Data Indeks Biodiversitas Indonesia Bantu Analisis Status dan Tren Populasi
Konsorsium Biologi Indonesia menyusun Indeks Biodiversitas Indonesia dari kurasi data dengan sumber sejumlah referensi. Data dalam indeks ini dapat digunakan untuk menganalisis status dan tren populasi di Indonesia.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Keanekaragaman hayati global cenderung mengalami penurunan tajam rata-rata hingga 69 persen pada 1970-2018, tak terkecuali di Indonesia. Penyusunan Indeks Biodiversitas Indonesia dapat menganalisis status dan tren populasi sehingga upaya meningkatkan perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati bisa lebih terukur.
Penurunan keanekaragaman hayati global terangkum dalam Living Planet Report 2022 yang disusun organisasi konservasi World Wide Fund for Nature (WWF). Dalam Living Planet Index, WWF mencatat populasi yang menjadi cerminan biodiversitas telah mengalami penurunan rata-rata 69 persen sepanjang 1970-2018. Angka penurunan populasi ini didapat setelah melacak lebih dari 5.230 spesies di seluruh dunia.
Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI) Budi Setiadi Daryono mengemukakan, laporan penurunan populasi keanekaragaman hayati tidak hanya terjadi di tingkat global, tetapi juga di Asia Pasifik dengan angka penurunan mencapai 55 persen. Bahkan, penurunan populasi secara tajam juga tampak di Indonesia akibat berbagai kegiatan perusakan.
Kalau kita datang dengan pendekatan revenue generating (menghasilkan pendapatan), maka semua pihak akan melindungi tanpa disuruh karena perspektifnya berbeda.
”Kita bersama-sama harus bertindak mengatasi persoalan ini. Salah satu upaya yang dilakukan KOBI yaitu menginisiasi penyusunan Indeks Biodiversitas Indonesia untuk mengetahui status dan tren keanekaragaman hayati di Indonesia,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ”Mengukur Keanekaragaman Hayati untuk Transfer Fiskal Berbasis Ekologi”, di Jakarta, Selasa (10/1/2023).
Pada 2020, KOBI melakukan kurasi terhadap 3.160 data keanekaragaman hayati dari populasi darat ataupun laut di Indonesia dengan sumber 195 referensi, seperti jurnal, tesis, laporan, buku, dan prosiding. Hasil kurasi data ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman hayati sebanyak 1.603 spesies, 1.300 genus, dan 530 famili.
Kemudian, satu tahun berikutnya atau pada 2021, KOBI kembali melakukan kurasi sebanyak 4.897 data populasi kelautan dari 230 referensi dengan rentang waktu 1967-2018. Kurasi data kedua ini merangkum keanekaragaman hayati sebanyak 2.701 spesies dan 639 famili.
”Data ini berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Data ini memang bersifat sekunder karena saat itu masih dalam kondisi pandemi sehingga tidak bisa turun langsung ke lapangan. Namun, yang menarik bahwa indeks ini disusun dengan melibatkan 220 mahasiswa dari 37 universitas,” tutur Budi.
Meski Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) masih bersifat sekunder, Budi optimistis data ini bisa digunakan untuk menganalisis status dan tren populasi flora ataupun fauna di Indonesia untuk beberapa waktu ke depan. Keterlibatan sejumlah pihak termasuk para ahli juga sangat dibutuhkan untuk menentukan metode analisis yang paling sesuai.
Saat ini, KOBI juga tengah menganalisis status dan tren populasi fauna dengan basis data dari IBI. Analisis ini baru fokus dilakukan untuk 17 spesies, di antaranya binturong, penyu belimbing, monyet hitam, anjing hutan, gajah, badak sumatera, dan harimau.
”Data IBI tersebut sudah kami kelola dengan protokol. Jadi, ada aturan untuk menggunakan data ini. Selain itu, yang terpenting kami harus melibatkan para ahli di bidang keanekaragaman hayati untuk melakukan validasi,” ucapnya.
Selain itu, pada Januari-Maret 2023 juga akan dilakukan perbaikan sistem basis data dan disusul dengan penyiapan lokasi petak permanen untuk pemantauan jangka panjang pada April-Juli. Kemudian, rencana pada Agustus 2023 sampai Desember 2025 akan mulai dilakukan pengambilan data primer pada petak permanen dan sistem pendataan.
Pendekatan berbeda
Peneliti dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Joko Tri Haryanto, mengatakan, kebijakan transfer fiskal berbasis ekologi (EFT) dapat digunakan untuk meningkatkan perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati. Akan tetapi, penerapan EFT juga harus didukung dengan peta jalan dan selalu diperbarui dari berbagai aspek.
”Kita jangan selalu menempatkan biodiversiti sebagai pendekatan cost center (pusat biaya) karena akan dianggap sebagai ancaman. Namun, kalau kita datang dengan pendekatan revenue generating (menghasilkan pendapatan), maka semua pihak akan melindungi tanpa disuruh karena perspektifnya berbeda,” katanya.
Meski demikian, Joko juga menekankan bahwa pendekatan revenue generating dalam melindungi keanekaragaman hayati terlebih dahulu harus didukung dengan empat sektor kunci. Empat sektor tersebut, yakni komitmen dan regulasi, kelembagaan, model bisnis, dan insentif pendanaan.
Koordinator Keanekaragaman Hayati Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Erik Armundito mengatakan, unsur keanekaragaman hayati telah dimasukkan dalam dokumen rencana pembangunan jangka panjang dan menengah nasional (RPJPN dan RPJMN).
”Saat ini Bappenas sedang merumuskan RPJPN 2026-2045. Dalam RPJMN sebelumnya juga telah mengamanatkan empat pilar, salah satunya terkait dengan keanekaragaman hayati dan kekhasan sumber daya alam untuk terus dipelihara dan dimanfaatkan,” ujarnya.
Erik mengakui bahwa pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia membutuhkan pendanaan yang sangat besar hingga Rp 167 triliun. Oleh karena itu, pengelolaan ini memerlukan alternatif pendanaan yang inovatif dan berkelanjutan.