Penggunaan predikat panggilan yang tidak tepat, seperti ”kakak”, ”den”, atau ”bos”, bisa disebut penggelinciran semantik. Panggilan itu sengaja dipakai sebagai cara memersuasi orang demi kepentingan tertentu.
Oleh
INDRA TRANGGONO
·3 menit baca
Seorang teman yang usianya 50 tahun tersipu malu ketika dipanggil dengan sebutan kakak oleh pelayan kafe. ”Saya ini sudah tua, Nak.... Mosok dipanggil kakak,” jawab teman saya sambil tersenyum. Ia tampak menikmati sensasi dipanggil kakak.
Pelayan itu tak mau menyerah dan bilang, ”Masak sih, Kak?”
Bukan hanya di kafe, kini panggilan kakak semakin marak di toko-toko swalayan, mal, penjualan ponsel, dan berbagai tempat pelayanan publik lainnya. Tujuannya jelas, selain menghormati pembeli atau klien, juga membuat orang merasa selalu muda.
Dengan persuasi itu, orang-orang akan merasa senang dan nyaman berbelanja, menggunakan jasa atau jajan. Mereka menjadi ringan hati untuk merogoh koceknya. Namun, dalam kenyataannya, tidak sedikit orang yang justru merasa risih, bahkan geli, dengan sebutan kakak.
Di pasar-pasar tradisional pada era 1960 sampai awal 1980-an, para pedagang lazim memanggil para pembeli dengan sebutan den. Hal itu dilakukan untuk meninggikan status sosial dan menyenangkan hati pembeli. Kata den berasal dari raden, sebutan untuk kalangan priyayi berdarah biru. Raden mas untuk menyebut lelaki, dan raden ayu untuk perempuan.
Penggunaan predikat panggilan yang tidak tepat, seperti kakak, den, atau bos, bisa disebut penggelinciran semantik (maknawi).
Bahasa tidak hanya menjadi peranti komunikasi untuk menyampaikan pesan sosial, tetapi juga membentuk persepsi tertentu. Di sini kata punya tenaga simbolis untuk ”membangun realitas”, baik secara formal maupun imajiner. Misalnya terkait dengan sebutan kakak yang berasal dari bahasa Melayu itu.
Merupakan realitas formal ketika kata kakak diucapkan untuk menghormati orang yang lebih tua, tentu dengan keterpautan usia yang tak terlalu jauh. Selain itu, kakak biasanya dipakai untuk memanggil orang yang masih ada hubungan persaudaraan atau setidaknya punya hubungan kekerabatan yang dekat.
Adapun realitas imajiner muncul dari penyebutan kakak manakala sebutan itu dialamatkan untuk ”orang lain”, ”orang yang jauh lebih tua”, atau ”orang yang sama sekali tak dikenal”. Di sini muncul imajinasi dan perasaan; misalnya orang yang dipanggil kakak itu merasa dianggap kerabat, saudara, atau teman dekat. Juga, imajinasi: tak pernah tua.
Tentu ada ”manipulasi” semantik di dalam penggunaan kata kakak yang tidak tepat atau salah tempat. Namun, hal itu justru disengaja dipakai sebagai cara memersuasi orang demi kepentingan tertentu, misalnya kepentingan keuntungan ekonomi dalam perdagangan atau jual-beli jasa. Secara psikologis, sebutan kakak dijadikan gimmick (tipuan keindahan) untuk menimbulkan rasa senang.
Demi tujuan yang sama, banyak orang menggunakan kata bos untuk memanggil orang lain, baik yang selevel maupun yang lebih rendah. Seorang juragan atau tuan memanggil sopir atau tukang sapunya dengan sebutan bos. Di mal-mal, petugas satpam dan tukang parkir pun dipanggil bos. Hubungan pun jadi cair dan akrab. Masing-masing merasa dihargai dan menghargai.
Penggunaan predikat panggilan yang tidak tepat, seperti kakak, den, atau bos, bisa disebut penggelinciran semantik (maknawi). Secara sosial, hal itu bisa disebut sebagai bentuk basa-basi atau kata yang diucapkan tidak selalu sama dengan makna yang sesungguhnya atau tujuan yang sebenarnya.
Namun, dalam sejarah peradaban bangsa-bangsa, basa-basi selalu dipakai agar relasi dan komunikasi sesama manusia tidak kering. Orang pun meyakini, dalam basa-basi ada ruang atau celah untuk menciptakan rasa senang dan nyaman bagi orang lain. Ini seperti yang dilakukan pelayan kafe yang memanggil teman saya dengan sebutan kakak.