Tidak semua terapi bisa menghasilkan respons yang optimal bagi setiap orang. Pola diet yang dilakukan seseorang juga belum tentu efektif untuk orang lain. Untuk itu, kedokteran presisi dibutuhkan untuk masyarakat luas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
Olahraga rutin sudah dilakukan Tuty Budiman (59). Pola makan sudah dikontrol dengan baik. Namun, penumpukan lemak di bagian perutnya tidak juga berkurang signifikan. Ia khawatir kesehatannya bisa terganggu terutama karena orangtuanya memiliki riwayat diabetes.
”Setelah melakukan pemeriksaan ternyata saya memiliki genetik dengan metabolisme lemak yang lambat,” ujar warga Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, tersebut, Jumat (13/1/2023), di Jakarta.
Informasi genetik terkait kondisi metabolisme tersebut diketahui Tuty setelah melakukan pemeriksaan laboratorium terkait nutrigenomik di Laboratorium Prodia. Dari hasil pemeriksaan tersebut, dokter pun merekomendasikan pola diet dan jenis olahraga yang sesuai dengan kondisinya.
Pemeriksaan serupa juga dilakukan Rose Eveline (32), warga Karawaci, Tangerang, Banten. Ia menjalani layanan Biome Scan yang tersedia di Nusantics untuk mengetahui penyebab utama dari masalah kulit di wajahnya. Pemeriksaan dilakukan melalui tes usap pada permukaan kulit untuk mengetahui komposisi bakteri dan jamur yang ada di kulitnya.
Selain Tuty dan Rose, pemeriksaan juga dilakukan oleh M (56). Ia melakukan pemeriksaan farmakogenomik yang disediakan di Rumah Sakit Yarsi. Dari pemeriksaan itu, diketahui ada sejumlah obat yang tidak dapat dikonsumsinya. Obat tersebut, misalnya, untuk obat pencernaan, seperti esomeprazole, lansoprazole, omeprazole, pantoprazole, dan rabeprazole.
Jika obat tersebut dikonsumsi, bisa berisiko memicu perdarahan di daerah lambung. ”Data ini bisa saya gunakan saat berobat. Dokter dapat mengerti obat apa yang bisa diberikan dan tidak,” katanya.
Pemeriksaan berbasis genetika yang dilakukan oleh Tuty, Rose, dan M tersebut merupakan bentuk dari implementasi kedokteran presisi. Dengan kedokteran presisi, intervensi kesehatan untuk pencegahan, diagnosis, dan terapi penyakit bisa tepat sasaran sesuai kondisi setiap individu.
Namun, pemanfaatan pemeriksaan berbasis genomik tersebut kini masih terbatas. Selain laboratorium yang hanya tersedia di kota besar, biaya untuk melakukan pemeriksaan tersebut pun terbilang tinggi. Tuty, misalnya, mengeluarkan biaya sebesar Rp 15 juta untuk mengetahui risiko diabetes dan metabolisme lemaknya.
Padahal, layanan kesehatan presisi berpotensi besar dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan masyarakat yang lebih luas. Sejumlah penelitian pun telah membuktikan bahwa satu terapi bisa menghasilkan respons yang berbeda antarpopulasi.
Artikel dalam jurnal Diabetologia terbitan 2020 yang berjudul ”Precision medicine in diabetes: a Consensus Report from the American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of Diabetes (EASD)” menyebutkan, terapi inhibitor DPP 4 (dipeptidyl peptidase IV) untuk diabetes melitus didapatkan respons yang Iebih baik pada populasi Asia dibandingkan dengan Kaukasia.
Kedokteran presisi pun bisa lebih luas dimanfaatkan untuk intervensi kesehatan pada subpopulasi. Salah satunya untuk menilai intervensi diet spesifik pada populasi melalui penerapan metabolomik dan genomik dalam pemilihan diet yang tepat serta melihat pengaruh kebiasaan tidur dan aktivitas fisik di masyarakat.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam menyampaikan, implementasi kedokteran presisi semakin dibutuhkan pada populasi dengan variabilitas yang tinggi, seperti populasi di Indonesia. Pada kelompok masyarakat dengan karakteristik klinis, genetik, dan lingkungan yang berbeda bisa memiliki risiko penyakit yang berbeda. Pemberian terapi yang efektif pun bisa berbeda.
”Secara keilmuan juga menunjukkan bahwa setiap ras bisa membawa risiko kesehatan yang berbeda. Tidak semua obat pun bisa cocok diberikan kepada setiap orang. Karena itu, kedokteran presisi sangat dibutuhkan untuk kesehatan masyarakat agar pembiayaan kesehatan bisa lebih efisien dan pelayanan bisa lebih efektif,” tuturnya.
Pengembangan kedokteran presisi sangat berkaitan dengan data spesimen yang diperiksa di masyarakat. Dengan data yang beragam, karakteristik spesifik dari setiap populasi bisa semakin terlihat.
Secara keilmuan juga menunjukkan bahwa setiap ras bisa membawa risiko kesehatan yang berbeda. Tidak semua obat pun bisa cocok diberikan pada setiap orang. Karena itu, kedokteran presisi sangat dibutuhkan.
Namun, saat ini, data genomik yang diperoleh dari populasi negara berkembang masih tergolong rendah. Sementara data ini dibutuhkan untuk penerapan kedokteran presisi pada berbagai subpopulasi. Untuk itulah, pemeriksaan genomik harus semakin banyak dilakukan di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ketika memberikan keterangan pers di Jakarta, Kamis (5/1/2023), menuturkan, Indonesia telah mulai membangun ekosistem kedokteran presisi di Indonesia dalam Biomedical and Genome Science initiative. Data klinis juga data genomik yang dikumpulkan pada sampel masyarakat akan diintegrasikan dalam bioinformatika dengan tujuan untuk prognosis penyakit. Dengan informasi tersebut, pencegahan penyakit bisa dilakukan sejak dini.
”Penting sekali untuk menggabungkan data klinis dan data genomik menjadi satu big data yang sangat besar. Dengan bantuan AI (kecerdasan buatan), sistem bioinformatika akan dibangun untuk mengetahui kaitan antara penyakit dan genetik serta treatment apa yang tepat,” tuturnya.
Lewat inovasi tersebut, layanan kesehatan di masyarakat bisa meningkat. Pengobatan presisi pun bisa diberikan sesuai bagi setiap individu sehingga potensi perbaikan dan sembuh menjadi lebih tinggi serta efek samping bisa dicegah.
Manfaat kedokteran presisi diharapkan bisa dirasakan masyarakat luas, bukan hanya oleh segelintir orang yang mampu mengakses layanan tersebut. Karena pada dasarnya, kedokteran presisi bertujuan untuk memastikan keadilan dalam layanan kesehatan. Setiap orang berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang terbaik.