”Perdamaian” dalam Kasus di Brebes Melanggengkan Kekerasan Seksual
Perlindungan terhadap korban pemerkosaan hingga kini menjadi tantangan. Bukannya melindungi, sejumlah pihak malah mendorong ”perdamaian” dengan pelaku yang justru menghilangkan hak korban untuk mendapat keadilan.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
KOMPAS/AGUIDO ADRI
SM (45), pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, berserta barang bukti yang disita Polres Metro Depok, Senin (15/6/2020).
Penyelesaian kasus pemerkosaan secara ”damai” baik dengan paksaan maupun sukarela bukan solusi terbaik. Selain mencederai rasa keadilan sang korban, upaya ”damai” yang tidak disertai proses hukum terhadap pelaku juga akan melanggengkan praktik kekerasan seksual karena tidak ada efek jera pada pelaku.
Karena itu, masyarakat, terutama korban dan keluarga korban pemerkosaan, harus diingatkan agar jangan pernah menempuh upaya ”damai” dengan jalan apa pun. Sebab, pemerkosaan adalah bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang pelakunya harus diproses hukum, kecuali pelaku anak diproses hukum sesuai sistem peradilan pidana anak.
Maka, upaya damai apalagi dilakukan dalam tekanan atau paksaan dan ancaman seperti yang terjadi dalam kasus pemerkosaan anak 15 tahun di Brebes, Jawa Tengah, oleh enam pelaku, mesti dihentikan oleh siapa pun yang mengetahuinya, bukan malah memberikan dukungan.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyatakan keprihatinan mendalam karena proses penyelesaian kasus pemerkosaan yang berakhir damai setelah proses mediasi oleh salah satu lembaga swadaya masyarakat.
”Proses ’damai’ yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual mencederai rasa keadilan korban. Tidak ada kasus kekerasan seksual yang boleh diselesaikan secara damai dan tidak diproses secara hukum karena jelas bertentangan dengan undang-undang,” ujar Bintang Darmawati di Jakarta pada Kamis (19/1/2023).
Proses damai yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual mencederai rasa keadilan korban.
Kementerian PPPA mengapresiasi kepolisian dan pihak terkait yang menangkap terduga pelaku untuk diproses secara hukum. Kepolisian diminta menuntaskan kasus tersebut. Hal ini sejalan dengan perintah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Pasal 23 bahwa TPKS tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Proses hukum juga harus berlanjut karena dalam Pasal 76D UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jo Pasal 6 Ayat (1) jo Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ditegaskan persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual secara fisik terhadap anak bukanlah delik aduan, tetapi delik biasa.
”Berpedoman pada UU Perlindungan Anak dan UU TPKS, polisi dapat memproses informasi adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak tanpa harus menunggu adanya laporan dari pelapor atau korban kepada polisi,” ujar Bintang Darmawati.
Penegasan tersebut disampaikan Menteri PPPA karena berdasarkan informasi proses damai antara keluarga korban dan keluarga enam terduga pelaku dilakukan melalui mediasi di rumah kepala desa.
Surat damai yang dihasilkan dari mediasi itu berisi perjanjian bahwa korban tidak akan melaporkan peristiwa tersebut ke polisi. Sebagai imbalannya, korban mendapat sejumlah uang dari enam terduga pelaku. Namun, berdasarkan informasi, korban tidak menerima utuh dari jumlah dana yang disepakati.
Selain menghukum pelaku, pemerintah daerah juga diharapkan memastikan perlindungan khusus anak dengan melakukan pendampingan pemulihan psikis dan pemenuhan hak korban lainnya. Menteri PPPA meminta agar penanganan kasus pemerkosaan di Brebes, termasuk korban dan pelaku usia anak, mengedepankan kepentingan terbaik dari anak.
Kementerian PPPA terus mengimbau kepada warga agar berani bersuara dan melaporkan kekerasan yang dialami, dilihat, ataupun didengar. Masyarakat yang mendengar, melihat, atau mengetahui ada tindak kekerasan, dapat melaporkannya ke hotline layanan pengaduan Kementerian PPPA, yaitu Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) melalui call center 021-129, atau Whatsapp 08111-129-129.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Pelajar dari berbagai wilayah di Sumatera Barat menggelar aksi solidaritas menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia di kawasan Jalan Sudirman Kota Padang, Minggu (25/5/2014). Lewat aksinya, mereka mengajak warga untuk ambil bagian dalam upaya perlindungan terhadap anak-anak dari tindakan asusila.
