Generasi milenial dan Gen Z ingin agar pendidikan kebangsaan tidak disampaikan dengan indoktrinasi, tapi interaktif. Untuk itu, muatan dan metodologi pendidikan kebangsaan/Pancasila perlu diperbaiki.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Para siswa menunjukkan buku berjudul Cahaya Bineka, Taman Bangsa: Nilai Pancasila dalam Laku Pendidikan dalam acara Sosialisasi 4 Pilar MPR dan Deklarasi Praktik Pendidikan Pancasila di Sekolah di Gedung Nusantara IV, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/5/2018).
TANGERANG, KOMPAS — Generasi milenial peduli terhadap pengembangan kebangsaan dan meyakini pentingnya Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara. Namun, mereka menuntut sistem pembelajaran interaktif, bukan indoktrinasi, dan menerapkan langsung nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan di masyarakat. Bahkan, anak-anak muda yang berkuliah di perguruan tinggi negeri ataupun swasta meyakini pengembangan seni dan budaya daerah akan memperkuat semangat kebangsaan.
Demikian persepsi kebangsaan generasi muda yang disampaikan Kepala Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) Universitas Prasetiya Mulya Hassan Wirajuda, di Tangerang, Selasa (17/1/2023). Persepsi terhadap Pancasila itu merupakan hasil survei tahun 2022 yang melibatkan 1.600 responden mahasiswa di seluruh Indonesia. Survei dilakukan PSKI Universitas Prasetiya Mulya bekerja sama dengan Litbang Kompas.
”Kita jangan berpuas diri dengan persepsi generasi muda yang masih positif terhadap Pancasila. Yang penting dilakukan yakni men-setting kembali secara mendasar agenda pendidikan kebangsaan ke arah pengembangan kurikulum dan metodologi pendidikan kebangsaan yang tepat bagi kaum milenial dan Gen Z,” kata Hassan.
Hassan menambahkan, survei tentang pendidikan kebangsaan tersebut menjadi acuan untuk membenahi pendidikan kebangsaan/Pancasila di kampus. Ada tantangan untuk melengkapi bahan ajar dan meningkatkan kemampuan para pengajar. Para mahasiswa menuntut sistem pembelajaran di kelas yang interaktif dan menilai penting tugas praktik ke masyarakat, seperti pemberdayaan komunitas dan mengajar.
”Cara-cara indoktrinasi seperti P4 di masa Orde Baru dinilai sudah usang. Untuk itu, perlu dicari metode baru dengan memanfaatkan teknologi digital, seperti Metaverse dalam penyampaian bahan ajar kebangsaan,” kata Hassan.
Hassan yang juga Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Universitas Prasetiya Mulya mengatakan, perbaikan muatan dan metodologi pendidikan kebangsaan untuk memenuhi generasi muda ini penting. Sebab, mereka mengaku memahami Pancasila dari ruang kelas (28,6 persen) dan media sosial (21.7 persen). Keyakinan untuk tidak mengganti Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara juga tinggi (93,8 persen) meski ada sekelompok kecil (5,2 persen) yang berpendapat Pancasila dapat diganti dengan ideologi lain.
Selain itu, ada beberapa aspirasi generasi muda yang perlu ditindaklanjuti, antara lain apresiasi seni dan budaya Indonesia dalam pendidikan kebangsaan. ”Dari aspirasi kaum muda inilah, kami akan melakukan pengadaan alat-alat musik tradisional, seperti angklung dan seperangkat gamelan Jawa, serta merekrut tenaga pelatih seni dan budaya lulusan Institut Seni dan Budaya. Hal ini juga untuk mendukung pengembangan kelompok-kelompok seni dan budaya yang sudah ada, seperti kelompok tarian daerah, paduan suara, dan grup musik,” tutur Hassan.
Cara-cara indoktrinasi seperti P4 di masa Orde Baru dinilai sudah usang. Untuk itu, perlu dicari metode baru dengan memanfaatkan teknologi digital seperti metaverse dalam penyampaian bahan ajar kebangsaan.
