Kemunculan Satwa Liar Kabar Baik bagi Ekosistem Mangrove
Butuh waktu tiga tahun untuk rehabilitasi ekosistem mangrove. Butuh puluhan tahun berikutnya untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove seperti sediakala.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemunculan sejumlah hewan liar, seperti buaya, monyet, kepiting, dan hewan lainnya, pada ekosistem mangrove di beberapa tempat menjadi kabar baik. Hal ini menjadi pertanda pulihnya biodiversitas asli yang sebelumnya ada di lingkungan yang rusak.
Hewan dan tanaman yang muncul di ekosistem mangrove cukup beragam, bergantung pada wilayahnya masing-masing. Di Suaka Margasatwa Muara Angke (SMMA), Jakarta, misalnya, buaya muara atau Crocodylus porosus dan burung air yang sebelumnya sempat hilang kini muncul kembali.
Pengendali Ekosistem Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) DKI Jakarta, Nani Rahayu, mengatakan, buaya muara sempat terlihat pada tahun 2017 dan muncul kembali pada awal 2023. Masifnya pembangunan Jakarta menyebabkan buaya dan burung air kehilangan tempat tinggal sehingga mereka perlu berpindah.
”Selain buaya dan burung air, ekosistem mangrove mulai regenerasi secara alami lagi,” ujar Nani seusai acara Ngobrol Santai Konservasi dan Penanaman Mangrove di Jakarta, Sabtu (21/1/2023).
Sejak 1998, upaya intervensi untuk rehabilitasi mangrove di kawasan SMMA diperbolehkan. Selama 25 tahun perawatan, ekosistem mangrove mulai pulih dengan sendirinya. Kawasan SMMA memiliki luas sebesar 25,02 hektar dan merupakan suaka margasatwa terkecil di Indonesia.
Adapun buaya muara merupakan salah satu hewan yang dilindungi bersama dengan 19 spesies burung di SMMA. Secara keseluruhan, di SMMA terdapat tujuh spesies mangrove sejati, satu spesies amfibi, 11 spesies reptil, 67 spesies burung, 12 spesies mamalia, dan enam famili ikan yang hidup berdampingan.
Ekosistem mangrove merupakan pertahanan terakhir yang ada di perbatasan darat dan laut. Keberadaan mangrove dapat membantu penanganan bencana, seperti gelombang tinggi dan abrasi.
Merujuk Peta Mangrove Nasional yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), kawasan mangrove Indonesia seluas 3.364.076 hektar pada 2021. Luasan itu terdiri dari mangrove lebat seluas 3,121.239 hektar (93 persen), mangrove sedang seluas 188.363 hektar (5%), dan mangrove jarang seluas 54.474 hektar (2%).
Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Muhammad Ilman menuturkan, langkah intervensi rehabilitasi mangrove idealnya dilakukan selama tiga tahun masa kritis ekosistem mangrove. Proses ini perlu diawasi dan dikendalikan secara ketat oleh pihak yang terlibat.
”Setelah melewati masa kritis, ekosistem mangrove dapat meregenerasi dirinya sendiri. Untuk proses pemulihan seutuhnya memerlukan waktu yang lebih panjang, sekitar 10-20 (tahun), bahkan puluhan tahun berikutnya,” ucapnya.
Ekosistem mangrove di setiap wilayah memiliki waktu yang berbeda-beda untuk pulih. Ini dipengaruhi faktor-faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal contohnya polusi, kandungan unsur hara, kondisi tanah, hama, dan tanaman pengganggu. Sementara faktor internal dinilai dari kecocokan jenis mangrove pada wilayah tertentu.
Menurut Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove KLHK Inge Retnowati, rehabilitasi mangrove secara umum memerlukan waktu penyesuaian. Waktu yang dibutuhkan minimal tiga tahun, setelah itu flora dan fauna akan mulai berdatangan karena kondisi ekosistem serta vegetasinya sudah mumpuni.
Hal itu merupakan salah satu manfaat ekosistem mangrove. Manfaat lainnya adalah menyaring polutan, menyimpan karbon, mencegah erosi, mengurangi dampak perubahan iklim, mendukung produktivitas perikanan, dan sebagai tempat pembibitan ikan ataupun invertebrata, seperti spons, kepiting, udang, siput, bintang laut, dan landak laut.
Ilman menilai, ekosistem mangrove merupakan pertahanan terakhir yang ada di perbatasan darat dan laut. Keberadaan mangrove dapat membantu penanganan bencana, seperti gelombang tinggi dan abrasi.
”Keberadaan ekosistem mangrove yang sehat dapat mengurangi kerentanan permukiman ataupun bangunan penduduk di daratan akibat bencana dari laut. Perannya yang cukup besar ini membutuhkan perhatian yang besar pula,” ujarnya.
Secara terpisah, Kepala Lembaga Riset Kebencanaan Ikatan Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) Heri Andreas menyebutkan, mangrove hanya efektif untuk mengurangi dampak abrasi (gempuran ombak) dan sebagai penangkap karbon. Kalau tsunami dengan ketinggian di atas 5 meter, mangrove tidak dapat berbuat apa-apa.
”Untuk rob juga kurang efektif karena sifatnya banjir pasang. Kenaikan permukaan air belum mampu dihalau dengan keberadaan ekosistem air,” ucapnya.