Aktor dan Pendiri Teater Koma, Nano Riantiarno, Berpulang
Pendiri Teater Koma, Norbertus Riantiarno atau Nano Riantiarno, meninggal pada Jumat (20/1/2023). Nano meninggal pada usia 73 tahun.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pendiri Teater Koma, Norbertus Riantiarno atau Nano Riantiarno, meninggal pada Jumat (20/1/2023). Jenazah aktor kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 6 Juni 1949, ini menurut rencana akan dimakamkan di Taman Makam Giri Tama, Tonjong, Bogor, pada Sabtu, 21 Januari 2023.
Nano dirawat di Rumah Sakit Kanker Dharmais sejak 27 Desember 2022. Nano meninggal pada usia 73 tahun. Menurut anak pertama Nano, Rangga Riantiarno, setelah dirawat, ayahnya diperbolehkan pulang ke rumah pada Senin (16/1/2023).
”Kondisi secara perlahan menurun ketika diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Bapak diketahui menderita kanker setelah menjalani CT scan di Rumah Sakit Kanker Dharmais,” ujar Rangga di rumah duka, Sanggar Teater Koma, Jakarta Selatan.
Rangga mengatakan, sudah empat tahun ayahnya memiliki benjolan di paha kiri. Pada awal November, operasi untuk mengangkat benjolan tersebut sudah dijalani tetapi kondisi kesehatan Nano terus menurun, batuk-batuk, dan sesak napas.
”Bapak berkeinginan untuk menampilkan pementasan dengan naskah berjudul Matahari Papua tahun ini. Naskah ini menerima penghargaan dari Sayembara Penulisan Naskah Drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta pada Desember 2022,” kenang Rangga.
Beberapa tokoh yang tampak yang hadir di rumah duka di antaranya Sujiwo Tedjo, Mathias Muchus, Slamet Rahardjo Djarot, serta sejumlah aktor dan aktris senior lainnya.
Doa dan ucapan turut berdukacita mengalir kepada salah satu tokoh legenda teater Indonesia yang pernah mengenyam pendidikan di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) itu. Sejumlah karangan bunga dukacita tersusun rapi di depan halaman rumah duka.
”Sosok Nano di mata saya sebagai orang yang patut diteladani karena dia konsisten selalu menjawab semua persoalan dengan karya. Itu yang membuat saya kagum dengan beliau,” kata aktor Mathias Muchus.
Menurut dia, Nano adalah sosok yang terus menghasilkan karya yang terkait mengulas masalah realitas hidup dan kondisi sosial. ”Kepergian beliau membuat kita semua harus becermin kembali bagaimana seorang seniman di era sekarang ini. Selamat jalan Mas Nano,” tuturnya.
Konsisten berkarya
Berdasarkan laman resmi Ensiklopedia Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), Nano mendirikan Teater Koma pada 1 Maret 1977. Sepanjang kariernya, Nano tercatat mendapat sejumlah penghargaan berkat kiprah dan konsistensinya di panggung teater Indonesia. Tidak hanya membuat naskah teater, Nano juga pernah menulis buku kumpulan puisi, novel, hingga naskah film dan televisi.
Sosok Nano di mata saya sebagai orang yang patut diteladani karena dia konsisten selalu menjawab semua persoalan dengan karya. Itu yang membuat saya kagum dengan beliau.
Nano pernah meraih penghargaan Sayembara Penulisan Naskah Drama yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta tahun 1972, 1973, 1974, dan 1975. Selain itu, skenario filmnya yang berjudul Jakarta, Jakarta juga meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1978. Adapun naskah dramanya yang berjudul Semar Gugat pada tahun 1988 telah menerima penghargaan SEA Write Award dari Raja Thailand.
Aktor yang juga budayawan Sujiwo Tedjo mengungkapkan, sosok Nano adalah seniman teater yang pemberani, salah satunya seperti dalam pementasan Opera Kecoa yang dilakukan pada era pemerintahan Soeharto. Beberapa kali pementasannya dilarang oleh pemerintah kala itu. Namun, sosok Nano secara konsisten menampilkan kondisi sosial lalu mengungkapkannya dari panggung.
”Kita kehilangan sosok seni yang berani, yang menampilkan pertunjukan seni untuk sosial,” ujar Sujiwo.