Tersedianya layanan berhenti merokok merupakan salah satu jalan agar perokok berhenti merokok. Namun, ketika layanan belum digunakan secara efektif, alasan untuk berhenti dikembalikan lagi pada niat para perokok.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Baru 2.813 dari 10.260 puskesmas tingkat kecamatan se-Indonesia yang memiliki layanan upaya berhenti merokok atau UBM. Kementerian Kesehatan pada 2022 melaporkan layanan UBM baru tersedia secara efektif di 120 kabupaten/kota. Jumlah tersebut setara dengan 34,2 persen dari target 2024 dan dinilai masih minim.
Merujuk data Global Adult Tobacco Survey (GATS) pada 2021, sebanyak 70,2 juta orang dewasa Indonesia merupakan perokok. Sebanyak 63,4 persen di antaranya berencana atau sudah terpikir untuk berhenti merokok. Layanan UBM yang tersedia merupakan salah satu langkah awal untuk berhenti merokok.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, tinggi atau rendahnya ketersediaan puskesmas dengan layanan UBM bergantung pada pemerintah daerah masing-masing. Kementerian Kesehatan dalam Rencana Strategis 2020-2024 menargetkan 100 persen atau sebanyak 350 kabupaten/kota memiliki layanan UBM.
”(Untuk mencapai target) advokasi terus dilakukan bersama aliansi kepala daerah. Komitmen setiap kepala daerah menjadi hal utama karena layanan UBM juga bagian dari KTR (kawasan tanpa rokok),” ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (6/1/2023).
Merujuk laporan monitor dan evaluasi program UBM oleh Kementerian Kesehatan per 13 Desember 2022, belum ada provinsi yang ketersediaan layanan UBM-nya di atas 60 persen. Jumlah tertinggi diraih Provinsi Gorontalo dengan 59,84 persen.
Ketua Tim Kerja Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi Kementerian Kesehatan Benget Saragih Turnip menambahkan, layanan UBM sempat terhenti akibat pandemi Covid-19 dan pada saat yang bersamaan masih banyak daerah belum memiliki layanan UBM. Kini, pihaknya fokus pada reaktivasi atau mengaktifkan kembali layanan UBM.
Tantangan layanan UBM adalah menarik minat perokok agar berhenti merokok dan mengikuti sesi konseling sampai berhasil.
Kementerian Kesehatan menargetkan seluruh puskesmas tingkat kecamatan dapat menyediakan layanan UBM serta memperluas jangkauannya hingga tingkat rumah sakit dan klinik. ”Komunitas-komunitas yang ingin melayani UBM akan kami dukung penuh,” kata Benget.
Minim partisipasi
Penelusuran Kompas di sejumlah puskesmas penyedia layanan UBM di Jakarta seperti Puskesmas Kecamatan Mampang Prapatan dan Puskesmas Kecamatan Cilandak, partisipasi perokok yang menggunakan layanan setempat tergolong rendah, yaitu kurang dari lima orang per tahun. Selain itu, ruangan layanan UBM di Puskesmas Mampang Prapatan masih bergabung dengan layanan jiwa sehat dan ceria, sedangkan Puskesmas Cilandak bergabung dengan layanan kesehatan tradisional.
Minimnya partisipasi perokok ini juga diakui Benget meski Kementerian Kesehatan belum memiliki data jumlah resmi terkait hal tersebut. Menurut dia, masyarakat banyak menggunakan layanan quitline di nomor 08001776565 dengan metode konsultasi suara.
Sementara itu, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Dwi Oktavia Handayani mengutarakan, seluruh puskesmas tingkat kecamatan di Jakarta sudah memiliki layanan UBM. Meskipun demikian, baru 18 puskesmas yang pelayanan UBM-nya berbentuk poliklinik terpisah, sedangkan 26 puskesmas lainnya masih bergabung dengan poliklinik.
”(Pertimbangan) membuka poliklinik tergantung pada kebutuhan layanan, ketersediaan ruangan, pengaturan jadwal, dan sumber daya manusia,” ucapnya.
Layanan UBM yang tersedia di puskesmas hanya berbentuk konsultasi dengan efektivitas 5-10 persen untuk berhenti merokok. Pelayanan berlangsung dalam bentuk enam kali pertemuan yang dilaksanakan dua minggu sekali. Terkadang, puskesmas menggabungkan layanan UBM dengan layanan lainnya untuk meningkatkan peluang berhenti merokok seperti di Puskesmas Cilandak memadukan UBM dengan akupresur (terapi totok) ala layanan kesehatan tradisionalnya.
Tantangan layanan UBM, kata Dwi, adalah untuk menarik minat perokok agar berhenti merokok dan mengikuti sesi konseling sampai berhasil. Misalnya tetap gagal dapat diulang kembali ataupun dirujuk pada rumah sakit untuk mendapatkan terapi obat (intervensi farmakologi).
Menurut Wakil Koordinator Koalisi Nasional Masyarakat Sipil untuk Pengendalian Tembakau (KNMSPT) Rafendi Djamin, minimnya masyarakat yang mengakses layanan UBM perlu dinilai dari pengetahuan terhadap layanan itu sendiri. Informasi bahwa negara menyediakan layanan UBM secara gratis di puskesmas harus disosialisasikan lebih masif ke masyarakat.
”Selain itu, minimnya partisipasi juga dapat menunjukkan kesadaran perokok untuk berhenti merokok masih rendah. Merokok masih dianggap barang normal. Orang baru berhenti merokok ketika divonis sakit parah,” tambahnya.
Upaya lainnya dapat berupa regulasi rokok yang ketat di masyarakat, membuat rokok mahal, tidak bisa diakses ketengan, dan membatasi perilaku merokok di ruang publik. Kondisi tersebut, menurut Rafendi, akan membuat masyarakat tidak nyaman dan muncul keinginan untuk berhenti merokok.
Sejumlah perokok yang ditemui Kompas di sekitar Puskesmas Mampang Prapatan dan Puskesmas Cilandak mengatakan bahwa mereka memiliki masalah untuk berhenti merokok. Mulai dari kecanduan yang berat, lingkungan masih dipenuhi perokok, hingga merasa umur yang tergolong masih muda menjadi alasan mereka belum mau memutuskan untuk berhenti merokok.