Tinggi Orang Korea Selatan Meningkat Pesat, Mengapa Indonesia Tidak?
Rata-rata tinggi badan penduduk Korea Selatan meningkat secara pesat. Hal ini berkebalikan dengan tinggi rata-rata penduduk Indonesia yang justru cenderung stagnan. Apa faktor penyebabnya?
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Selama satu abad sejak 1896 sampai 1996, pertumbuhan tinggi badan pada penduduk Korea Selatan merupakan yang paling pesat di dunia. Bahkan, hal itu menjadikan Korea Selatan sebagai bangsa yang paling tinggi di Asia.
Pesatnya peningkatan tinggi badan penduduk Korea Selatan berkisar 15-20 sentimeter yang disampaikan dokter spesialis ortopedi, Asa Ibrahim, dalam utasannya di Twitter ini menjadi perbincangan warganet.
Dari studi yang dipublikasi pada 2016 berjudul ”A Century of Trends in Adult Human Height”, peningkatan tinggi badan penduduk di Jepang hampir mencapai 10 sentimeter dalam rentang waktu 40 tahun dari 1965 sampai 2005. Pada 1965 tercatat, tinggi badan rata-rata pada penduduk laki-laki 165,9 cm. Itu meningkat menjadi 173,1 cm pada 2005.
Peningkatan juga terjadi pada penduduk perempuan. Pada 1965 tercatat tinggi badan rata-rata pada perempuan 155 cm, kemudian meningkat menjadi 160,2 cm pada 2005.
Namun, pertumbuhan tinggi badan di Indonesia tercatat stagnan. Data menunjukkan, rerata tinggi badan usia dewasa dari 1985 hingga 2019 hanya bertambah 5 cm. Pada 1985, tinggi rerata penduduk laki-laki dewasa 161,6 cm dan perempuan 150,1 cm. Tinggi badan tersebut meningkat pada 2019 menjadi 166,3 cm pada laki-laki dan 154,4 cm pada perempuan.
”Di Korea, juga di Jepang dan Belanda, mencapai peningkatan tinggi badan optimal diakibatkan konsumsi protein yang meningkat dari masa ke masa yang didukung oleh suplai makanan yang melimpah,” ujar peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Kencana Sari, di Jakarta, Kamis (19/1/2023).
Kondisi tersebut justru berkebalikan dengan Indonesia. Konsumsi protein hewani dan nabati sebesar satu banding tiga. Selain itu, konsumsi susu di Indonesia juga masih sangat rendah, yakni 16,3 kilogram per kapita per tahun. Dibandingkan dengan Jepang, konsumsi susu pada penduduk tersebut mencapai 200 kg per kapita per tahun.
Atas dasar itu, kian menguatkan bahwa faktor genetik hanya berpengaruh kecil pada tinggi badan seseorang. ”Walaupun tinggi badan bersifat keturunan, tetapi dari 200 gen lebih yang terdeteksi dalam berbagai penelitian genomik hanya 10 persen yang menjelaskan hubungan dengan tinggi badan,” tutur Kencana.
Peran faktor nongenetik, seperti asupan gizi, penyakit, dan lingkungan jauh lebih besar memengaruhi tinggi badan seseorang. Oleh sebab itu, Indonesia seharusnya juga bisa berpotensi mengalami peningkatan rata-rata tinggi badan pada penduduknya.
Walaupun tinggi badan bersifat keturunan, tetapi dari 200 gen lebih yang terdeteksi dalam berbagai penelitian genomik hanya 10 persen yang menjelaskan hubungan dengan tinggi badan.
Tinggi badan penduduk di suatu bangsa secara tidak langsung bisa dipengaruhi pula oleh situasi ekonomi, politik, kualitas kesehatan, pendidikan, budaya, serta sistem ketahanan pangan yang terjadi di negara tersebut. Ketika kondisi perekonomian suatu negara sedang krisis, angka kemiskinan cenderung bertambah. Tingkat inflasi pun meningkat.
Tingkat inflasi tersebut secara tidak langsung bisa juga berpengaruh pada status gizi masyarakat. Itu terjadi karena daya beli yang berkurang. Sementara di Indonesia, beberapa kali mengalami berbagai krisis.
”Tinggi badan bisa menjadi prediktor dari kondisi kemajuan ekonomi dan lingkungan secara jangka panjang di suatu daerah,” kata Kencana.
Menurut dia, sistem ketahanan pangan di Indonesia yang kurang baik juga berpengaruh pada kecukupan gizi masyarakat. Harga pangan di Indonesia jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga. Hal tersebut terutama untuk harga pangan protein hewani, seperti daging, ayam, maupun susu. Jenis pangan tersebut dianggap sebagai pangan yang mahal dan sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat.
”Padahal, untuk tumbuh diperlukan konsumsi protein hewani yang memadai. Namun, kenyataannya konsumsi protein pada anak di Indonesia sangat rendah dan tidak mencapai angka kecukupan yang dianjurkan,” tuturnya.
Protein hewani
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mencatat, konsumsi daging di Indonesia jauh di bawah rata-rata dunia, baik untuk konsumsi daging ayam, sapi, babi, maupun domba.
Pada tahun 2021, konsumsi daging ayam di Indonesia sebesar 8,1 kg per kapita, sementara rata-rata dunia 14,9 kg per kapita. Untuk rata-rata konsumsi daging sapi di Indonesia 2,2 kg per kapita, sedangkan di dunia 6,4 kg per kapita.
Staf Pengajar Departemen Ilmu Gizi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Yohannessa Wulandari, menyampaikan, asupan protein hewani amat penting untuk mengoptimalkan tinggi badan seseorang. Asupan protein hewani harus dipastikan tercukupi mulai dari 1.000 hari pertama kehidupan, yakni sejak bayi dikandung hingga usia dua tahun. Kecukupan asupan protein hewani tersebut juga perlu diperhatikan selama masa pertumbuhan.
Seseorang masih bisa mengalami pertumbuhan yang optimal hingga usia remaja sebelum pubertas terjadi. Adapun rata-rata masa akhir pubertas pada remaja perempuan pada usia 13-15 tahun, sementara pada laki-laki berusia 15-17 tahun. Protein hewani berupa ikan, ayam, daging, dan telur harus tersedia pada setiap porsi makan anak.
Karena itu, pemerintah pun diharapkan bisa memudahkan masyarakat untuk mengakses protein hewani dengan harga yang terjangkau. Program khusus pun bisa dilakukan untuk memastikan ibu hamil dan anak bisa mendapatkan asupan protein hewani yang cukup.
Yohannessa menyampaikan, tinggi badan seseorang yang tidak optimal bisa disebabkan juga oleh persoalan lain seperti gangguan hormon ataupun penyakit. Untuk itu, orangtua diharapkan bisa segera memeriksakan kondisi anaknya apabila tinggi badan anak lebih pendek dibandingkan dengan teman sebayanya atau tidak sesuai dengan garis pertumbuhan.
”Asupan nutrisi yang optimal, terutama asupan protein hewani, sangat penting untuk mencapai potensi tinggi badan yang optimal dari seseorang. Pastikan kecukupan protein hewani ini dipenuhi sejak 1.000 hari pertama kehidupan hingga remaja,” ujarnya.