Menurut Hassan, pelajaran sejarah Nusantara, sejarah pergerakan kemerdekaan, konsensus fundamental para pendiri bangsa tentang fondasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, serta pendidikan lapangan merupakan elemen-elemen penting dalam mengembangkan wawasan kebangsaan. Di sisi lain, mahasiswa juga wajib mengikuti perkembangan dunia, seperti pergeseran geopolitik, perubahan iklim, dan transformasi digital, termasuk dampak negatifnya.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU
Kepala Pusat Studi Kebangsaan Indonesia (PSKI) Universitas Prasetiya Mulya Hassan Wirajuda (kanan) dan Direktur Riset PSKI Universitas Prasetiya Mulya Antonius Agus Sriyono (kiri), di Tangerang, Selasa (17/1/2023), memaparkan hasil survei persepsi kepedulian generasi milenial dan Gen Z tentang wawasan kebangsaan.
Direktur Riset PSKI Universitas Prasetiya Mulya Antonius Agus Sriyono mengatakan, pendidikan Pancasila wajib bagi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Di kampus, penyampaiannya bisa melibatkan mahasiswa secara langsung. Contohnya, Universitas Prasetiya Mulya menerjunkan mahasiswa untuk melakukan pengembangan komunitas selama dua bulan. Untuk mahasiswa Program Studi Branding, misalnya, dapat membimbing usaha mikro kecil menengah (UMKM) soal pengemasan dan pemasaran produk.
”Mahasiwa tinggal atau live in bersama masyarakat. Kegiatan seperti ini bisa menumbuhkan rasa cinta dan membangun hubungan keluarga yang ditinggali. Hal ini untuk membuat mahasiswa menjadi lebih inklusif. Program ini sejalan juga dengan kebijakan pemerintah terkait Kampus Merdeka,” kata Agus.
Perkuliahan juga bisa dilakukan dengan kampanye digital dan film pendek. Mahasiswa aktif membuat film pendek atau animasi. Mengoptimalkan metaverse juga dapat membuat pendidikan kebangsaan menarik bagi mahasiswa.
Berbasis proyek
Saat kunjungan kerja ke Provinsi Sulawesi Utara beberapa waktu lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, dalam Merdeka Belajar, proses pembelajaran harus berpusat pada peserta didik. Salah satu metode pembelajaran yang diterapkan adalah pembelajaran berbasis proyek. Metode ini sebagian besar membutuhkan kerja sama antarsiswa dan kerja tim. Kemampuan siswa untuk berkolaborasi dan bekerja sama dalam sebuah tim menjadi kompetensi yang wajib dimiliki sebagai bekal untuk masa depan.
KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI
Siswa SMP Santo Yoseph Pemuda, Medan, berziarah di Taman Makam Pahlawan Jalan Sisingamangaraja, Medan, Sabtu (8/6/2022).
Pembelajaran berbasis proyek tersebut membuat peserta didik bisa mengimplementasikan secara langsung nilai-nilai Pancasila. Berbagai pilihan proyek bisa dilakukan, seperti menghargai keberagaman di Indonesia dengan kekayaan suku dan budaya daerah yang disesuaikan dengan konteks lokal.
Nadiem mengatakan, dalam implementasi Kurikulum Merdeka, guru ditantang untuk menciptakan proyek-proyek bagi peserta didik. Ada sekolah-sekolah yang menganggap konsep proyek tersebut aneh sehingga merasa sulit menerapkannya. Kurikulum Merdeka memberikan kemerdekaan kepada guru dan kepala sekolah untuk menjadi kreator dalam proses pembelajaran.
”Mereka ditantang untuk menciptakan proyek-proyek berdasarkan tema-tema. Lalu, menentukan apa tujuan dan hasil yang diharapkan dari proyek itu, kemudian mengumpulkan peserta didik untuk mencapai tujuan proyek itu. Ini mengasah kemampuan kolaborasi dan gotong royong,” tutur Nadiem.