Solusi dari Masyarakat Adat untuk Sistem Pangan Berkelanjutan
Agar umat manusia maju menuju dunia yang berkelanjutan dengan pasokan makanan yang aman, kita harus mengubah pola produksi dan konsumsi.
Sistem pertanian modern telah lama mengabaikan pengetahuan lokal masyarakat adat tentang cara terbaik memproduksi pangan ataupun mengonsumsinya. Padahal, banyak pengetahuan dan kebijaksanaan masyarakat adat di banyak daerah yang bisa menjawab pemenuhan pangan ke depan.
Saat ini produksi pangan menjadi pendorong terbesar hilangnya keanekaragaman hayati dan berkontribusi besar terhadap perubahan iklim dan polusi. Hal ini merupakan ”tiga krisis planet” yang harus diatasi jika umat manusia ingin menciptakan masa depan yang layak di planet ini.
Untuk mempertahankan produksi dan pola konsumsi, sumber daya alam, baik air, tanah, maupun sumber daya genetik, telah dieksplorasi hingga mendekati ambang batas. Dampaknya, petani di seluruh dunia menghadapi kenyataan bahwa tanaman pangan semakin seragam, tetapi cenderung kurang tahan terhadap hama dan penyakit. Tanah pun terdegradasi, sungai dan daerah aliran sungai tercemar, serta keragaman dan kelimpahan penyerbuk tanaman menurun drastis.
Keberagaman budidaya pangan menutupi penurunan panen jenis tanaman tertentu lewat jenis tanaman lain yang lebih tahan kekeringan ataupun penyakit.
Meskipun hasil panen masih meningkat, input pertanian yang dibutuhkan untuk mempertahankan produksi juga terus meningkat. Petani juga menghadapi ketergantungan pada benih dari pedagang. Situasi ini menyebabkan sistem pangan modern juga sangat tidak adil, dengan kekuasaan dan kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang dan perusahaan.
Sekalipun produksi pangan meningkat, kualitas pangan tidak membaik. Bahkan, kerawanan pangan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Laporan terbaru yang dikeluarkan sejumlah lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa menunjukkan, jumlah orang yang terkena kelaparan secara global meningkat menjadi 828 juta pada 2021, meningkat sekitar 46 juta sejak 2020 dan 150 juta sejak merebaknya pandemi Covid-19.
Data-data ini memberikan bukti baru bahwa dunia semakin menjauh dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk mengakhiri kelaparan, kerawanan pangan, dan malnutrisi dalam segala bentuknya pada 2030.
Menjadi seragam
Jalan pangan di seluruh dunia berubah drastis dalam satu abad terakhir dengan lahirnya Revolusi Industri yang kemudian disusul dengan Revolusi Hijau. Kekhawatiran bahwa laju pertambahan populasi lebih cepat dari pemenuhan pangan telah melahirkan gagasan untuk memilih tanaman yang dianggap paling produktif dan menguntungkan secara ekonomi.
Beragam tanaman yang sebelumnya dikembangkan berbagai komunitas di dunia mulai diseragamkan dengan dipilihnya sedikit spesies yang dianggap paling produktif dan menguntungkan. Sistem pertanian pun berubah menjadi monokultur.
Antara 1960-an dan 1980-an, gandum, beras, dan jagung mendominasi perdagangan internasional, menggantikan beragam spesies lokal dan regional. Dominasi biji-bijian ini didukung oleh introduksi varietas tanaman unggul dan perubahan praktik pertanian, seperti penggunaan mesin dan bahan kimia.
Baca juga: Pangan Berkelanjutan Berbasis Lokalitas
Di Indonesia, penyeragaman pangan diwujudkan dalam bentuk berasisasi, yang menggusur beragam tanaman lokal yang dikembangkan berbagai masyarakat tradisional di banyak daerah.
Dalam perspektif Revolusi Hijau, sistem pangan masyarakat tradisional kerap dianggap sebagai terbelakang dan tidak sesuai dengan prinsip produktivitas dan menguntungkan. Hal ini tecermin juga dalam pidato ahli agronomi Amerika Serikat Norman Borlaug, yang mempelopori Revolusi Hijau, saat menyampaikan pidato dalam Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1970. Menurut dia, Revolusi Hijau adalah solusi ”untuk menyembuhkan semua penyakit dari pertanian tradisional yang stagnan”.
