Pergantian tahun 2022 ke 2023 berlangsung damai tanpa perdebatan kapan awal tahun baru tiba. Namun, tak ada sistem kalender yang sempurna. Ribuan tahun ke depan, ketidaktepatan perhitungan kalender Masehi akan terasa.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
Selamat Tahun Baru 2023. Seiring aktifnya kembali kegiatan masyarakat setelah libur, kalender 2022 pun sudah dibuang dan digantikan kalender 2023. Meski seolah tidak ada masalah, sejatinya kalender Masehi masih mengandung potensi kelebihan hari dalam jangka panjang. Namun, sepertinya persoalan itu baru akan menjadi masalah bagi manusia masa depan.
Kalender Masehi adalah sistem penanggalan yang paling banyak digunakan untuk kepentingan administrasi sipil saat ini. Arab Saudi menjadi negara terakhir yang menggunakannya setelah beralih dari kalender Hijriah pada 2016. Meski demikian, berbagai penanggalan lain, seperti kalender Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, China, dan Jawa tetap dipakai untuk kepentingan ibadah.
Sistem kalender Masehi yang digunakan saat ini berakar dari kalender bangsa Romawi yang sudah digunakan sejak abad ke-8 sebelum Masehi. Saat itu, seperti ditulis Kompas.id, 29 Desember 2020, kalender ini mengacu pada sistem penanggalan Bulan (lunar/moon) yang terdiri atas 10 bulan (month) dari Maret sampai Desember dan panjang satu tahunnya 304 hari.
Seiring waktu, kalender itu akhirnya berubah menjadi sistem penanggalan Matahari (solar) yang terdiri atas 12 bulan. Pada tahun 45 sebelum Masehi, atas bantuan astronom Aleksandria Mesir, Sosigenes, kaisar Romawi Julius Caesar menetapkan panjang hari rata-rata dalam setahun pada kalender ini adalah 365,25 hari. Standar kalender itu pun dinamai kalender Julian.
Karena pergantian pada seperempat hari tidak praktis, panjang satu tahun kalender tersebut adalah 365 hari dan disebut tahun basit (pendek). Untuk menggenapkan seperempat hari sisanya, jumlah hari dalam tahun yang habis dibagi empat ditetapkan sebanyak 366 hari dan disebut tahun kabisat. Tambahan satu hari itu ditempatkan sebagai tanggal 29 Februari.
Setelah berjalan lebih dari 1.500 tahun, mulai dirasakan ada kejanggalan.
Konsili Nicea tahun 325 Masehi menetapkan perayaan Paskah sebagai peringatan kebangkitan Yesus, jatuh pada hari Minggu pertama setelah Bulan purnama pertama, setelah Matahari melintasi titik musim semi di belahan Bumi utara atau ekuinoks Maret, yaitu antara 19 Maret-21 Maret setiap tahun.
Namun yang terjadi, waktu Paskah justru terus maju hingga tidak sesuai ketentuan tersebut. Akhirnya, Paus Gregorius XIII mereformasi kalender Julian pada tahun 1582 dengan mengubah ketentuan tahun kabisat.
Jika semula tahun kabisat diletakkan pada angka tahun yang habis dibagi empat, maka ketentuan itu ditambah, yaitu habis dibagi 400 untuk angka tahun kelipatan seratus atau tahun abad. Dengan demikian, selama 400 tahun ada 100 tahun kabisat dalam kalender Julian, sedangkan dalam sistem yang baru untuk periode yang sama hanya ada 97 tahun kabisat.
Alhasil, tahun 1800, 1900, dan 2100 bukanlah tahun kabisat. Mereka yang lahir pada 29 Februari pun tidak hanya merayakan ulang tahun tiap empat tahun sekali, tetapi bisa juga delapan tahun sekali saat berulang tahun pada sekitar tahun kelipatan seratus.
Untuk mengembalikan agar hari Paskah sesuai dengan ketentuan awal, Paus juga memotong 10 hari pada kalender Oktober 1582. Pemotongan itu membuat tanggal 4 Oktober 1582 langsung diikuti tanggal 15 Oktober 1582. Artinya, tanggal 5 Oktober-14 Oktober 1582 tidak pernah ada.
Berbagai perubahan itu membuat kalender ini akhirnya disebut kalender Gregorian. Standar kalender Gregorian inilah yang digunakan hingga kini dan lebih dikenal masyarakat sebagai kalender Masehi.
Dalam perhitungan astronomi modern, panjang satu tahun didefinisikan sebagai waktu yang ditempuh Bumi untuk mengelilingi Matahari satu putaran penuh. Dengan kata lain, satu tahun adalah waktu yang dibutuhkan Matahari untuk kembali ke posisinya yang sama di antara bintang-bintang di langit. Ketentuan ini disebut sebagai satu tahun tropis.
Biasanya, yang dijadikan acuan satu putaran penuh Bumi mengelilingi Matahari itu adalah waktu dari ekuinoks Maret ke ekuinoks Maret tahun berikutnya. Saat itu, Matahari akan kembali ke garis bujur ekliptika (bidang edar Bumi mengelilingi Matahari) yang sama dengan awal putaran sebelumnya.
Namun, panjang satu tahun tropis itu nyatanya tidak konstan alias berubah setiap tahun. Variasi panjang tahun tropis itu dipengaruhi oleh tarikan gravitasi Matahari dan planet-planet lain, terutama Jupiter, hingga presesi alias pergeseran orientasi atau arah sumbu rotasi Bumi.
Menurut Time and Date, panjang rata-rata satu tahun tropis itu sebesar 365 hari 5 jam 48 menit 45 detik atau 365,242189 hari. Panjang tahun tropis itu bervariasi hingga 30 menit setiap tahun. Bandingkan panjang satu tahun dalam kalender Julian yang 365,25 hari atau dalam kalender Gregorian sebesar 365,2425 hari.
Perbedaan itu terlihat sangat kecil sehingga tidak akan menimbukan persoalan bagi manusia saat ini. Seperti dikutip dari Kompas, 29 Februari 2012, dalam jangka 10.000 tahun tahun tropis, maka kalender Gregorian akan kelebihan 3 hari, jauh lebih kecil dibandingkan kalender Julian yang kelebihan 78 hari.
Perbedaan kecil itu menunjukkan tidak ada sistem kalender yang sempurna. Namun, kalender Masehi tetap bisa menjadi kalender global karena memiliki sistem atau aturan baku yang jelas, ada otoritas tunggal yang mengaturnya, dan ada wilayah pemberlakuan yang disepakati. Tentu, hegemoni dan kuatnya pengaruh bangsa Barat tidak bisa dilepaskan dari penggunaan kalender Gregorian sebagai kalender global.
Manusia masa depan, yang hidup ribuan tahun dari sekarang, kemungkinan yang akan menghadapi masalah dari ketidaktepatan kecil dalam perhitungan kalender Gregorian. Namun pada saat itu, apakah manusia masih menggunakan kalender Gregorian, apakah manusia masih tinggal di Bumi, atau apakah manusia masih eksis, waktulah yang akan membuktikan.