Memupuk kekerasan
Deputi Chief of Program Impact Creation, Save the Children Indonesia, Tata Sudrajat mengingatkan bahwa dengan mendamaikan pelaku dan korban, sebenarnya masyarakat sedang memupuk kekerasan demi kekerasan.
Pelaku yang didamaikan dengan korban/keluarga diusir atau dikawinkan kemungkinannya akan memangsa anak-anak lain. Ini mengapa kekerasan seksual terus terjadi dan meluas karena sedikit pelaku yang dipidana. (Tata Sudrajat)
Pembiaran para pelaku tidak diproses hukum mengabaikan rasa keadilan bagi korban. Untuk itu, pelaku kekerasan seksual harus diproses dan dipidana sesuai ketentuan undang-undang yang berlaku. ”Bukan hanya adil kepada korban, tetapi hal ini juga akan turut menyelamatkan anak-anak lain dan masyarakat keseluruhan,” ujar Tata.
Sejauh ini upaya penyelesaian secara ”damai” kasus-kasus kekerasan seksual sebenarnya kerap terjadi di masyarakat. Bahkan, dalam banyak kasus kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, selain didamaikan, cara lain adalah dikawinkan atau pelaku diusir dari masyarakat.
Hal itu dinilai bukan cara yang baik untuk mengatasi masalah kekerasan seksual. Sebagian masyarakat ingin cepat menyelesaikan masalah, tetapi tidak menghormati korban, dan tidak memikirkan dampak jangka panjang yang akan dialami perempuan korban.
Hal ini disebabkan dalam banyak kasus, terutama ketika perempuan korban dinikahkan dengan pelaku sehingga perempuan sebagai korban akan mendapat kekerasan lanjutan. ”Bagaimana mungkin mereka hidup dengan laki-laki yang jadi pemerkosanya? Pelecehan seksual merupakan tindakan berdampak panjang, bisa seumur hidup, anak-anak kehilangan hak-hak dan tumbuh kembangnya,” ujar Tata.
Oleh karena itu, secara ekologis, orangtua, keluarga, dan masyarakat memiliki tanggung jawab dan peran untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan. Selain harus mengurangi risiko kekerasan pada anak, masyarakat juga harus menjadi pelindung bagi anak-anak.
Melaporkan segala bentuk kekerasan pada anak, apalagi kekerasan seksual, dan mendukung layanan rehabilitasi bagi anak, merupakan tindakan mulia untuk kepentingan terbaik anak.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Polisi menghadirkan para tersangka saat ekspose kasus di Markas Besar Kepolisian Daerah Lampung, Rabu (23/3/2022). Empat pelaku yang ditangkap merupakan tersangka kasus pelecehan seksual berbasis daring.
Pengetahuan minim
Koordinator Advokasi Kebijakan Pengurus Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Indonesia Ratna Batara Munti menilai, masih terjadinya upaya mendamaikan pelaku dan korban menunjukkan banyak warga belum mengetahui UU TPKS—yang mengatur TPKS tidak bisa diselesaikan di luar pengadilan.
Karena itu, upaya pemaksaan dan ancaman kepada korban dan keluarga untuk berdamai yang melibatkan lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah desa patut dipersoalkan, apalagi dilakukan di rumah kepala desa. ”Ketika korban mau melaporkan lalu ada tekanan, itu menghalangi hak korban dan upaya hukum yang akan ditempuh korban,” kata Ratna.
Karena itu, sikap kepolisian Brebes yang tegas menyampaikan kepada masyarakat untuk melaporkan kasus pemerkosaan tersebut patut diapresiasi. Sebab, itu berarti polisi tidak berada di pihak yang membenarkan perdamaian.
Artinya, polisi tahu itu bukan satu pilihan yang baik buat korban perdamaian itu, justru menyerukan agar dilaporkan. Itu suatu dukungan dari polisi. Apa yang dilakukan kepolisian Brebes perlu patut diapresiasi karena polisi berdiri untuk korban, apalagi anak-anak. (Ratna Batara Munti)
Meski demikian, Ratna mengungkapkan, dukungan serupa harus diberikan kepada perempuan dewasa yang menjadi korban. Dukungan terhadap para perempuan korban amat penting agar para korban mendapat keadilan. Jadi, semua pihak mesti mendorong proses hukum agar pelaku diadili dan dihukum. Hal ini sangat berarti bagi korban dalam mendapatkan keadilan.