Tumbuhnya rambut di wajah atau berewok hanya dialami laki-laki. Jika perempuan memilikinya, itu kelainan. Perbedaan terjadi karena jumlah dan aktivitas hormon androgen pada laki-laki dan perempuan setelah puber berbeda.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Salah satu masalah yang dihadapi Pangeran Harry (38), pemegang takhta kelima Kerajaan Britania Raya yang terungkap dalam memoarnya, Spare, yang diterbitkan pekan lalu adalah soal cambang alias berewok. Gara-gara berewok, Harry bertengkar dengan kakaknya, William, yang menginginkan sang adik mencukur cambangnya.
Berewok atau rambut yang tumbuh di wajah di pinggir pipi hingga menutupi dagu umumnya menjadi masalah laki-laki. Pertumbuhan rambut yang sering menutupi wajah bagian bawah itu dipicu oleh hormon androgen, yaitu hormon seks yang mendorong perkembangan sifat pada laki-laki. Hormon ini hanya menumbuhkan berewok pada laki-laki, tidak pada perempuan.
Namun, 5-10 persen perempuan memiliki rambut di wajah mereka, baik dalam bentuk cambang atau kumis. Perempuan yang memiliki rambut di wajah itu justru dianggap mengalami kelainan, yaitu hirsutisme. Kelainan hormon androgen ini, dikutip dari Healthline, 13 Mei 2022, juga bisa memicu tumbuhnya rambut pada perut, dada, dan tangan perempuan.
Lantas, mengapa androgen yang memicu tumbuhnya rambut pada wajah laki-laki dianggap normal dan pada perempuan justru menjadi masalah? Semua itu terjadi karena pertumbuhan rambut di kulit manusia ternyata tidak sederhana, bervariasi berdasarkan jender dan usia.
Tempat tumbuhnya rambut pada kulit, bukan hanya di kepala atau wajah, disebut sebagai folikel. Pertumbuhan rambut pada semua folikel itu, seperti dikutip dari Livescience, 14 Juni 2022, dipicu oleh hormon androgen.
Namun, androgen itu ternyata memacu pertumbuhan rambut di tempat tertentu dan juga menahan pertumbuhan rambut di tempat yang lain yang memicu terjadinya kebotakan. Androgen juga membuat munculnya rambut di bagian tubuh tertentu lebih lambat dibanding bagian tubuh yang lain, seperti tumbuhnya rambut di lubang telinga yang biasanya muncul beberapa tahun setelah tumbuhnya berewok.
Cara kerja hormon androgen pada folikel yang tidak seragam itu belum sepenuhnya dipahami ilmuwan. ”Persoalan ini masih cukup menantang bagi ilmuwan untuk bisa menjelaskannya secara meyakinkan,” kata konsultan bedah plastik dan tangan di Pusat Bedah Plastik dan Luka Bakar St Andrew, Inggris, dan profesor tamu di Universitas Anglia Ruskin, Inggris, Ben Miranda.
Sebelum puber, folikel rambut di tubuh telah menghasilkan rambut vellus, yaitu tipe rambut pendek, tipis, dan halus yang kadang tumbuh di tangan perempuan. Memasuki masa puber, laki-laki dan perempuan sama-sama menghasilkan lebih banyak androgen, baik dari jenis testosteron dan dihidrotestosteron. Namun, tubuh laki-laki menghasilkan androgen lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Hormon androgen itu merangsang folikel atau lubang rambut untuk menumbuhkan rambut yang lebih gelap dan lebih tebal dari rambut vellus dan dinamakan rambut menengah (intermediate). Tipe rambut menengah ini memiliki tekstur halus yang biasanya tumbuh di atas bibir dan menjadi kumis pertama yang muncul pada anak laki-laki sesudah puber.
Seiring bertambahnya waktu, androgen menstimulasi folikel untuk memproduksi rambut yang lebih tebal dan makin gelap lagi bernama rambut terminal. Tipe rambut ini sama dengan rambut yang ada pada kulit kepala.
