Gandung Bondowoso mengenang Nano Riantiarno sangat detail memperhatikan penyutradaraan, tata cahaya, dan sistem suara. Gandung menilai kedisiplinan itu khas mereka yang menimba ilmu di Akademi Teater Nasional Indonesia.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·3 menit baca
Gandung Bondowoso (69) menganggap Norbertus Riantiarno yang akrab disapa Nano sebagai tokoh teater realis. Kiprah itu bisa dimaklumi lantaran ia dimentori Teguh Karya, pemimpin Teater Populer. ”Nano penonjol realisme. Punya basis berbeda dengan grup-grup senior pada masanya,” kata Gandung yang bergabung dengan Teater Mandiri, saat dihubungi pada Jumat (20/1/2023).
Pendiri Teater Koma N Riantiarno meninggal dunia pada Jumat (20/1/2023) di Jakarta. Nano meninggal dalam usia 73 tahun karena sakit.
Meski kepiawaian Teguh mencetak film-film yang berkualitas tak diragukan lagi, Nano secara pribadi pernah menyatakan kepada Gandung bahwa dirinya tak nyaman beraksi di depan kamera. Beberapa rekan mereka memang menekuni film sekaligus teater.
”Nano enggak tertarik membuat film. Enggak bisa menikmati sama sekali. Nano meneruskan Teater Populer dengan sutradaranya, Teguh, pada tahun 1970-an,” kata Gandung. Meski sempat menggeluti film dengan Teguh, ia tak berkecimpung dalam perfilman sepeninggal sutradara legendaris tersebut.
”Nano sangat beruntung beristrikan Ratna yang saling mendukung. Pasangan luar biasa karena Nano enggak seintens Ratna mencari biaya,” ujarnya. Pementasan yang digelar Teater Koma membutuhkan dana sangat besar untuk memenuhi selera Nano. Gandung tak bisa membayangkan Teater Koma tanpa Ratna.
Ia mengetahui Nano telah berpulang pada Jumat (20/1/2023) pagi dari grup aplikasi percakapan sesama pegiat teater. Mereka terakhir bertemu di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ketika Nano mendampingi anaknya menyutradarai pementasan.
”Saya lupa waktunya. Yang jelas sebelum pandemi. Waktu itu, kami ngobrol di belakang panggung. Fisik Nano masih oke,” katanya. Gandung mengenang kebersamaannya ketika Nano menyutradarai dua pertunjukan Teater Koma pada tahun 1979 dan 1980.
Ia tak ingat judul pementasan-pementasan itu, tetapi masih mengingat koleganya itu yang sangat detail memperhatikan penyutradaraan, tata cahaya, dan sistem suara. Gandung menilai kedisiplinan tersebut khas mereka yang menimba ilmu di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).
”Waktu akhir 1960-an atau awal 1970-an, Nano di ATNI sebentar lalu ditarik Teguh dan bergabung dengan Teater Populer,” ucapnya. Nano amat menaruh perhatian terhadap rasionalisasi yang diimplementasikan dengan gerak dan ungkapan perasaan aktor sehingga tak pernah berlebihan.
Ia selalu mengontrol rasionalisasi tersebut. Kalaupun berlebihan, Nano memperhitungkannya untuk aktor-aktor yang melawak, tapi tidak demikian dengan Gandung. ”Menarik sekali. Kalau saya, aktor yang enggak bisa melawak. Nano menangani saya dengan penyutradaraan untuk akting serius,” ucapnya.
Sementara itu, Garin Nugroho memandang Nano bukan saja pegiat teater atau teaterwan. Ia juga membangun sejarah, penonton, dan sistem organisasi teater. Totalitas itu dinilai langka ditemukan pada manusia lain lewat konsistensi, dedikasi, dan kreativitas tanpa henti.
”Terbukti dengan sejarah panjang Teater Koma. Tak pernah titik karena kerja budayanya akan menjadi pustaka besar teater,” ujar sutradara kawakan tersebut. Terakhir, mereka bertemu saat mementori dan diskusi dengan para pelaku teater di Padang Panjang, Sumatera Barat. Saat itu, Nano masih tampak sehat.