Perlawanan Perempuan Mantan Tapol Membangun Narasi Tandingan
Upaya perempuan mantan tahanan politik peristiwa G30S berbaur di tengah masyarakat masih dihadang stigma. Lewat beragam cara, mereka membangun narasi tandingan untuk melawan stigma tersebut.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Stigma terhadap mantan tahanan politik peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S masih melekat di ingatan masyarakat. Mereka mengalami berbagai diskriminasi dan penolakan. Lewat beragam cara, perempuan mantan tapol membangun narasi tandingan untuk melawan stigma tersebut.
Dalam sidang promosi doktor di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Senin (9/1/2023), Amurwani Dwi Lestariningsih mengatakan, para perempuan mantan tapol membentuk organisasi sebagai wadah artikulasi diri dan penyembuhan luka masa lalu. Beberapa organisasi itu di antaranya Wanodja Binangkit, Paduan Suara Dialita, dan Kipra Perempuan atau Kipper.
”Kegiatan-kegiatan perempuan mantan tahanan politik tersebut ternyata mampu menghasilkan narasi baru atau tandingan yang secara perlahan menggeser narasi utama yang dibuat pemerintah Orde Baru,” ujarnya saat menyampaikan disertasi berjudul ”Adaptasi dan Perlawanan: Studi Memori Kolektif Mantan Tahanan Politik Perempuan G30S 1965 dalam Kehidupan Masyarakat 1968-2019”.
Pembangunan narasi dilakukan lewat berbagai cara, mulai dari film, pementasan teater, hingga lagu-lagu yang mengisahkan masa lalu. Mereka melawan tidak dengan kemarahan, tetapi dengan kelembutan dan kasih sayang.
Amurwani menuturkan, narasi baru itu mendapatkan respons positif dari sebagian masyarakat, terutama generasi milenial dan generasi Z awal. Hal ini terbukti dengan munculnya kolaborasi kegiatan perempuan eks tapol bersama generasi muda.
Namun, narasi baru itu tidak mudah diterima oleh generasi baby boomers (kelahiran 1946-1964) dan generasi X (kelahiran 1965-1980). Sebab, memori kolektif mereka sudah terkonstruksi oleh memori yang dibangun negara dan pengalaman pribadi saat terjadinya G30S.
”Hal ini memperlihatkan rekonsiliasi secara struktural dan kultural hanya dapat dilakukan pada generasi yang memori kolektifnya terlepas dari dominasi memori yang dibangun oleh pemerintah Orde Baru,” jelasnya.
Amurwani mengatakan, pada 1979, seluruh tapol 1965 golongan B dibebaskan dari penahanan. Namun, kembalinya mereka ke tengah masyarakat membawa sejumlah persoalan.
Pembangunan narasi dilakukan lewat berbagai cara, mulai dari film, pementasan teater, hingga lagu-lagu yang mengisahkan masa lalu. Mereka melawan tidak dengan kemarahan, tetapi dengan kelembutan dan kasih sayang.
Selain diawasi pemerintah sebagai tahanan rumah atau kota, para tapol juga mendapat pengawasan dari warga sekitar. Bahkan, penolakan juga datang dari keluarga sendiri. Beberapa di antara mereka memilih pindah dari tempat asalnya.
Tak sedikit yang menyembunyikan atau menyamarkan identitas dirinya. Stigma terhadap tapol turut menghadirkan guncangan psikologis dan membuat mereka tidak mudah berinteraksi dengan orang lain.
Amurwani menuturkan, pascareformasi 1998, perempuan eks tapol mulai memberanikan diri membuka identitas dan berbaur lebih luas. Mereka membangun jaringan dan menceritakan pengalaman masa lalu.
Setelah upaya rekonsiliasi struktural gagal dilakukan pemerintah pada 2004, mantan tapol berencana mengajukan class action atau tindakan hukum berupa gugatan bersama. Upaya itu menggugat lima presiden RI agar memenuhi tuntutan perempuan eks tapol, yaitu mendapatkan rehabilitasi nama baik dan kompensasi ganti rugi.
Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai kuasa hukum, gugatan itu didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun, upaya ini kembali gagal. Kegagalan ini mempertemukan para mantan tapol untuk membentuk suatu wadah yang bisa menampung aspirasi mereka.
Dalam mempertahankan disertasinya, Amurwani mendapatkan sejumlah pertanyaan dari para penyangga. Salah satunya oleh Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang bertanya tentang strategi membangun narasi tandingan yang diperjuangkan oleh perempuan mantan tapol.
Amurwani menyebutkan, dalam berbagai forum, perempuan mantan tapol menyampaikan apa yang mereka lakukan merupakan kebenaran. Sebab, sebelum peristiwa 1965, organisasi mereka seperti Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani sah dan diakui negara. Namun, dengan adanya TAP MPRS Nomor XXV/1966, ajaran dan penyebaran paham komunis/marxisme-leninisme dilarang.
”Ketika kesempatan dibuka, mereka ingin menyampaikan bahwa apa yang mereka lakukan sebelum 1965 bukan sesuatu kesalahan karena negara mengakui itu sebagai organisasi sah. Paradigma inilah yang ingin mereka bangun dengan narasi tandingan,” jelasnya.
Prof Susanto Zuhdi sebagai promotor mengatakan, kendala utama dalam studi disertasi itu adalah aspek heuristik. Namun, hal itu dapat diatasi lewat kegigihan Amurwani dengan mewawancarai sedikitnya 39 perempuan mantan tapol untuk menggali informasi akibat peristiwa G30S.
”Ini data penting untuk mengungkap dan menuliskan tentang mereka yang tersisihkan dalam sejarah. Mereka menghadapi stigma terkait peristiwa G30S. Studi ini menunjukkan upaya mereka dalam mengatasi stigma tersebut,” ujarnya.
Dalam sidang terbuka yang diketuai Prof Agus Aris Munandar, Amurwani dinyatakan lulus dengan predikat cum laude atau dengan pujian. Dia menjadi doktor ke-410 dari fakultas tersebut.
Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, disertasi Amurwani bisa menjadi masukan bagi pemerintah dalam menyelesaikan masalah G30S melalui jalur non-yudisial. ”Kalau kita tidak dapat menyelesaikan satu persoalan, itu menjadi beban sejarah yang tidak memungkinkan kita untuk melangkah,” katanya.