Menurut Miranda, hormon androgen mendorong pertumbuhan rambut pada folikel itu dengan menambah waktu pertumbuhan rambut. Dengan demikian, fase pertumbuhan rambut menjadi lebih optimal sebelum folikel akhirnya menghadapi fase rontok atau fase istirahatnya.
Pada perempuan, pertumbuhan rambut itu juga berubah sesudah masa pubertas, tetapi tidak sedramatis atau secepat pertumbuhan rambut pada laki-laki. Sesudah masa puber itu, folikel rambut wajah di dekat telinga perempuan bertransformasi dari rambut vellus ke rambut menengah, sedang rambut di ketiak dan kemaluan perempuan berubah jadi rambut terminal.
Meski penambahan jumlah hormon androgen setelah pubertas akan memancing pertumbuhan rambut, ternyata kerja androgen terhadap folikel sangatlah kompleks, tidak seragam. Pada beberapa kasus, seperti di folikel kulit kepala yang memicu tumbuhnya rambut kepala, kerja androgen pada folikel kulit kepala justru berlawanan dengan pola kerja pada folikel bagian tubuh yang lain.
Jika pada folikel tubuh yang lain androgen memicu perubahan dari rambut vellus ke rambut menengah dan rambut terminal, androgen pada folikel kulit kepala justru memicu rambut terminal menjadi rambut perantara, kemudian bertransisi ke rambut menengah, hingga akhirnya ke rambut vellus.
Salah satu metode utama mengatasi kebotakan adalah dengan transplantasi folikel.
Pola kerja terbalik androgen pada kulit kepala itu memicu alopesia androgenik alias kebotakan pada laki-laki. Secara genetika, tidak semua laki-laki rentan terhadap kebotakan. Namun, laki-laki yang rentan botak secara genetika umumnya mengalami penipisan rambut dari bagian depan kulit kepala. Seiring bertambahnya usia, penipisan rambut itu akan merayap ke belakang hingga membentuk kebotakan pada rambut bagian atas.
”Inilah yang aneh. Mengapa folikel di kulit kepala di satu bagian tertentu peka terhadap androgen (hingga menumbuhkan berewok), tetapi di bagian kepala yang lain di dekatnya (bagian rambut kepala) justru androgen tidak sensitif? Ini belum dipahami,” kata Miranda.
Meski demikian, jika dilakukan transplantasi folikel pada daerah yang mengalami kebotakan atau tidak sensitif terhadap andrigen tersebut, rambut tetap bisa tumbuh. Padahal, sebelumnya, di tempat yang sama dengan folikel yang terdahulu, androgen gagal menumbuhkan rambut.
Karena inilah salah satu metode utama mengatasi kebotakan adalah dengan transplantasi folikel. Meski dokter-dokter di Indonesia sudah mampu melakukan transplantasi ini, beberapa waktu lalu marak sejumlah selebritas laki-laki melakukan transplantasi folikel rambut di Turki.
Meski keberhasilan transplantasi folikel rambut tinggi, Miranda mengakui perilaku pertumbuhan rambut di folikel tetap sulit dipahami. Gen di setiap folikel sama, tetapi kontrol terhadap akivitas gen atau epigenetik-nya berbeda.
Kondisi ini diduga terjadi akibat rumitnya sistem persinyalan sel atau sistem instruksi molekuler yang menyebabkan folikel tumbuh, istirahat, atau justru luruh. ”Perbedaan epigenetik, pengaturan sinyal untuk mendorong kerja androgen dan perbedaan paparan eksogen dengan lingkungan berbeda memicu perbedaan kerja hormon androgen,” katanya.
Meski pola kerja hormon androgen rumit, hormon inilah yang membuat laki-laki memiliki cambang, sedangkan perempuan tidak. Namun, itu bukanlah kerugian bagi perempuan karena secara biologis, rambut yang tumbuh pada wajah laki-laki dalam bentuk cambang atau kumis itu tidak memiliki manfaat apa-apa.