Teknologi Wolbachia Menjanjikan untuk Pengendalian DBD
Penyakit demam berdarah dengue atau DBD masih terus mengincar masyarakat Indonesia dan dunia. Teknologi wolbachia yang dikembangkan di Yogyakarta mampu mengendalikan DBD.
Pengendalian kasus demam berdarah dengue atau DBD dengan teknologi wolbachia dinilai menjanjikan. Butuh kerja sama dan komitmen bersama dari semua pihak untuk bisa mengintervensi nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD di lingkungan sekitar agar ber-wolbachia.
Head of the Veterinary Public Health, Vector Control and Environment Unit at the Department of Control of Neglected Tropical Diseases of WHO (VCAG) Raman Velayudhan mengatakan, pihaknya saat ini sedang melakukan evaluasi terhadap inovasi-inovasi dalam pengendalian vektor yang menjadi salah satu poin penting pencegahan dengue. Hal tersebut disampaikan dalam konferensi internasional GAMA-ICTM 2022 bertema ”Global Challenges on Tropical Medicine” yang digelar Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada dan World Mosquito Program Yogyakarta didukung Yayasan Tahija, November 2022.
”Inovasi yang dievaluasi salah satunya adalah bakteri wolbachia yang diinokulasikan ke dalam telur nyamuk Aedes aegypti untuk pengendalian dengue,” kata Raman.
Sementara itu, Director of Impact Assessment at the World Mosquito Program (WMP) Katherine L Anders, pada sesi yang sama memaparkan tentang intervensi wolbachia yang dikembangkan WMP. Nyamuk Aedes aegypti yang ber-wolbachia dapat memberikan proteksi bagi masyarakat dari dengue dalam jangka waktu panjang.
”Proyek wolbachia dijalankan di 11 negara, yaitu di Indonesia, Australia, Vietnam, Sri Lanka, Kiribati, Vanuatu, Fiji, Kaledonia Baru, Meksiko, Kolombia, dan Brasil. Hingga saat ini, sudah menjangkau 10 juta orang sebagai penerima manfaat,” jelas Katherine.
Dari evaluasi ekonomi yang telah dilakukan, lanjut Katherine, teknologi wolbachia akan sangat menghemat biaya pada daerah urban dengan populasi tinggi. Jika teknologi wolbachia diterapkan di tujuh kota di Indonesia, bisa mencegah 1 juta kasus dan menyelamatkan 500 nyawa penduduk setiap tahun. Ini sudah menghemat 2-3 kali investasi selama 10 tahun dari biaya pengobatan dan biaya produktivitas yang hilang karena dengue.
Menurut Katherine, WMP bersama mitra telah sukses mengimplementasikan teknologi wolbachia selama 10 terakhir dengan pelepasan skala besar di Indonesia, Brasil, dan Kolombia. Metode ini telah terbukti memberikan dampak positif bagi kesehatan masyarakat.
Wolbachia ini juga merupakan metode yang berkesinambungan, tangguh, dan berbiaya efektif. Dengan demikian, metode ini bisa dipertimbangkan menjadi salah satu infrastruktur kesehatan publik di masa depan.
Baca juga : KLB DBD di Dua Kabupaten NTT
Project Leader WMP Yogyakarta Adi Utarini memaparkan, persiapan keamanan dan kelayakan dilakukan di tahun 2011, kemudian pelepasan terbatas di 2014, kajian risiko di 2016, penelitian quasi-experimental di 2016, dan penelitian Randomised Controlled Trial pada 2017-2020. Teknologi wolbachia ini kemudian diimplementasikan di Kabupaten Sleman dan Bantul melalui Dinas Kesehatan pada tahun 2021 dan 2022.
”Penelitian WMP Yogyakarta yang sudah berlangsung lebih dari satu dekade ini menghasilkan efikasi di mana wolbachia efektif menurunkan 77 persen kasus dengue dan 86 persen menurunkan tingkat rawat inap di rumah sakit,” ujar Utarini yang juga Guru Besar Universitas Gadjah Mada ini.
