Deus Caritas Est, Warisan Legendaris Paus Benediktus XVI
Ensiklik Deus Caritas Est menjadi cerminan dari seluruh pelayanan Benediktus XVI sebagai paus.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paus Emeritus Benediktus XVI yang wafat pada Sabtu (31/1/2022) di Biara Mater Ecclesiae, Vatikan, merupakan anugerah baik bagi Gereja Katolik maupun dunia. Dalam Ensiklik Deus Caritas Est atau Allah adalah Kasih, Benediktus XVI mengajak umat Katolik membangun budaya kasih, bukan hanya untuk gereja, tetapi untuk seluruh umat manusia.
Ensiklik atau surat edaran Deus Caritas Est diterbitkan Benediktus XVI pada 25 Desember 2005 di Roma. ”Ensiklik Deus Caritas Est merupakan cerminan dari seluruh pelayanannya sebagai paus. Paus Benediktus menjadi anugerah sangat besar bagi Gereja Katolik pada khususnya dan dunia pada umumnya,” kata Kardinal Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta, Kamis (5/1/2023), di Jakarta.
Salah satu kalimat dalam ensiklik tersebut berbunyi: ”Dalam dunia, di mana dengan nama Allah kadang-kadang dikaitkan dengan balas dendam atau bahkan kewajiban akan kebencian dan kekerasan, pesan ini amat aktual dan praktis”. Menurut Kardinal Suharyo, melalui surat edarannya, Benediktus XVI hendak memberikan peringatan tentang fenomena-fenomena di dunia ketika agama kerap disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Bahkan, nama Allah atau Tuhan kadang dijadikan pembenaran untuk balas dendam, menebar kebencian, dan melakukan kekerasan.
”Bagi saya, ketika Paus Benediktus XVI menyatakan Allah adalah Kasih, dia sebagai seorang yang berwawasan luas paham betul, suaranya tidak akan didengarkan oleh ’dunia’ yang tidak memberi tempat pada budaya kasih. Tetapi, meskipun demikian, beliau tetap menyuarakan terus-menerus,” ucapnya.
Ensiklik legendaris lain yang pernah diterbitkan Benediktus XVI adalah Caritas in Veritate atau Kasih dalam Kebenaran. Ensiklik ini berisi tentang keprihatinan gereja atas persoalan-persoalan sosioekonomi dan masalah-masalah dunia pada umumnya, termasuk ajaran sosial gereja. Intinya, surat edaran ini menyampaikan agar ajaran kasih itu mesti diterjemahkan ke dalam wilayah-wilayah kehidupan manusia yang nyata.
Sejak masih muda, Benediktus XVI yang bernama asli Joseph Ratzinger sudah menjadi pakar teologi pada waktu Gereja Katolik menggelar Konsili Vatikan II pada 1962-1965. Pengaruhnya besar sekali terhadap terbitnya dokumen-dokumen Konsili Vatikan II yang menjadi tonggak reformasi Gereja Katolik.
”Benediktus merupakan paus yang berlatar belakang akademisi, pemikir, dosen, dan menjadi kardinal pemimpin kongregasi suci untuk ajaran iman. Ketika sebagai teolog, beliau menulis banyak sekali buku, menyampaikan ceramah dan homili yang menjadi khazanah kehidupan gereja,” tutur Kardinal Suharyo.
Masa jabatan Benediktus XVI sebagai paus tidak lama. Ia hanya memimpin Gereja Katolik selama hampir delapan tahun sejak 19 April 2005 hingga 28 Februari 2013.
Keputusannya mundur sebagai paus pada Februari 2013 sempat mengundang pertanyaan publik karena belum pernah ada dalam sejarah muncul dua paus secara bersamaan, meski Benediktus XVI menyebut diri sebagai paus emeritus setelah Paus Fransiskus menggantikannya. ”Saya yakin, di balik alasan beliau mengundurkan diri, bukan hanya karena persoalan kesehatan,” ungkap Kardinal Suharyo.
Melalui surat edarannya, Benediktus XVI hendak memberikan peringatan tentang fenomena-fenomena di dunia ketika agama kerap disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Bahkan, nama Allah atau Tuhan kadang dijadikan pembenaran untuk balas dendam, menebar kebencian, dan melakukan kekerasan.
Kardinal Suharyo menafsirkan, ketika Benediktus XVI mundur, sebagai orang beriman dan sebagai paus, ia sadar bahwa perkembangan dunia ini begitu cepat. ”Dalam posisinya, beliau merasa tidak atau kurang mampu membaca tanda-tanda zaman, lalu melihat dunia yang seperti sekarang ini dengan tantangannya membutuhkan pemimpin lain. Lalu, beliau mengundurkan diri karena berharap ada orang lain yang dapat memimpin gereja ini dalam menanggapi tantangan-tantangan zaman yang begitu cepat berubah dan membutuhkan pemimpin yang tepat,” paparnya.
Hal ini dikatakan dengan jelas oleh Benediktus XVI dalam pidato perpisahannya sebagai paus. ”Setelah berulang kali memeriksa hati nurani saya di hadapan Tuhan, saya sampai pada kepastian bahwa kekuatan saya tidak lagi sesuai dengan tuntutan menjadi paus,” demikian ungkapan Benediktus XVI saat itu.
Karena merasa tidak lagi sesuai menjabat sebagai paus, maka Benediktus XVI berharap ada sosok lain yang akan memimpin gereja mengarungi samudra arus zaman. Setelah itulah, Vatikan menggelar konklaf dan pada hari kedua tanggal 13 Maret 2013 terpilihlah Jorge Mario Bergoglio, mantan Uskup Agung Buenos Aires, sebagai paus pengganti Benediktus XVI dengan nama Paus Fransiskus.
Keputusan Benediktus XVI mundur sebagai paus secara tidak langsung menampik segala tudingan yang menyebut dirinya sebagai paus konservatif. Dengan segala kerendahan hati, Benediktus XVI mundur dan menyerahkan tampuk kepemimpinan Gereja Katolik dunia kepada penerusnya.
Doa bersama
Di Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), Sekretaris KAJ Romo V Adi Prasojo Pr menyampaikan surat edaran kepada para pastor paroki, unit karya biara, dan seluruh umat untuk berdoa bagi Paus Emeritus Benediktus XVI yang telah wafat. ”Kami mengimbau setiap romo dan segenap umat paroki, unit karya, komunitas, dan biara dalam perayaan ekaristi Sabtu (31/12/2022) dan Minggu (1/1/2023) mendoakan intensi khusus bagi Bapa Suci Paus Benediktus XVI,” ujarnya.
Pada Kamis (5/1/2023) petang, Kardinal Suharyo bersama Duta Besar Vatikan untuk RI Mgr Piero Pioppo juga memimpin misa khusus bagi kedamaian abadi Paus Emeritus Benediktus XVI di Gereja Katedral Jakarta. Pada saat bersamaan, di Vatikan, Roma, jenazah Benediktus XVI dimakamkan di tempat peristirahatan pendahulunya, Paus Yohanes Paulus II, di bawah Basilika Santo Petrus, sesuai dengan permintaannya.