Ketimbang Puasa Intermiten, Mengurangi Kalori Lebih Efektif Turunkan Berat Badan
Hasil studi menunjukkan, puasa intermiten atau pengaturan waktu saat awal hingga terakhir makan tidak terlalu signifikan dalam menurunkan berat badan. Mengurangi total kalori merupakan strategi yang lebih efektif.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Hasil studi menunjukkan bahwa puasa intermiten atau pengaturan waktu saat awal hingga terakhir makan tidak terlalu signifikan dalam menurunkan berat badan. Mengurangi total kalori merupakan strategi manajemen berat badan yang lebih efektif dibandingkan puasa intermiten.
Hasil studi para peneliti dari Fakultas Kedokteran John Hopkins University, Amerika Serikat, tersebut telah dipublikasikan di Journal of American Heart Association, 18 Januari 2023. Dalam studi ini, para peneliti menganalisis catatan kesehatan elektronik sekaligus memantau interval waktu dari makan pertama hingga terakhir.
Profesor di Fakultas Kedokteran John Hopkins University yang juga salah satu penulis studi ini, Wendy L Bennett, mengatakan bahwa pola makan yang dibatasi waktu atau dikenal sebagai puasa intermiten sangat ketat.Namun, membatasi waktu makan total di siang hari belum diketahui apakah dapat membantu mengendalikan berat badan.
Studi terbaru ini tidak mendeteksi adanya kaitan puasa intermiten dengan penurunan berat badan dalam satu kelompok besar dengan berbagai jenis kategori berat badan.
Para peneliti kemudian mengevaluasi hubungan antara waktu makan pertama hingga terakhir dan perubahan berat badan. Studi ini melibatkan sebanyak 550 subyek penelitian yang berusia lebih dari18 tahun dari tiga sistem kesehatan di Maryland dan Pennsylvania dengan catatan kesehatan elektronik terdaftar dalam penelitian ini.
Secara keseluruhan, mayoritas peserta yakni 80 persen adalah orang dewasa kulit putih, sisanya orang kulit hitam dan keturunan Asia. Suku dan ras seseorang merupakan salah satu parameter saat melakukan analisis dalam studi ini.
Selain itu, sebagian besar peserta melaporkan berpendidikan perguruan tinggi,berusia rata-rata 51 tahun, dan indeks massa tubuh rata-rata adalah 30,8 atau dianggap obesitas. Waktu tindak lanjut rata-rata untuk berat badan yang dicatat dalam catatan kesehatan elektronik adalah 6,3 tahun.
Tim peneliti kemudian membuat aplikasi seluler, yakni Daily24, bagi para peserta untuk membuat katalog waktu tidur, makan, dan bangun untuk setiap rentang waktu 24 jam. Berbagai pemberitahuan dalam Daily24 mendorong peserta untuk menggunakan aplikasi ini sebanyak mungkin selama bulan pertama.
Berdasarkan waktu tidur dan makan setiap hari yang tercatat di aplikasi seluler, peneliti dapat mengukurwaktu dari makan pertama sampai terakhir setiap hari. Peneliti juga dapat melihat selang waktu dari bangun hingga makan pertamadaninterval dari makan terakhir hingga subyek penelitian tersebut tidur.
Setelah dianalisis, peneliti menemukan bahwa waktu makan tidak ada kaitannya dengan perubahan berat badan selama periode pemantauan enam tahun. Ini termasuk berbagai interval dari makan pertama hingga terakhir, dari bangun hingga makan pertama, dari makan terakhir hingga tidur, dan total durasi tidur.
Peneliti juga menemukan bahwa jumlah total makan besar setiap hari dengan total lebih dari 1.000 kalori dan makanan sedang (500-1.000 kalori) berkaitan dengan peningkatan berat badan selama enam tahun pemantauan.Sementara mengonsumsi makanankurang dari 500 kalori memiliki dampak signifikan terhadap penurunan berat badan.
Bennet menyatakan, penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa puasa intermiten dapat meningkatkan ritme tubuh dan mengatur metabolisme. Namun, hasil studi terbaru ini tidak mendeteksi adanya kaitan puasa intermiten dengan penurunan berat badan dalam satu kelompok besar dengan berbagai jenis kategori berat badan.
”Uji klinis skala besar dan ketat dari puasa intermiten pada perubahan berat badan jangka panjang sangat sulit dilakukan. Namun, bahkan studi intervensi jangka pendek mungkin berharga untuk membantu memandu rekomendasi di masa mendatang,” katanya.
Di Zhao, peneliti di divisi epidemiologi kardiovaskular dan klinis di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg mengatakan, temuan dari studi ini tidak dapat membuktikan sebab dan akibat langsung terkait faktor risiko terkuat dalam peningkatan berat badan seseorang. Sebab, penelitian ini bersifat observasional.
Peneliti mencatat ada keterbatasan penelitian karena mereka tidak mengevaluasi interaksi yang kompleks dari waktu dan frekuensi makan. Oleh karena itu, studi ke depan sangat penting untuk memasukkan populasi yang lebih beragam karena mayoritas peserta studi ini adalah wanita kulit putih berpendidikan tinggi di wilayah Atlantik tengah, Amerika Serikat.