Pemanfaatan Konstruksi Kayu Ramah Lingkungan Bisa Tekan Emisi Karbon
Pemanfaatan bahan dasar kayu untuk konstruksi bangunan sering dianggap merusak hutan dan berkontribusi pada dampak krisis iklim. Padahal, kayu bersifat ramah lingkungan karena dapat menyerap emisi karbon.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan konstruksi kayu dapat menawarkan emisi gas rumah kaca atau GRK yang lebih rendah ketimbang penggunaan material lainnya seperti beton, baja, dan aluminium. Kayu bersifat ramah lingkungan karena dapat menyerap emisi karbon dan berasal dari sumber berkelanjutan jika dikelola dengan baik. Namun, pemanfaatannya hingga kini masih sering dianggap penyebab kerusakan hutan dan berkontribusi pada dampak krisis iklim.
Menurut dosen Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Lina Karlinasari, konstruksi bangunan berbahan dasar kayu memiliki efek positif terhadap lingkungan dibandingkan dengan konstruksi bangunan pada umumnya seperti dari baja dan beton. Sayangnya, penggunaan material kayu dalam konstruksi bangunan justru sedikit sekali digunakan.
”Padahal, kayu adalah bahan baku yang dapat diperbaharui karena kayu yang sudah tidak produktif dapat didaur ulang melalui tebang dan tanam. Namun, kenyataannya material kayu masih sedikit sekali digunakan dalam konstruksi bangunan pada umumnya,” katanya saat diskusi Pojok Iklim Kontribusi Perizinan Berusaha Pengolahan Hasil Hutan dalam Pengurangan Emisi secara daring, di Jakarta, Rabu (18/1/2023).
Lina mengungkapkan, dampak emisi GRK dari konstruksi bangunan yang didominasi kayu dibandingkan beton dan baja memiliki selisih yang cukup besar. Kayu lebih rendah dampak emisi karbon yang dihasilkan dengan selisih 26 persen dibandingkan dengan baja, sedangkan beton memiliki selisih 31 persen.
Dalam laporan majalah The Economist, beton yang terbuat dari campuran semen, pasir, air, dan batu kerikil dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam jumlah besar. Dari 5 miliar ton produksi semen per tahun, menyumbang 8 persen dari total emisi karbon yang berbahaya. (Kompas.id, 19/11/2021).
Menurut Lina, saat ini terus berkembang teknologi dan rekayasa untuk memperbaiki sifat material kayu. Material kayu yang telah direkayasa itu akan menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Limbah industri kayu
Selain untuk kebutuhan konstruksi, saat ini juga terjadi tren peningkatan penggunaan kayu sebagai biomassa untuk kebutuhan energi. Hal ini disebabkan kendala pasokan bahan baku dan bahan bakar yang tidak terbarukan, seperti batubara, gas alam, dan minyak.
Industri pengolahan hasil hutan kayu juga dapat berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi karbon. Menurut Lina, limbah kayu yang dihasilkan dalam perizinan berusaha pengolahan hasil hutan (PBPHH) berupa potongan-potongan kayu yang tidak terpakai.
Meskipun tidak terpakai, sebenarnya dapat dimanfaatkan kembali sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan. Salah satunya woodpellet atau pelet kayu yang dapat sebagai bahan bakar yang dipakai sebagai pengganti atau bersama batubara pada pembangkit listrik tenaga uap maupun tungku industri.
Menurut Kepala Subdirektorat Pemolaan dan Pengolahan Hasil Hutan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sudarmalik, diperkirakan total limbah industri PBPHH mulai dari skala besar, kecil, dan menengah mencapai 12,3 juta ton meter kubik per tahun. Limbah industri seperti kulit dan sisa kayu sebagai bahan bakar dapat mengurangi penggunaan bahan bakar tidak terbarukan.
Potensi jumlah limbah kayu hasil produksi dapat memenuhi kebutuhan bahan bakar dari boiler dan layak digunakan. Dengan memprediksi total limbah industri kayu itu, diharapkan dapat mendorong peningkatan efisiensi produksi untuk mengurangi limbah industri.
”Diharapkan limbah kayu itu bisa menjadi bahan bakar alternatif seperti pelet kayu. Perlu inovasi dalam menghasilkan alternatif sumber energi itu, baik dari biomassa maupun tenaga surya, sehingga dapat digunakan kembali menjadi energi listrik,” katanya.