Teknologi wolbachia sudah menjadi bagian dari strategi nasional penanggulangan dengue 2021- 2025. ”Dengan upaya bersama yang terus-menerus, hasil riset ini telah diterjemahkan ke dalam kebijakan nasional berbasis bukti. Implementasi selanjutnya di beberapa daerah merupakan bagian dari scale up nasional yang dipimpin oleh Kementerian Kesehatan,” ujar Utarini.
Teknologi wolbachia telah mendapat rekomendasi dari VCAG WHO untuk implementasi teknologi yang telah terbukti efikasinya. ”Kami berharap ke depannya teknologi wolbachia bisa diimplementasikan di luar Yogyakarta sehingga dapat membantu menurunkan kasus dengue secara signifikan,” kata Utarini.
Baca juga: Pengakuan Dunia terhadap Metode Wolbachia
Orangtua asuh
Pengembangan teknologi wolbachia untuk mengendalikan nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD sudah sukses. Namun, masyarakat mempunyai peranan penting dalam keberhasilan ini agar semkain banyak Aedes aegypti ber-wolbachia di lingkungan sekitar.
Director of Community Engagement WMP Alan Mee menyampaikan, metode wolbachia baru bisa diimplementasikan setelah ada penerimaan dan dukungan yang kuat dari masyarakat. Pelibatan masyarakat bisa berupa aktivitas sosialisasi di masyarakat, pembentukan kelompok rujukan masyarakat untuk mendengarkan aspirasi dari para pemangku kepentingan, dan penyediaan saluran untuk menangkap concern dari masyarakat.
Setelah kegiatan-kegiatan pelibatan masyarakat dilakukan di tahap persiapan, sebuah survei dilakukan untuk mengukur seberapa besar dukungan dari masyarakat sebelum nyamuk ber-wolbachia dilepaskan.
”Tingkat penerimaan masyarakat seperti di Meksiko mencapai 92 persen, Kolombia 93 persen, Brasil 86 persen, Australia 90 persen, Indonesia (Yogyakarta) 91 persen, dan Vietnam 97 persen,” jelas Alan.
Alan percaya bahwa pelibatan masyarakat yang baik akan menghasilkan dukungan yang kuat dari masyarakat. Mereka juga dapat berperan aktif dalam kegiatan peletakan ember nyamuk ber-wolbachia, dengan menjaga ember tetap aman atau menjaga alat perangkap nyamuk dewasa untuk kebutuhan pemantauan. Keterlibatan ini berpengaruh terhadap meningkatnya pemahaman dan kepercayaan masyarakat terhadap teknologi.
Sejak akhir 2021, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM yang didukung WMP Yogyakarta dan Yayasan Tahija menjalin kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dalam penerapan metode penanganan penyebaran virus dengue dengan menggunakan bakteri alami yang disebut wolbachia.
Program ini bernama Wolbachia wis Masuk Bantul (WoW Mantul). Sebanyak 22.154 ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia dititipkan di rumah orangtua asuh pada kurun waktu Mei-Desember 2021. Persentase nyamuk ber-wolbachia di Bantul telah stabil tinggi di kisaran 76,8 persen.
Selama pelaksanaan program WoW Mantul, kader kesehatan setempat datang setiap dua minggu sekali untuk memberikan paket penggantian telur. Berakhirnya masa penitipan ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-wolbachia ditandai dengan penarikan 22.154 ember pada periode 5-16 Desember 2022.
Program ini diimplementasikan di 11 kapanewon (Kecamatan), 38 kalurahan, dan 519 padukuhan, serta bekerja sama dengan 18 puskesmas dan sekitar 3.200 kader kesehatan.
