Aturan tentang bank tanah dinilai disusun dengan tergesa-gesa dan tanpa dukungan naskah akademik. Aturan ini pun perlu dikaji dan disempurnakan kembali agar lebih proporsional serta berpihak kepada masyarakat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perancangan pengaturan tentang bank tanah untuk menjamin ketersediaan tanah dinilai masih bermasalah karena disusun dengan ketergesaan dan tanpa dukungan naskah akademik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyempurnaan yang diawali dengan mengkaji ulang atau rekonseptualisasi terkait peran dan fungsi bank tanah.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria SW Sumardjono mengemukakan, praktik bank tanah sudah ada sejak 1980-an untuk pembangunan kawasan industri di Jakarta dan Surabaya. Bank tanah mulai banyak didiskusikan pada awal 1990-an karena dinilai memiliki banyak permasalahan dalam praktik dan pengaturannya.
”Di mana pun, secara teoretis dan konsep memang ada praktik bank tanah. Hanya saja, pengaturan di Indonesia yang masih bermasalah karena bertentangan dengan Pasal 33 Ayat 3 (UUD 1945),” ujarnya dalam diskusi tentang bank tanah di Jakarta, Senin (16/1/2023).
Realitas agraria di lapangan menunjukkan bahwa investor tidak sulit mendapatkan tanah di Indonesia.
Kebijakan terkait pembentukan bank tanah juga sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 meski tidak disebut secara eksplisit. Dalam dokumen tersebut, bank tanah disebut secara implisit, yakni sebagai pengelolaan pertanahan yang efektif, efisien, dan melaksanakan penegakan hukum hak atas tanah dengan menerapkan prinsip keadilan, transparasi, serta demokrasi.
Maria menjelaskan, secara umum peran bank tanah dengan aturan yang baik sangat bagus karena dapat mengawasi pola perkembangan daerah perkotaan dan mengatur harga tanah agar tidak melonjak. Melalui peran tersebut, bank tanah pada akhirnya memiliki fungsi sebagai penjaga, penyalur, pengelola, dan memberikan garansi terhadap kepemilikan tanah.
Meski demikian, Maria memandang bahwa perancangan pengaturan tentang bank tanah disusun dengan tergesa-gesa dan tanpa dukungan naskah akademik. Sebab, aturan tentang bank tanah yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini diambil dari Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang ditunda pembahasannya karena ditentang oleh publik.
Dari segi filosofis, keberadaan Badan Bank Tanah juga dinilai rancu dengan tugas dan fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Sebab, Badan Bank Tanah memiliki kewenangan ganda yang beraspek publik sekaligus privat. Sementara Kementerian ATR/BPN sudah jelas memiliki kewenangan yang bersifat publik.
”Kegiatan pengadaan tanah itu tidak bisa secara privat, tetapi harus dilakukan oleh badan publik. Jadi, tidak ada campur tangan privat dalam pengadaan tanah. Kemudian, menentukan tarif pelayanan juga tugas pemerintah sebagai badan publik,” kata Maria.
Maria menegaskan, pembentukan bank tanah sangat bisa untuk mendukung tujuan ekonomi yang berkeadilan sosial. Namun, terlebih dahulu bank tanah harus mengedepankan proporsionalitas dengan keberpihakan terhadap kelompok yang lemah posisi tawarnya secara ekonomi, sosial, ataupun politik.
Selain itu, pengaturan tentang bank tanah juga harus disempurnakan yang diawali dengan mengkaji tentang rekonseptualisasi peran dan fungsinya. Salah satu upaya yang mendesak dilakukan saat ini yaitu memperbaiki pengaturan tentang bank tanah yang bermasalah dalam UU Cipta Kerja beserta aturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 64 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden No 113/2021.
Sudah dirasakan
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, implementasi bank tanah di lapangan sudah mulai dirasakan meski UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarakat oleh Mahkamah Konstitusi. Dampak implementasi ini juga sudah terlihat dengan berupaya menyabotase obyek reforma agraria yang seharusnya didistribusikan kepada masyarakat, khususnya petani.
”Realitas agraria di lapangan menunjukkan bahwa investor tidak sulit mendapatkan tanah di Indonesia. Sebaliknya, banyak regulasi yang memberikan keistimewaan kepada investor dan yang terjadi saat ini adalah monopoli tanah oleh badan-badan swasta, termasuk klaim sepihak oleh negara,” ucapnya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Andi Tenrisau menuturkan, bank tanah dibentuk untuk menyediakan tanah dalam rangka kepentingan umum, sosial, pembangunan, konsolidasi, dan reforma agraria. Pembentukan bank tanah sangat penting karena selama ini negara belum mampu menyiapkan tanah untuk berbagai kebutuhan.
Andi menekankan bahwa bank tanah bisa menyediakan tanah untuk reforma agraria dari hasil perizinan hak guna usaha yang tidak diperpanjang. Dengan kata lain, pembentukan bank tanah juga sangat strategis untuk kepentingan yang menyangkut masyarakat, khususnya terkait dengan reforma agraria.