Warga lansia pengidap demensia selalu meningkat setiap tahun. Sebanyak 40 persen dari kasus demensia pada dasarnya dapat dicegah dan diantisipasi.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan The Lancet Commission 2020, jurnal medis internasional, menemukan 12 faktor penyebab demensia atau kepikunan pada warga lansia dapat dicegah. Faktor tersebut menyumbang 40 persen dari total populasi demensia di dunia yang seharusnya dapat dicegah ataupun ditunda.
Pakar demensia Eva van der Ploeg dalam konferensi internasional ”Dinamika Perawatan di Indonesia Masa Kini” yang diakses secara daring di Jakarta, Rabu (11/1/2023), mengatakan, hingga kini belum ditemukan bukti ilmiah untuk mendukung pengobatan penyembuhan demensia. Namun, sejumlah faktor penyebab demensia dapat menjadi pertimbangan terkait pencegahan.
Sejumlah faktor tersebut, antara lain, kurang pendidikan, hipertensi, gangguan pendengaran, merokok, obesitas, diabetes, cedera otak, depresi, konsumsi alkohol berlebih, tidak aktif secara fisik, jarang bersosialisasi, hingga polusi udara. Selain itu, kata Eva, usia berpengaruh besar terhadap demensia.
Perilaku seperti anak kecil, tidak mau makan, selalu minta mandi, tidak mengenali keluarga, mudah curiga, serta gelisah, agresif dan lainnya itu muncul akibat kebutuhan dasar ODD tidak terpenuhi.
”Semakin tua usia, semakin tinggi kemungkinan untuk mengidap beberapa bentuk demensia. Usia 85 tahun ke atas potensinya sekitar 50 persen,” ujarnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sekitar 55 juta penduduk dunia mengidap demensia pada 2019. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat sebanyak 10 juta per tahun. Artinya, ada satu kasus demensia baru setiap 3 detik. Pertumbuhan jumlah pengidap demensia diproyeksikan 78 juta orang pada 2030 dan dapat mencapai 139 juta orang pada 2050.
Pengajar ilmu keperawatan Universitas Gadjah Mada, Sri Mulyani, menuturkan, demensia dapat dicegah dengan memulai pola hidup dengan cek kesehatan rutin, terutama tensi (tekanan darah) dan gula darah, menghindari asap rokok, rajin beraktivitas fisik, diet seimbang, istirahat cukup, serta mengelola stres.
Penanganan
Orang dengan demensia (ODD) sering kali bergantung pada orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Semakin parah keadaan demensia, kata Sri, semakin sering pula ODD perlu perawatan di rumah sakit. Pada saat perawatan, ODD juga membutuhkan pendampingan dari keluarga mereka masing-masing.
”Mendampingi ODD di rumah sakit bukan hal yang mudah. Kesulitan setiap ODD perlu digali lebih dalam untuk menentukan intervensi yang tepat agar dapat membantu mereka,” ucap Sri.
Kesulitan ini dipicu oleh karakteristik demensia (perilaku dan kognitif) yang beragam jenisnya. Contohnya ODD yang berperilaku seperti anak kecil, tidak mau makan, selalu minta mandi, tidak mengenali keluarga, mudah curiga, serta gelisah, agresif, dan lainnya.
Selain itu, berkomunikasi dengan ODD juga memiliki tantangan tersendiri karena mereka akan keras kepala dan sulit diberikan instruksi. Oleh karena itu, Sri menilai pelatihan menjadi hal krusial bagi tenaga kesehatan dan anggota keluarga untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mendampingi ODD.
Menurut Eva, perilaku tersebut muncul akibat kebutuhan dasar ODD tidak terpenuhi. Penanganannya dapat dilakukan dengan metode montessori yang memadukan perhatian, kesabaran, dan kreativitas dalam pelaksanaannya. Metode ini memfokuskan setiap individu ODD yang berlandaskan ketertarikan dan kapasitas seseorang.
Menyeimbangkan risiko perlu menjadi fokus utama dalam kasus ini dengan cara membangun suatu konsensus antara orangtua dan anak ke depan. Pada intinya, jangan sampai ada lansia yang ditinggalkan (telantar).
”Prinsip utama (montessori) dengan memberikan ODD pilihan, caranya lebih banyak mendemonstrasikan ketimbang bicara. Bekerja dilakukan dari hal yang mudah dan menyesuaikan kecepatan bergerak serta berbicara ODD. Selain itu, berikan ODD sesuatu untuk dipegang sesuai dengan petunjuk yang diberikan,” kata Eva.
Hasil penelitian Eva menemukan bahwa perilaku ODD seperti disorientasi, kebingungan, dan lainnya dapat ditekan secara drastis dalam kurun empat kali kunjungan secara acak dan dalam waktu 90 menit per pertemuan. Metode montessori dalam jangka panjang juga berpotensi untuk meningkatkan layanan perawatan dan kemampuan hidup seseorang.
Tantangan dini
Peneliti dari University of Southampton, Nathan Porath, mengutarakan, hubungan keluarga memiliki peran penting dalam mengasuh dan merawat lansia. Dalam kasus orangtua dan anak, ikatan yang sudah terjalin seolah menjadi panggilan moral untuk kembali dan merawat orangtua saat menginjak lansia.
Meskipun demikian, Nathan tidak menafikan masalah baru yang akan lahir saat seorang anak berupaya merawat orangtua. Masalah itu seperti harga diri orangtua yang tidak ingin diperintah oleh anak, ada juga anak yang mengadopsi gaya formal seperti perawat dalam mengasuh orangtuanya, nilai-nilai tradisional dan norma yang sudah ada di masyarakat serta hal lainnya.
”Menyeimbangkan risiko perlu menjadi fokus utama dalam kasus ini dengan cara membangun suatu konsensus antara orangtua dan anak ke depan. Pada intinya, jangan sampai ada lansia yang ditinggalkan (telantar),” ungkapnya.