Diagnostic Team Leader WMP Yogyakarta Eggi Arguni mengatakan, setelah penarikan ember, masih akan dilakukan pemantauan nyamuk ber-wolbachia sebanyak dua kali, yaitu pada dua bulan dan empat bulan sejak penarikan ember. Harapannya persentase wolbachia yang sudah mencapai 76,8 persen bisa terus stabil tinggi dan semakin menurunkan kasus DBD di Bantul.
Teknologi wolbachia akan sangat menghemat biaya pada daerah urban dengan populasi tinggi.
Kepala Dinas Kesehatan Bantul Agus Budi Raharja menyampaikan, Dinas Kesehatan Bantul akan terus memantau perkembangan kasus DBD, baik jumlah kasus maupun case fatality rate (CFR). Harapannya, wolbachia akan memberikan proteksi di Bantul dan menurunkan kasus DBD.
Agus menambahkan, walaupun sudah ada wolbachia, faktor penyebab DBD lainnya seperti mobilitas warga tetap perlu diperhatikan. Karena itu, program seperti pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pemantauan jentik, dan pola hidup bersih dan sehat masih tetap selalu dijalankan.
Ketua Yayasan Tahija, Trihadi Saptoadi, berterima kasih kepada Pemerintah Kabupaten Bantul yang terlibat dalam penelitian pengendalian DBD ini. Selain pemerintah daerah, program ini juga didukung oleh puskesmas, kapanewon, kalurahan, padukuhan, kader kesehatan dan orangtua asuh, serta masyarakat Bantul pada umumnya. Ke depan, Kabupaten Bantul dan Kabupaten Sleman akan menjadi learning center bagi pemerintah daerah lainnya yang akan mengimplementasikan teknologi wolbachia.
”Karena penerimaan yang tinggi dari masyarakat, kita bisa melihat hasil efikasi dari wolbachia dalam pengendalian dengue. Semoga ikhtiar bersama ini bisa mengurangi beban kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh dengue,” kata Trihadi.
Secara terpisah, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga mengapresiasi implementasi teknologi wolbachia yang menurunkan kejadian demam berdarah di lingkungan kita dengan cara mengendalikan nyamuknya. ”Kita akan cermati data kota/kabupaten dengan beban dengue yang tinggi di Indonesia,” kata Budi.
Tim Kementerian Kesehatan juga dikirim untuk mempelajari lebih lanjut tentang wolbachia. Tim berjumlah enam orang yang merupakan perwakilan dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit (B2P2VRP) Salatiga yang berkunjung ke Laboratorium Entomologi dan Diagnostik WMP Yogyakarta pada September 2022.
Entomology Team Leader WMP Yogyakarta Warsito Tantowijoyo melihat pengalaman di Kota Yogyakarta, nyamuk ber-wolbachia secara bertahap bisa menyebar ke seluruh wilayah yang belum disalurkan ember. Demikian halnya di Bantul, seiring berjalannya waktu, nyamuk ber-wolbachia yang sudah menetap di
Terus diteliti
Secara terpisah, Assistant Professor, Department of Epidemiology at the Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health in Baltimore Henrik Salje menyampaikan, tingkat introgresi wolbachia mengalami penurunan selama musim panas dan bekerja lebih baik pada musim dingin. Menurut dia, perubahan iklim perlu diperhitungkan dalam pemodelan. Selain itu, introgresi pada tingkat menengah pun dapat mengurangi kejadian demam berdarah.
Baca juga : Riset Bakteri Wolbachia Turunkan 77 Persen Kasus DBD di Yogyakarta
Sementara itu, Chair of Ecological Genetics Biosciences University of Melbourne Prof Ary Hoffmann menceritakan pelepasan nyamuk ber-wolbachia dengan pendekatan suppression (menekan populasi) di perkampungan di daerah Guangzhou, China. Setelah pelepasan dilakukan, terdapat penurunan jumlah nyamuk lokal. Namun, setelah pelepasan nyamuk ber-wolbachia dihentikan, populasi nyamuk lokal kembali lagi.