Solusi lama
Belakangan, Revolusi Hijau telah dikritik menjadi sumber masalah dari situasi pangan dan lingkungan saat ini. Sekalipun produksi pangan meningkat, harga yang harus ditanggung lingkungan hidup sangat besar.
Agar umat manusia maju menuju dunia yang berkelanjutan dengan pasokan makanan yang aman, berbagai data saat ini dengan jelas menunjukkan bahwa kita harus mengubah pola makan, mengurangi limbah, mendiversifikasi sistem pangan, dan mengembangkan cara yang lebih ramah lingkungan dan ramah iklim.
Banyak studi menunjukkan, keragaman pangan, termasuk dalam budidaya tanaman, menjadi solusi paling efektif meningkatkan ketahanan pangan global maupun nasional. Misalnya, studi oleh Delphine Renard dkk (Nature, 2019) menemukan, makin beragam tanaman dibudidayakan, ketahanan pangan negara menguat. Jika perubahan iklim memicu krisis air, negara yang membudidayakan beragam tanaman mengalami penurunan risiko defisit pangan. Sebab, keberagaman budidaya pangan menutupi penurunan panen jenis tanaman tertentu lewat jenis tanaman lain yang lebih tahan kekeringan maupun penyakit.
Kisah tanaman pisang bisa menjadi contoh betapa pentingnya keberagaman hayati. Seperti diketahui, saat ini terdapat infeksi jamur Fusarium oxysporum, yang menghancurkan perkebunan pisang dunia yang saat ini didominasi varietas Cavendish. Namun, penyakit ini tidak banyak memengaruhi tanaman pisang di Afrika dan Asia Tenggara, di mana masyarakat lokal menanam ratusan varietas yang secara alami tahan terhadapnya.
Baca juga: Pangan Lokal untuk Kesehatan Diri dan Bumi
Alexandre Antonelli, Direktur Sains pada Royal Botanic Gardens, London, dalam tulisannya di Nature pada 10 Januari 2023 mengatakan, upaya untuk mencari kembali sumber makanan yang ramah iklim dan ramah lingkungan dapat berasal dari tanaman yang kurang dimanfaatkan dan kerabat liar dari berbagai tanaman pangan utama saat ini. Upaya itu untuk menemukan dan memanfaatkan sumber makanan tersebut harus dipandu oleh masyarakat yang telah lama menggunakannya, yaitu masyarakat adat.
”Solusi lama untuk masalah baru,” katanya.
Banyak studi di dalam dan luar negeri menunjukkan komunitas adat tinggal di daerah dengan keanekaragaman hayati tinggi, di mana hidup seimbang dengan alam adalah kunci untuk bertahan hidup. Mereka memiliki hubungan kuat dengan wilayah mereka dan menerapkan sistem dan praktik pengetahuan lokal untuk melindungi, mengatur, dan menggunakan sumber daya alam di wilayah ini.
Karena mata pencarian dan budaya masyarakat adat bergantung pada alam, mereka telah mengembangkan sistem dan praktik tata kelola mereka sendiri untuk melestarikan wilayah mereka, karena ini sangat terkait dengan identitas mereka. Pengelolaan kawasan tradisional, dengan menggunakan pengetahuan dan praktik masyarakat adat, terbukti berkelanjutan. Akibatnya, ekosistem dan spesies di wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat sering kali kurang terdegradasi daripada yang lain.
Guru Besar Departemen Perlindungan Tanaman IPB University Damayanti Buchori, Selasa (24/1/2023), mengatakan, pengetahuan tradisional yang dikembangkan masyarakat adat umumnya kaya kebijaksanaan dan menghargai alam.
Baca juga: Menghargai Kearifan Lokal
Dia mencontohkan sistem pertanian Subak di Bali, yang terbukti bisa menjaga keseimbangan alam, menekan serangan hama, dan menjaga sistem biogeokimia. ”Siklus nutrisi, termasuk pH (keasaman) tanah bisa terjaga dengan baik dengan sistem ini,” katanya.
