Prevalensi tengkes di Indonesia menurun menjadi 21,6 persen pada 2022. Jumlah itu masih di atas batas yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen. Berbagai upaya masih harus diperkuat untuk mencapai target 14 persen pada 2024.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, MAWAR KUSUMA WULAN
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka tengkes atau stunting di Indonesia pada tahun 2022 tercatat sebesar 21,6 persen. Angka tersebut turun sekitar 3 persen dari tahun sebelumnya. Meski penurunan angka ini menjadi pencapaian yang baik, upaya yang lebih kuat diperlukan untuk mencapai target penurunan tengkes menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Presiden Joko Widodo ketika membuka Rapat Kerja Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Jakarta, Rabu (25/1/2023), mengutarakan, penurunan angka tengkes yang terjadi selama enam tahun terakhir patut diapresiasi. Pada tahun 2013 tercatat angka tengkes di Indonesia sebesar 37,2 persen dan terus menurun menjadi 21,6 persen pada 2022.
”Target yang saya sampaikan 14 persen pada tahun 2024 harus kita bisa capai. Menurut saya, target itu bukan hal yang sulit. Hanya kita mau atau tidak mau. Asal kita bisa mengonsolidasikan ini,” tuturnya.
Penurunan angka tengkes di Indonesia tercatat dalam Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022. Selain angka tengkes, dalam survei itu dikumpulkan pula status gizi lainnya pada anak-anak berusia di bawah lima tahun (balita), seperti prevalensi wasting, underweight (berat badan kurang), dan overweight (kelebihan berat badan). Survei ini dilakukan setiap satu tahun sekali. Pada 2021, prevalensi tengkes 24,4 persen.
Target yang saya sampaikan 14 persen di tahun 2024 harus kita bisa capai. Menurut saya, target itu bukan hal yang sulit. Hanya kita mau atau tidak mau. Asal kita bisa mengonsolidasikan ini.
Jokowi menyampaikan, persoalan tengkes harus segera dituntaskan. Tengkes tidak hanya berdampak pada tinggi badan, tetapi juga pada rendahnya kemampuan anak untuk belajar. Anak dengan tengkes juga sangat berisiko mengalami keterbelakangan mental dan memiliki penyakit kronis.
Inovasi
Presiden menambahkan, inovasi perlu terus didorong oleh setiap pemangku kepentingan, termasuk pemerintah daerah dalam penanganan tengkes. Salah satu daerah yang patut dicontoh yakni Kabupaten Kampar, Riau. Prevalensi tengkes di daerah tersebut bisa menurun secara signifikan dari 23 persen menjadi 7 persen.
Keberhasilan tersebut dicapai antara lain melalui program anak asuh. Setiap perusahaan di daerah tersebut diminta untuk menjadi bapak asuh bagi anak-anak yang mengalami tengkes. ”Karena ada bapak asuhnya, akhirnya (tengkes) bisa turun drastis. Saya kira daerah lain bisa melakukan itu. Misalnya di Jawa, banyak perusahaan dititip saja biar memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi kepada anak-anak,” tuturnya.
Inovasi lain juga dilakukan di Sumedang, Jawa Barat, melalui aplikasi penanganan tengkes. Aplikasi tersebut digunakan sebagai platform untuk memantau kebutuhan setiap individu. Dalam penanganan tengkes, pendataan menjadi hal yang penting untuk memastikan target dan sasaran intervensi bisa tepat sasaran.
Pada kesempatan sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, capaian penurunan angka tengkes dari 2021 ke 2022 bukan hal mudah. Sebab, pada kurun waktu itu terjadi pandemi Covid-19. Meski begitu, keberhasilan penurunan tengkes itu sekaligus membuat semua pihak optimis mampu mencapai target penurunan tengkes hingga 14 persen.
”Masa pandemi bukan masa yang biasa, penurunan tengkes tidak mudah. Karena itu, pandemi sudah terkendali, jadi mudah-mudahan tahun ini lebih baik. Pada masa pandemi saja (tengkes) kita bisa turun,” ujarnya.
Persentase penurunan angka tengkes paling signifikan dilaporkan terjadi di lima provinsi, yakni Sumatera Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, dan Riau. Sementara penurunan jumlah kasus tengkes yang paling besar dilaporkan di Jawa Barat dan Jawa Timur. Namun, ada provinsi yang justru angka tengkesnya meningkat, yaitu Sulawesi Barat, Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Timur.
Budi menyampaikan, Kementerian Kesehatan terus berupaya untuk mempercepat angka penurunan tengkes melalui intervensi spesifik. Fokus utama yang diperkuat pada intervensi ibu hamil dan anak usia di atas enam bulan setelah pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif.
Ibu hamil dipastikan tidak mengalami anemia. Pemeriksaan masa kehamilan juga dilakukan dengan USG. Apabila ditemukan adanya hambatan pada pertumbuhan janin, intervensi pun bisa segera diberikan. ”Itu sebabnya, kami akan melengkapi 10.000 puskesmas dengan alat USG. Kita usahakan 10.000 puskesmas bisa memiliki USG. Sementara ini baru 5.000 puskesmas yang memiliki alat itu,” kata Budi.
Alat antropometri yang menjadi alat standar untuk mengukur berat dan tinggi anak juga akan dilengkapi di seluruh posyandu. Saat ini baru 100.000 posyandu yang memiliki alat ukur tersebut, sedangkan total posyandu di Indonesia mencapai 300.000. Ditargetkan, seluruh posyandu bisa memiliki antropometri pada 2023.
Budi menyampaikan, pemberian protein hewani juga akan lebih digalakkan pada anak berusia enam bulan ke atas yang sudah mendapatkan makanan pendamping ASI. ”Jadi, anak ini jangan dikasih karbohidrat biskuit, tetapi protein hewani. Itu artinya harus telur, ikan, daging, atau ayam, bukan karbohidrat, sayur, dan protein nabati,” tuturnya.
Edukasi
Presiden Joko Widodo menyampaikan, penyuluhan dan pemberian edukasi merupakan hal lain yang juga tidak kalah penting dalam upaya percepatan penurunan tengkes di masyarakat. Banyak masyarakat yang masih belum paham mengenai pemberian gizi yang baik untuk anaknya.
”Penyuluhan itu sangat penting. Kan yang dibutuhkan sekarang untuk anak ini protein (hewani). Malah dikasihnya makanan biskuit atau malah kopi susu saset. Hati-hati mengenai ini. Sekali lagi yang namanya penyuluhan penting,” katanya.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menambahkan, BKKBN melalui tim pendamping keluarga akan mendorong peningkatan edukasi di masyarakat. Namun, diakuinya, masih banyak warga menerapkan cara makan dan perilaku yang salah.
”Kita harus gerak cepat untuk edukasi. Cara makan kita itu banyak yang salah, perilaku kita juga ada salah. Misalnya sudah dibikinkan jamban, tetap ada yang masih buang air besar di sungai. Jadi pengetahuan, mindset (pola pikir), dan perilaku masyarakat itu menjadi tugas kita,” tuturnya.