Banjir Terus Terjadi, Masyarakat Kendeng Surati Presiden
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo melalui Kantor Staf Presiden akibat banjir yang terus melanda setiap tahun dan merugikan warga Kendeng, Pati, Jawa Tengah.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·3 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Material lumpur yang menggenangi rumah dan jalan setelah banjir bandang menerjang Desa Sinomwidodo, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (1/12/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo melalui Kantor Staf Presiden untuk meninjau kembali pembangunan di wilayah Pati, Jawa Tengah, berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis pada Selasa (17/1/2023). Hal ini menyusul bencana banjir yang terus terjadi akibat alih fungsi lahan secara besar-besaran.
Hingga kini, banjir yang masih terjadi di Pati, Jawa Tengah, merugikan masyarakat. Selain berdampak terhadap rumah terendam dan hewan ternak, para petani juga terancam merugi akibat lahan yang terendam banjir.
Perwakilan dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK), Gunarto, menyampaikan, kejadian banjir pada akhir 2022 hingga saat ini adalah yang lebih parah ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan hutan di lereng Kendeng yang seharusnya bisa menjadi daerah resapan air hujan tidak berfungsi optimal karena rusak.
”Masalah banjir setiap tahun ini sangat jelas karena hutan yang digunduli ini, lalu tambang-tambang yang hadir memperparah bencana, seperti pabrik semen,” ujarnya saat konferensi pers di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta.
Surat yang dikirimkan itu untuk mengingatkan kepada pemerintah agar pemerintah memberikan informasi detail terkait dampak banjir di wilayah Pegunungan Kendeng, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Selain itu, terdapat beberapa masukan, salah satunya agar kembali meninjau pembangunan di wilayah Pati berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) serta melihat kembali peraturan daerah rencana tata ruang wilayah.
Menurut Gunarto, semakin parah karena rekomendasi KLHS yang tidak diterapkan hingga saat ini. Adapun salah satu rekomendasi KLHS adalah moratorium pertambangan yang harus dilakukan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga berada di antara salah satu rumah yang roboh setelah banjir bandang menerjang Desa Sinomwidodo, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (1/12/2022).
Menurut dia, kerusakan di lereng Kendeng terjadi akibat adanya penambangan batu kapur yang masif. Apalagi, pertambangan di wilayah tersebut terjadi sejak 2010. Kondisi ini semakin parah dengan adanya Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati yang disahkan pada April 2021.
”Kami meminta kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar duduk bersama membicarakan solusi atas peristiwa banjir ini salah satunya merevisi perda RTRW,” kata Gunarto.
Kerugian
Petrasa Wacana dari Indonesian Speleological Society (ISS) mengatakan, banjir telah memutus roda ekonomi masyarakat akibat terputusnya jalur-jalur distribusi dan pasar. Sejumlah pelayanan publik hingga aktivitas pendidikan terganggu. Sementara masyarakat terus khawatir dengan kemungkinan banjir yang akan terus terjadi selama musim hujan.
Buruknya tata ruang wilayah di Jawa Tengah dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak punya perspektif lingkungan dan bencana telah menyebabkan banjir terus berulang.
Menurut Petrasa, dampak yang ditimbulkan akibat banjir yang terjadi di Pati berdasarkan data sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pati terdapat 4.559 rumah terdampak banjir. Dampak kerugian pertanian sawah yang tersebar di tujuh kecamatan mencapai luas 3.807 hektar dengan total kerugian yang ditimbulkan sebesar Rp 123 miliar.
Sementara itu, Melva Harahap dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengungkapkan, buruknya tata ruang wilayah di Jawa Tengah dan pengelolaan sumber daya alam yang tidak punya perspektif lingkungan dan bencana telah menyebabkan banjir terus berulang. Oleh karena itu, upaya pemulihan lingkungan hidup yang rusak dapat dimulai dari pengembalian fungsi hutan dan menghentikan aktivitas penambangan yang merusak lingkungan.
Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, Pegunungan Kendeng Utara, di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sejak 1995 telah menjadi areal pertambangan. Hingga kini, 21 perusahaan memegang izin usaha pertambangan (IPU) di kawasan itu. Tampak kondisi areal pertambangan pada, Juli 2017.
”Kegagalan tata kelola lingkungan hidup ini menyebabkan banjir dan longsor yang terus dialami masyarakat,” ucapnya.
Lebih dari dua pekan terakhir, banjir masih menggenangi enam kecamatan, yakni Sukolilo, Kayen, Gabus, Pati, Jakenan, dan Juwana di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Ketinggian air yang merendam sejak akhir 2022 tersebut beragam, yang tertinggi sekitar 50 sentimeter. Selain karena cuaca ekstrem, banjir juga dipicu kondisi sungai yang kurang memadai dan kerusakan lingkungan di wilayah hulu.
Penjabat Bupati Pati Henggar Budi Anggoro menilai, kondisi geografis juga turut memicu banjir. Di beberapa desa di Juwana, banjir sudah berulang kali terjadi karena posisi berada di wilayah cekungan (Kompas.id, 16/1/2023).