Surya Satellite-1, Satelit Nano Pertama Buatan Indonesia, Mengorbit di Angkasa
Surya Satellite-1 (SS-1) dilepaskan dari stasiun luar angkasa internasional menuju orbit Bumi rendah. SS-1 merupakan satelit nano pertama karya anak bangsa untuk beragam pemanfaatan, seperti mitigasi bencana.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Surya Satellite-1 atau SS-1 yang merupakan satelit nano pertama buatan Indonesia resmi dilepaskan dari stasiun luar angkasa internasional menuju orbit Bumi rendah dengan modul deployer milik Japan Aerospace Exploration Agency. Peluncuran satelit ini menjadi tonggak pencapaian industri antariksa nasional yang dipelopori ilmuwan muda Indonesia.
Pelepasan SS-1 dari stasiun luar angkasa internasional (ISS) menuju orbit Bumi rendah (low earth orbit/LEO) ini dilakukan pada Jumat (6/1/2023) dan disiarkan secara langsung di Gedung BJ Habibie Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, serta Tsukuba Space Center, Jepang. Acara pelepasan satelit ini juga dihadiri langsung oleh Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dan Duta Besar Jepang untuk Indonesia Kanasugi Kenji.
Sebelum mengorbit di LEO dengan modul deployer (modul JSSOD) milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), SS-1 telah diluncurkan menuju ISS pada Minggu, 27 November 2022. Peluncuran SS-1 menuju ISS tersebut menggunakan roket SpaceX CRS-2 dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) Kennedy Space Center, Florida.
Untuk rencana ke depan, kami memiliki tim yang sangat bersemangat untuk pengembangan lebih lanjut.
Pelepasan SS-1 menuju orbit ini membuat satelit tersebut akan beroperasi di ketinggian rendah, yakni 400-420 kilometer di atas permukaan Bumi, dengan sudut inklinasi 51,7 derajat. Satelit ini akan melewati Indonesia selama 1,5 jam hingga dua jam sekali.
Peluncuran satelit nano relatif baru di Indonesia karena mayoritas yang beroperasi dan dipakai saat ini merupakan satelit mikro. Berdasarkan spesifikasinya, SS-1 adalah satelit nano atau cubesat yang berukuran 10 sentimeter (cm) x 10 cm x 11,35 cm. Satelit ini memiliki berat 1-1,3 kilogram atau lebih kecil dari satelit mikro dengan berat mencapai 50-70 kilogram.
Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (ORPA) BRIN Robertus Heru Triharjantomenyampaikan, dengan dimensi SS-1 yang sangat kecil, satelit ini diperkirakan dapat beroperasi minimal hingga dua tahun. Lama waktu SS-1 mengorbit juga bergantung dari baterai yang ditanam dalam satelit ini.
Setelah beroperasi, satelit nano ini bisa berfungsi sebagai media komunikasi via satelit dalam bentuk pesan singkat (SMS). Teknologi ini juga dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana, pemantauan jarak jauh dan level ketinggian air, serta komunikasi darurat.
”Untuk aplikasi ke depan, layanan SMS tidak dilakukan oleh orang, melainkan alat seperti sensor gempa, tsunami, hingga gunung berapi. Namun, pemanfaatan untuk sistem pelacakan harus mengubah frekuensi dari amatir ke komersial,” ujarnya.
Beragam fungsi dari SS-1 membuat satelit ini sangat efektif terutama untuk potensi penggunaan di Indonesia sebagai negara kepulauan. Pemanfaatan SS-1 bisa lebih optimal apabila terdapat berbagai sensor yang bisa secara otomatis memperbarui kondisi di Bumi.
Ketua Tim Pengembangan Satelit Nano Setra Yoman Prahyang mengatakan, secara umum perbedaan antara satelit nano dan satelit konvensional yang paling signifikan ialah dari segi ukuran. Ukuran satelit nano yang kecil ini akan memudahkan dalam proses desain dan manufaktur sehingga dapat dikembangkan oleh ilmuwan muda, termasuk mahasiswa.
”Untuk saat ini kami akan memantau SS-1 terlebih dahulu. Kemudian untuk rencana ke depan, kami memiliki tim yang sangat bersemangat untuk pengembangan lebih lanjut. Namun, agar ada aspek keberlanjutan perlu persiapan visi hingga pengguna,” tuturnya.
Tahap pengembangan
Proyek SS-1 pertama kali diinisiasi oleh ilmuwan muda Indonesia dari Surya University bekerja sama dengan Organisasi Radio Amatir Indonesia (Orari) sejak 2016. Pada 2017, SS-1 memulai pengerjaan dan pelatihan pembuatan satelit nano dengan supervisi dari para periset di Pusat Teknologi Satelit yang saat itu masih di bawah naungan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) atau sebelum melebur ke dalam BRIN.
Pengembangan SS-1 kemudian mendapat dukungan kembali dari BRIN berupa bimbingan yang dimulai dari tahap desain, manufaktur, perangkaian, hingga pengujian satelit. Dukungan dalam pengembangan satelit ini semakin diperkuat dengan kolaborasi multipihak antara tim insinyur muda bersama PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Pudak Scientific, Orari, hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Peluncuran dan pelepasan SS-1 ke orbit juga tak lepas dari peran United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) dan JAXA. Pada Agustus 2018, tim SS-1 terpilih menjadi pemenang pada sayembara program KiboCUBE yang diinisiasi kedua organisasi tersebut sehingga memperoleh slot peluncuran dari ISS.
Setelah melalui serangkaian tahap pengembangan dengan dukungan beragam pihak tersebut, SS-1 akhirnya berhasil lolos tahapan review fase 03 dan tinjauan keamanan oleh para teknisi JAXA pada Juni 2022. Satelit ini kemudian dikirimkan ke Jepang dan diserahterimakan kepada JAXA untuk secara resmi diluncurkan dari ISS pada 6 Januari 2023.
Chief Executive OfficerPT Pasifik Satelit Nusantara (PSN) Adi Rahman Adiwoso mengatakan, PSN memberikan berbagai dukungan, termasuk pendanaan, untuk memastikan penyelesaian SS-1. Namun, ia menyebut bahwa seluruh upaya pengembangan satelit nano ini pada dasarnya berasal dari kegigihan tim SS-1 yang mayoritas adalah anak-anak muda.
”Pengembangan SS-1 merupakan contoh kerja sama yang baik antara institusi pemerintah, mahasiswa, dan swasta untuk menciptakan sesuatu karya anak bangsa. Melalui kerja sama ini mungkin akan tumbuh anak muda lainnya yang berpikir untuk masuk ke industri teknologi ruang angkasa,” katanya.