terhenti.
Mereka juga mengambil perubahan penting dalam gelombang yang dimulai awal 1970-an. Ini adalah bagian dari osilasi yang terjadi setiap tujuh dekade ketika inti dalam secara bertahap kembali ke arah yang berlawanan. Dengan siklus ini, mereka memperkirakan perubahan arah putaran berikutnya akan terjadi pada pertengahan 2040-an.
Citra Bumi yang diambil menggunakan kamera earth polychromatic imaging camera (EPIC) yang ditempatkan pada satelit Deep Space Climate Observatory, 6 Juli 2015, dalam jarak 1,6 juta kilometer dari Bumi. Citra Bumi ini menunjukkan efek sinar Matahari yang disebarkan oleh molekul udara hingga memberi warna kebiruan pada Bumi.
Belum jelas implikasinya
Dalam riset ini, para peneliti belum menunjukkan bahwa apa yang dilakukan inti dalam Bumi memiliki banyak pengaruh pada penghuni permukaan bumi. Namun, para peneliti mengatakan mereka percaya ada hubungan fisik antara semua lapisan bumi, dari inti ke permukaan.
Yang dan Song berharap studi ini dapat memotivasi peneliti lain untuk membangun dan menguji model yang memperlakukan seluruh Bumi sebagai sistem dinamis yang terintegrasi.
Para ahli yang tidak terlibat dalam penelitian menyikapi temuan ini secara lebih hati-hati. ”Ini adalah studi yang sangat hati-hati oleh para ilmuwan hebat yang memasukkan banyak data,” kata John Vidale, seismolog di University of Southern California, sebagaimana dikutip AFP. ”(Tapi) Tidak ada model yang menjelaskan semua data dengan sangat baik menurut saya,” tambahnya.
Vidale menerbitkan penelitian tahun lalu yang menunjukkan bahwa inti Bumi berosilasi jauh lebih cepat, berubah arah setiap enam tahun atau lebih. Karyanya didasarkan pada gelombang seismik dari dua ledakan nuklir pada akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Para peneliti mengatakan, mereka percaya ada hubungan fisik antara semua lapisan bumi, dari inti ke permukaan.
Menurut Vidale, ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa inti dalam Bumi hanya bergerak secara signifikan antara tahun 2001 hingga 2013 dan tetap bertahan sejak saat itu.
Sementara itu, Hrvoje Tkalcic, seorang ahli geofisika di Universitas Nasional Australia, telah menerbitkan penelitian yang menunjukkan bahwa siklus inti dalam Bumi adalah setiap 20 tahun hingga 30 tahun, bukan 70 tahun seperti yang diusulkan dalam studi terbaru Yang dan Song.
Tkalcic juga mengatakan, komunitas geofisika akan terbagi atas temuan ini dan topiknya akan tetap kontroversial. Dia membandingkan seismolog dengan dokter yang mempelajari organ dalam tubuh pasien dengan menggunakan peralatan yang tidak sempurna atau terbatas.
Menurut dia, kurangnya alat yang mirip CT scan, membuat citra kita tentang bagian dalam Bumi masih kabur. Hal ini menyebabkan akan lebih banyak prediksi dan pemodelan yang berbeda di masa depan.