Contoh lain, masyarakat nelayan di Indonesia timur, seperti Maluku, yang berhasil menjaga sumber daya laut mereka dengan sistem sasi, yaitu larangan untuk mengambil sumber daya laut tertentu pada waktu tertentu. ”Sistem sasi ini sangat paham ekologi dan populasi ikan. Kapan ikan berproduksi dan menjaga ikan yang belum bereproduksi,” ujarnya.
Sementara itu, di Petalangan, Riau, jika ada lebah liar yang bersarang di pohon sialang, maka dalam radius sekian kilometer tidak boleh ada perladangan dan menebang pohon. ”Jika lebah hutan mulai bersarang, dia butuh nektar dari tanaman sekitarnya. Dengan tidak membuka ladang di sekitar itu, mereka menjaga lebah tetap makan dari bunga-bunga di hutan,” katanya.
Di Karo, Sumatera Utara, ada sistem ngumbung, rebu, dan begu. Ngumbung artinya, begitu selesai panen, masyarakat dilarang ke ladang karena dianggap rebu atau tabu. ”Mitosnya ada spirit roh gaib yang akan ke ladang. Tapi, kalau dilihat dari sisi ekologi, setelah panen raya itu ada burung, tikus, dan biodiversitas lain untuk memakan sisa panen lain. Rantai makanan akan terjadi. Itu kesempatan manusia memberikan kesempatan pada alam,” ujarnya.
Baca juga: Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal
Ada banyak contoh pengetahuan lokal lain di masyarakat adat di Indonesia yang terbukti bisa menjadi penopang kebutuhan pangan mereka sendiri, sekaligus bisa menjaga lingkungan. Meski demikian, belakangan sistem pangan lokal ini mengalami degradasi, terutama karena kebijakan negara yang cenderung meminggirkannya.
Selama setengah abad terakhir, masyarakat adat di Indonesia banyak mengalami tekanan oleh kebijakan negara yang cenderung memandang rendah pengetahuan lokal mereka. Bahkan, hal ini masih terjadi sampai saat ini, misalnya dengan larangan berladang tradisional di Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah, dengan alasan praktik itu memicu kebakaran lahan dan hutan.
Padahal, selama ratusan tahun sistem perladangan gilir balik dengan membakar telah dijalankan berbagai kelompok etnik Dayak di Pulau Kalimantan. Selama itu pula sistem ekologi di Kalimantan bisa bertahan. Namun, kebakaran hutan dan lahan besar-besaran serta berulang di Kalimantan sebenarnya baru terjadi sejak 1997/1998, dimulai dengan proyek lahan gambut sejuta hektar yang kemudian diikuti konversi perkebunan sawit dalam skala besar.
Menurut Damayanti, pengetahuan lokal masyarakat adat lahir dari inovasi dan praktik adaptasi yang berlangsung selama bergenerasi untuk menjawab berbagai masalah lokal. Oleh karena itu, pengetahuan ini biasanya spesifik dan komtabel di lokal tertentu.
Pengetahuan lokal ini juga selalu berpikir tentang sistem dan erat dengan kebijaksanaan, yang justru kerap dilupakan oleh sains modern. ”Misalnya, tidak akan ada eksploitasi habis-habisan. Harus berbagi, termasuk dengan spesies lain. Ini sangat berbeda dengan Revolusi Hijau misalnya yang orientasinya produksi dan harus profit,” katanya.
Baca juga: Menghargai Pangan, Menghormati Manusia dan Alam
Kebijaksanaan dari masyarakat adat inilah yang saat ini harus kembali dicari dalam sistem pangan kita untuk mencapai keberlanjutan kehidupan di Bumi. Namun, sebagaimana diingatkan ahli biokomia Amerika Serikat kelahiran Rusia, Isaac Asimov, ”Aspek yang paling menyedihkan saat ini, sains menghasilkan pengetahuan lebih cepat dibandingkan masyarakat menghasilkan kebijaksanaan.”